Sunday, July 31, 2011

Kembara Rohani IKIMfm ke Bandung Penuh Bermakna


Hampir kesemua 25 orang peserta yang mengikuti Kembara Rohani Bandung Indonesia melahirkan kesyukuran kerana telah berjaya menimba ilmu pengetahuan dan menambah pengalaman ketika bersama dalam rombongan IKIMfm ke Bandung pada 22-24 Julai lalu. Selama di sana, mereka ditempatkan di MQ Guest House berdekatan dengan Masjid Darut Tauhid yang diasaskan oleh Pak AA Gym, seorang tokoh motivasi yang terkenal yang pernah menjadi tetamu undangan untuk stesen satelit negara kita ini. Masjid yang beliau bangunkan itu bersama penduduk tempatan melalui derma umat Islam sejak lebih sepuluh tahun lalu telah dilancarkan semula setelah mengalami proses penambahbaikan dan renovasi yang menjadikannya sebuah masjid yang moden dan canggih.

Setiap pagi bermula dari selepas solat Subuh, Pak Aa Gym akan mengendalikan Kuliah Subuh atau apa yang dipanggil Manejemen Qolbu yang disiarkan secara langsung melalui radio Manajemen Qolbu FM. Bukan itu sahaja, ianya dijalankan secara interaktif dengan pendengar yang boleh berinteraksi dengan Pak Aa Gym dan bertanyakan soalan secara langsung.

Suasana Subuh di Darut Tauhid juga cukup meriah dan indah sekali dengan para jemaah melimpahi Dewan Solat sehingga terpaksa bersembahyang di atas jalanan seumpama suasana yang sering kelihatan di Tanah Suci.

Dalam lawatan yang disertai oleh sepuluh para penyampai IKIMfm ini, pihak IKIMfm telah memulakan langkah awal menjalinkan hubungan kerjasama dengan Manajemen Qalbu FM atau MQfm, sebuah stesen radio yang berkonsepkan dakwah Islami dan motivasi. Kedua-dua pihak bersetuju untuk menyalurkan berita-berita semasa yang melibatkan kejayaan umat Islam di kedua-dua negara untuk disiarkan di radio masing-masing. Begitu juga pertukaran program-program yang sesuai sedang dikaji.

Lawatan yang dalam siri PENGEMBARA MUSLIM musim baru ini adalah dengan kerjasama dari sebuah syarikat pelancongan milik bumiputera Islam sepenuhnya, Zeel Wafa Sdn. Bhd. Yang menariknya, kembara ini bukan seperti lawatan biasa, tetapi lawatan yang turut diberikan pengisian rohani sesuai dengan namanya "Kembara Rohani". Moga-moga lawatan ini membawa berkat untuk semua.

ikimfm

Saturday, July 30, 2011

Ramadhan Dan Perbaikan Diri



Bulan Ramadhan… tak lama lagi menjumpai kita… Perasaan gembira dan rindu meliputi jiwa orang-orang yang beriman. Menantikan malam-malam yang khusyu’ dengan lantunan ayat-ayat al-Qur’an dan dzikir kepada ar-Rahman…

Pembaca yang dimuliakan Allah… Sudah menjadi tabiat dan karakter orang-orang yang beriman untuk merasa senang dengan ketaatan dan merasa sedih dengan kemaksiatan. Sebagaimana aqidah yang dipegang teguh oleh Ahlus Sunnah, bahwa iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.

Keimanan dengan segala cabangnya adalah bagian tak terpisahkan dalam hidup umat Islam. Sebaliknya, kekafiran dengan segala cabangnya adalah perusak dan pengganggu ketentraman hidup mereka. Maka kedatangan bulan Ramadhan di setiap tahun merupakan penyejuk hati dan penentram perasaan. Dengan kesejukan suasana Ramadhan, umat manusia dilatih untuk mengendalikan berbagai keinginan nafsunya. Ia ditundukkan, digembleng dan dibina dalam rangka taat dan mendahulukan kecintaan Rabbnya di atas segala-galanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi.” (HR. Muslim)

Keimanan itulah yang menjadi syiar hidup mereka. Mereka hidup dan mati di atasnya, bergerak dan diam karenanya, ruku’ dan sujud dengannya, harap dan takut karenanya, cinta dan benci pun karenanya. Iman itulah yang menggerakkan persendian hidup mereka. Karena itulah, tatkala noda maksiat dan kotoran dosa merusak hati dan pikiran mereka, mereka pun merasa terganggu dan tidak nyaman dengannya. Mereka sangat menyadari bahwa lunturnya nilai-nilai keimanan merupakan bencana bagi kehidupan mereka, di dunia sebelum nanti di akhirat… wal ‘iyadzu billaah

Jadi tidak heran, jika sahabat Abdullah bin Mas’ud memberikan gambaran dua sikap yang sangat berlainan, antara orang yang menjaga nilai-nilai keimanan dengan orang yang telah terbuai dan terbius dengan racun-racun kekafiran. Beliau berkata, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah sebuah gunung, dia khawatir kalau gunung itu akan runtuh menimpanya. Adapun orang yang fajir/munafik melihat dosa-dosanya seperti lalat saja, yang mampir di atas hidungnya, lantas dengan ringannya dia halau lalat tersebut -dengan tangannya-.” (HR. Bukhari)

Sehingga momentum Ramadhan dengan ibadah puasanya, adalah kesempatan emas bagi orang yang merasa memiliki dosa di hadapan Tuhannya. Karena apabila dosa-dosa itu tidak diampuni, tentulah ia akan membuahkan penyesalan, kesedihan, dan rasa takut kelak di hari pembalasan… Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah ibadah agung yang dinantikan itu… Seorang mukmin, tak akan melewatkan kesempatan emas ini. Baginya, dunia seisinya tidak ada artinya dibandingkan ampunan dan rahmat Allah ta’ala. Inilah kenikmatan hakiki dan kebahagiaan yang sejati. Karena dengan puasa, seorang hamba akan berjuang untuk menjadi sosok yang bertakwa. Dan dengan ketakwaan itulah, seorang manusia akan menjadi mulia dan dicintai oleh Rabb alam semesta.

Ramadhan ada di hadapan, bekali diri kita dengan ilmu dan iman, tuk menyambut bulan yang agung, bulan yang penuh kebaikan, bulan yang menjadi penghibur hati orang-orang yang beriman. Allahul musta’aan

Penulis: Ari Wahyudi,

30-07-2011

Artikel www.muslim.or.id

Thursday, July 28, 2011

Tuntunan Ringkas Puasa Ramadhan


بسم الله الرحمن الرحيم

Tuntunan Ringkas Berkaitan

Hukum-Hukum Puasa Ramadhan


Muqaddimah

Definisi Puasa.

Secara bahasa bermakna menahan diri(dari).

Sementara menurut syariat, Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- berkata,

“Dia (puasa) adalah perbuatan menahan diri dari semua pembatal puasa disertai dengan niat (ibadah), sejak dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.” (Tafsir Al-Qurthubi pada ayat 183 dari surah Al-Baqarah)

Imam An-Nawawi berkata -memberikan definisi puasa- dalam Al-Majmu’ (6/247),

“Penahanan yang bersifat khusus, dari sesuatu yang tertentu, yang dikerjakan pada waktu tertentu, dan dilakukan oleh orang tertentu.”

Ucapan beliau, “dari sesuatu yang tertentu,” yakni seorang yang berpuasa tidaklah menahan diri dari segala sesuatu akan tetapi terbatas pada apa yang bisa membatalkan puasanya. “Pada waktu tertentu,” yakni hanya pada siang hari dan pada hari-hari yang disyariatkan berpuasa di situ. “Oleh orang tertentu,” yakni hanya bagi mereka yang telah mumayyiz dan sanggup untuk berpuasa.


Pembagian Puasa.

Puasa dalam syariat Islam terbagi menjadi dua:

1. Puasa sunnah.

2. Puasa wajib, dan dia ada tiga jenis:

· Yang wajib karena waktu. Ini adalah puasa Ramadhan, dan puasa ini yang akan kita bahas hukum-hukumnya.

· Yang wajib karena adanya sebab, dan dia adalah puasa dalam membayar kaffarat.

· Yang wajib karena seseorang mewajibkannya atas dirinya, yaitu puasa nazar.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah berkata dalam Kitab Ash-Shiyam dari Syarah Al-Umdah (1/26),

“Puasa itu ada lima jenis: Puasa yang wajib dengan syara’ yaitu puasa bulan ramadhan baik yang ada`an maupun qadha`, puasa wajib dalam kaffarah, yang wajib karena nazar, dan puasa sunnah.” Lihat juga Shahih Fiqhus Sunnah (2/88)

Hukum Puasa Ramadhan.

Puasa Ramadhan hukumnya adalah wajib atas setiap muslim yang baligh, berakal, sehat dan muqim (bukan musafir). Dia merupakan salah satu dari rukun Islam, yang kewajibannya ditunjukkan oleh Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ umat ini.


Allah Ta’ala berfirman(ertinya),

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang bisa menjalankannya (tapi mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.(QS. Al-Baqarah: 183-185)

Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: Syahadat ‘laa ilaha illallah’ dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji, dan berpuasa ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16 dari Ibnu Umar)

Umat Islam telah bersepakat bahwa puasa ramadhan adalah wajib. Barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia kafir keluar dari Islam, dan barangsiapa yang meninggalkannya dengan sengaja tapi tetap meyakini wajibnya maka dia tidak kafir, akan tetapi dia telah bergelimang dengan dosa besar, wal’iyadzu billah.

Faidah:

Al-Mardawi dalam Al-Inshaf (3/269) menukil kesepakatan ulama bahwa puasa ramadhan diwajibkan pada tahun kedua hijriah.


Keutamaan Puasa Ramadhan

Di antara dalil-dalil keutamaannya adalah:

1. Dari Abu Hurairah secara marfu’ dalam hadits Qudsi:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ, فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. الصِّيَامُ جُنَّةٌ

“Semua amalan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena dia itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai.” (HR. Al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151)

2. Juga dari Abu Hurairah, Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah berlalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 760)

3. Dari Abu Said Al-Khudri secara marfu’:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِهَذاَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا

“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah kecuali karenanya Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh 70 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 2840 dan Muslim no. 1153)

4. Dari Abu Hurairah secara marfu’:

“Jika bulan ramadhan telah tiba, pintu-pintu langit -dalam sebagian riwayat: Pintu-pintu surga­- dan pintu-pintu jahannam ditutup dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Al-Bukhari no. 1899 dan Muslim no. 1079)

5. Masih dari Abu Hurairah secara marfu’:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسَةُ, وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ, وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ, مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat yang lima waktu, shalat jumat satu ke shalat jumat selanjutnya, dari satu ramadhan ke ramadhan berikutnya, semuanya adalah penghapus dosa-dosa yang ada di antara keduanya, jika dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim no.233)

[Shahih Fiqhus Sunnah hal. 87-90]

August 9th 2009 ,by Abu Muawiah

Umur 18 Tahun Ibnu Khaldun Sudah Menguasai Ilmu Islam dan Umum, Kenapa Anak Kita Masih Les?



Menakjubkan sekali, pada umur 18 tahun Ibnu Khaldun sudah menguasai ilmu keislaman dan umum. Pada umur itu ia juga sudah mandiri dalam belajar dan tidak bergantung kepada seorang guru. Tentunya apa yang dialami Ibnu Khaldun berbeza dengan anak-anak kita saat ini, dimana pada umur sekian masih disibukkan dengan les sana- les sini. Anak-anak kita pun belum mandiri dalam belajar dan masih harus terikat pada seorang guru.


Penemuan itu didinyatakan oleh Dinar Kania Dewi, Kandidat Doktor Pendidikan Islam, dalam Diskusi Sabtuan INSISTS, berjudul Konsep Pendidikan Ibn Khaldun dalam Kitab Muqaddimah, Sabtu, 25/06/2011.


Ibnu Khaldun (1332 M/732 H) merupakan salah satu ilmuwan besar yang lahir ketika peradaban Islam mengalami ujian berat di Timur maupun di Barat. Boleh dikata Ibnu Khaldun adalah ulama langka. Namanya harum hingga Eropa dan Amerika sebagai asset ilmuwan dunia yang menguasai berbagai jenis keilmuan.


Selain menguasai ilmu Hadis dan fiqh, Ibn Khaldun juga menguasai ilmu-ilmu rasional (filosofis), yaitu teologi, logika, ilmu alam, matematika dan astronomi. Selain itu, Ibnu Khaldun juga seorang pendidik.


Berbeda dengan konsep Pendidikan Sekular, Ibn Khaldun berpandangan bahwa kebenaran yang hakiki bersumber dari Allah SWT.

“Ibnu Khaldun selalu meletakkan wahyu sebagai premis utama, bukan premis minor,” kata Dinar.


Dalam kitabnya Muqaddimah, Ibnu Khaldun juga menyoroti masaalah pendidikan pada zamannya yang masih relevan hingga saat ini. Menurut Ulama yang pernah menjadi Qadi di Universitas Al Azhar itu, ringkasan yang biasa diperintahkan seorang guru kepada murid adalah salah satu bentuk masalah dalam pengajaran.


“Ini boleh jadi muhassabah juga bagi kita, yang kekadang suka baca buku ringkasan, berbanding buku rujukannya langsung,” sambung Ibu dua anak ini.


Selain itu, pelbagai metode dalam pendidikan menyebabkan pelajar menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk menguasai berbagai metode yang sebenarnya maknanya satu dan sama. Dinar pun akhirnya mengkritik kebijaksanaan pemerintah yang kerap berganti-ganti pendekatan.

“Saat ini pemerintah kita ganti menteri,ketika itu juga ganti pendekatan. Metode pun berbeza-beza dalam pendidikan kita saat ini bermula dari quantum learning, accelerated learning, hipnoparenting dan sebagainya.” Kritik Direktur Operasional Andalusia Islamic Education Management Service itu.


Salah satu ciri khas konsep pendidikan yang dilahirkan oleh Ulama kelahiran Tunisia tersebut adalah apa yang disebut dengan malakah. Malakah bolehlah dikatakan kebiasaan yang sudah mengakar umbi dalam diri seseorang hingga bentuk perbuatan itu dengan kukuh tertanam (dalam minda). Mencapai malakah hanya dimungkinkan melalui pembelajaran yang bertahap (tadrij) disertai pengulangan dan pembiasaan.


Malakah akan menciptakan pengetahuan reflek pada seseorang. Ilmu yang sudah dipelajarinya akan menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.” jelas Dinar


Menurut Ibnu Khaldun,kaedah paling mudah untuk memperoleh malakah, adalah dengan melalui latihan diskusi atau debat ilmiah guna mengungkapkan fikiran-fikiran dengan jelas dan perdebatan masalah-masalah ilmiah. Inilah cara yang mampu menjernihkan persoalan dan menumbuhkan pengertian dan bukan melalui hafalan tanpa memahami makna yang terkandung di dalamnya


“Makanya, Ibnu Khaldun itu dianggap ahli dalam ilmu retorika,” ungkap Dinar.


Ada tiga hal metode pengajaran yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun:


Pertama adalah Penyajian Global (sabil al-ijmal). Pada tahap awal pengajaran sebuah disiplin ilmu/ aspek keterampilan, guru hendaknya menyajikan hal-hal pokok, problem-problem yang prinsip dari setiap materi pembahasan dalam bab-bab yang dijelaskan. Keterangan atau penjelasan dari guru harus bersifat global (ijmal) serta memperhatikan potensi intelek (aql) dan kesediaan (isti’dad) dari setiap anak didiknya untuk memahami apa yang diajarkan kepadanya.

Kedua, Pengembangan (al-syarh wa al-bayan). Pengetahuan atau keterampilan yang disajikan harus diangkat ketingkat yang lebih tinggi. Guru harus menyertakan ulasan tetang berbagai aspek yang menjadi kontradiksi di dalamnya dan ragam pandangan (teori) yang terdapat pada materi tersebut. Keahlian pelajar pada tahap ini harus lebih disempurnakan.


Terakhir adalah penyimpulan (takhallus).Pokok pembahasan harus disampaikan dengan lebih mendalam dan lebih terperinci dalam konteks yang menyeluruh. Segala aspek yang ada berserta pemahamannya harus dipertajam lagi dan semua masalah penting, sulit dan kabur harus diperjelaskankan. Pada tahap terakhir ini diharapkan malakah dari pelajar mencapai kesempurnaannya. (pz)

Senin, 27/06/2011

sumber : era muslim

RAMADHAN AKU MERINDUKANMU...




Telah Datang Ramadhan…Bulan Penuh Berkah…!!! - Untaian Artikel "Ramadhan Bulan Penuh Berkah" bag. 02.


بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين, و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:


Tulisan ini mengajak kepada penulis dan pembaca agar menyambut Ramadhan, Bulan Penuh Berkah, dengan: suka cita dan penuh keimanan serta bertekad bulat untuk semangat beribadah di dalamnya karena iman dan berharap pahala.

عنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ ».

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Telah datang kepada kalian Ramadhan bulan penuh berkah, Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan atas kalian untuk berpuasa padanya, di dalamnya

1. dibukakan pintu-pintu langit,

2. ditutup pintu-pintu neraka,

3. dibelenggu pemimpin setan,

4. dan di dalamnya Allah memiliki 1 malam yang lebih baik dari seribu bulan, siapa yang diharamkan dari kebaikannya maka sungguh dia telah-benar-benar diharamkan kebaikan”.



Hadits riwayat An Nasai, dinyatakan shahih lighairi di dalam kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ. رواه الترمذي و صححه الألباني.


Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Jika pada awal malam bulan Ramadhan maka

1. para syaitan dan pemimpin jin terbelenggu

2. dan tertutup pintu-pintu neraka dan tidak satu pintupun terbuka

3. dan dibukakan pintu-pintu surga dan tidak satu pintupun tertutup

4. lalu ada suara yang menyeru: "Wahai pencari kebaikan, sambutlah! Dan wahai pencari keburukan, cukuplah!

5. Dan Allah mempunyai orang-orang yang dimerdekakan dari neraka dan yang demikian itu pada setiap malam!".

Hadits riwayat Tirmidzi, dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’

.

Subhanallah…luar biasa…!

Jadi, bagaimana kita sambut bulan ini…???

قال أبن باز رحمه الله: "هذا الشهر شهر عظيم مبارك فاستقبلوه رحمكم الله بالفرح و السرور و العزيمة الصادقة على صيامه و قيامه و المسابقة فيه إلى الخيرات و المبادرة إلى التوبة النصوح من سائر الذنوب و السيئات و التناصح و التعاون على البر و التقوى و التواصي بالأمر بالمعروف و النهي عن المنكر و الدعوة إلى كل خير لتفوزوا بالكرامة و الأجر العظيم". (مجموع فتاوى أبن باز رحمه الله 15/38)

Ibnu Baz rahimahullah berkata: "Bulan ini adalah bulan yang agung penuh dengan berkah, sambutlah bulan ini…

  1. Dengan kegemberiaan dan suka cita.
  2. Dengan tekad yang bulat untuk berpuasa dan beribadah di malam harinya.
  3. Dengan berlomba-lomba untuk mengerjakan kebaikan.
  4. Dengan segera bertaubat yang nasuha (sebenarnya).
  5. Dengan saling menasehati dan tolong menolong atas kebaikan dan taqwa.
  6. Dengan saling memberi wasiat agar beramar ma'ruf dan nahi mungkar.
  7. Dengan berdakwah kepada setiap kebaikan.

Agar kalian menang dengan mendapatkan kemuliaan dan pahala yang sangat besar". (Majmu' fatawa Ibnu Baz, 15/38).

Ditulis oleh: Ahmad Zainuddin

Rabu, 19 Sya’ban 1432H Dammam KSA

by AhsanTV Indonesia [ July 27, 2011 ]

Merasa Cukup Dengan Allah Azza wajall






Al Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah :

Jika manusia merasa cukup dengan dunia, maka hendaknya engkau merasa cukup dengan Allah Subhanahu wata’ala.

Jika mereka berbangga dengan dunia, maka berbanggalah engkau dengan Allah Subhanahu wata’ala.

Jika mereka merasa tenang dengan orang-orang yang mereka cintai, maka jadikanlah ketenanganmu dengan Allah Subhanahu wata’ala.

Jika mereka berusaha mengenal dan mendekati raja-raja dan para pembesar mereka untuk meraih kemuliaan dan derajat yang tinggi, maka usahakanlah mengenal dan mencintai Allah Subhanahu wata’ala niscaya engkau mendapatkan puncak kemuliaan dan derajat yang tinggi.


Sebagian orang yang zuhud berkata:

“Aku tidak pernah mengetahui ada seorang yang mendengar tentang surga dan neraka kemudian waktu yang dia miliki tidak dia gunakan untuk mentaati Allah Subhanahu wata’ala, berdzikir, sholat, membaca al-Qur’an atau berbuat baik.”

Lalu seorang lelaki berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku banyak menangis.”

Orang zuhud tadi berkata,

"Sesungguhnya jika engkau tertawa sedangkan engkau mengakui kesalahanmu, maka hal itu lebih baik dari pada engkau menangis namun engkau mengungkit-ungkit amalanmu. Karena orang yang suka mengungkit amalannya, maka amalannya tidak akan naik melampaui kepalanya.”

Maka lelaki tadi berkata, “Berikanlah aku nasihat.”


Orang zuhud itu berkata,

“Tinggalkanlah dunia untuk ahli dunia, sebagaimana mereka meninggalkan akhirat untuk ahli akhirat. Jadilah engkau di dunia ini seperti lebah, jika engkau makan, engkau makan sesuatu yang baik, jika engkau memberi makan, engkau memberi makan sesuatu yang baik dan jika engkau jatuh di suatu tempat, engkau tidak akan merusak dan merobeknya.

[Dinukil dari kitab Al Fawaaid Penulis Al Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah Rahimahullah, cetakat Daarul ‘Aqiidah halaman 113]

Sumber :Sunniy Salafy


Wednesday, July 27, 2011

Orang Tua Menjerit

Orang Tua Menjerit

Rabu, 06/07/2011

Ibu-ibu menjerit dan sedih. Ini berlangsung setiap awal musim persekolahan. Setiap tahun semakin tidak mudah memasukkan anak-anaknya ke sekolah. Setiap tahun yuran sekolah juga semakin mahal. Inilah keadaan yang dihadapi ibu-ibu yang ingin menyekolahkan anak-anaknya. Betapa sulit dan mahalnya biaya sekolah sekarang. Apalagi untuk mendapatkantempat di sekolah berkualiti.

Murid-murid menjadi objek sekolah. Orang tua dibebani biaya sekolah. Biaya sekolah setiap tahun terus naik. Seperti juga yang berlaku pada barang-barang keperluan asas . Setiap hari naik. Tanpa dapat difahami oleh ibu-ibu. Sekalipun pemerintah sudah mengucurkan dana ke setiap sekolah, ternyata tidak mempunyai kesan apapun. Sekolah tetap melakukan pungutan.

Kesulitan siswa dan orang tua bermula dari sebagian sekolah awam yang berkualiti berubah menjadi sekolah rintisan bertaraf internasional (RSBI). Dengan "kedok" RSBI itu, selain melakukan ujian masuk lebih awal, pada Mach-Mei, sekolah RSBI itu bebas melakukan pungutan di Jakarta, rata-rata menurut informasi dari kalangan siswa dan ibu bapa murid, rata-rata RSBI memungut Rp 15 juta. Sementara itu, tingkat SMP yang menggunakan standard RSBI pungutan berkisar antara Rp 5 juta sampai Rp 6 juta.

Di daerah tidak jauh berbeda. Di SMA negeri daerah Cikarang, Bekasi, besarnya pungutan uang pangkal Rp 3,8 juta dan biaya lain-lain Rp 2,1 juta atau totalnya menjadi Rp 5,9 juta rupiah. Belum lagi uang sekolah besarnya bervariasi. Di Jakarta paling kecil SMA Rp 500.000 tiap bulannya. Bisa lebih. Ini tergantung sekolah masing-masing. Belum lagi kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan sekolah semuanya uang. Pungutan-pungutan lainnya bisa saja melalui apa yang disebut "Komite Sekolah", yang menentukan. Seakan-akan itu sudah menjadi kesepakatan antara wali murid.

Di sebuah sekolah di Jakarta Selatan, yang menggunakan bilingual belum RSBI mematok Rp 6 juta dicicil selama setahun. Sedangkan SMP yang sudah RSBI lebih mahal lagi. Sementara itu, sekolah-sekolah yang sudah RSBI memberikan kuota hanya 20 persen bagi anak-anak miskin. Jangan berharap anak-anak orang miskin bisa sekolah dengan kondisi seperti itu.

Masih ditambah bagaimana sekolah yang menggunakan standar RSBI itu hanya menerima murid yang rata-rata nilai ujiannya diatas 9. Jadi sangat sedikit yang dapat diterima di sekolah yang menggunakan "kedok" RSBI.

RSBI hanyalah satu sarana untuk menjadi sekolah itu mahal, dan menjadi ajang pemerasan terhadap wali murid. Karena ibubapa memerlukankan sekolah, mereka hanya menyerah dan memenuhi tuntutan sekolah dan sanggup membayar mahal.

Sebenarnya sekolah-sekolah yang sudah "berkedok" RSBI itu mutu pendidikannya tidak terlalu baik. Indikatornya tidak semuanya lulusan sekolah yang sudah menggunakan RSBI itu dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi negeri.

Sebuah sekolah SMA terkemuka yang sudah menggunakan standar RSBI hanya dapat mengatakan "maaf", ketika orang tua murid mendakwa anaknya tidak dapat diterima di SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Sangat ironi.

Sekolah yang menggunakan standar RSBI itu hanya menjadi mitos, yang tidak ada nilai lebihnya apa-apa. Kecuali hanya untuk menaikkan uang pangkal sekolah yang jumlahnya jutaan, dan membebani orang tua murid.

Sekolah-sekolah yang menggunakan standard RSBI hanya menciptakan kelas sosial baru, yang sangat diskriminatif. Di mana hanya anak-anak yang berduit yang dapat menikmati pendidikan. Sementara itu, anak-anak yang miskin tidak mendapat pendidikan yang layak.

Ertinya pendidikan di Indonesia hanyalah dinikmati kaum kaya, dan bukan kaum miskin. Anak-anak miskin nasibnya akan terus berada di bawah. Tidak mungkin akan mendapatkan martabat yang layak melalui pendidikan yang ada. Karena mereka sudah ditutup peluangnya untuk mendapatkan pendidikan, karena hanya faktor tidak memiliki uang.


Memang sekarang yang menjadi "tuhan" orang Indonesia adalah uang. Uang menjadi sangat segalanya. Termasuk guru-guru juga menjadikan uang sebagai "tuhan". Ibubapa yang miskin hanya mampu menjerit. Akibat anak-anaknya tersisih, ketika akan masuk sekolah, hanya karena tidak mampu membayar. Wallahu'alam.



sumber : eramuslim.com

Monday, July 25, 2011

Indonesia Masuk Ciri-ciri Negara Gagal

Nasional




BERITA - BERITA NASIONAL
Sabtu, 16 Juli 2011

PolitisIndonesia Masuk Ciri-ciri Negara Gagal  i Hanura, Akbar Faisal, menilai Indonesia saat ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan negara Indonesia memiliki ciri sebagai negara gagal.

"Ciri-ciri negara gagal itu ada lima paling tidak, dan semua itu sudah ada di negara ini sekarang," ujar Akbar saat diskusi Polemik Trijaya, dengan tema 'Ironi Negeri Ini' di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (16/7/2011).

Menurut Akbar, ciri pertama negara gagal adalah tidak ada jaminan keamanan yang diberikan oleh pemerintah. Saat ini teror, kekerasan, terjadi di mana-mana yang menegaskan pemerintah tidak bisa menjamin rasa keamanan.

"Ciri kedua negara gagal, adalah pemerintah tidak bisa menyediakan kebutuhan seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya. Ciri ketiga, korupsi dilakukan oleh lembaga yang seharusnya memerangi itu," terangnya.

Banyaknya hakim yang justru tertangkap oleh aparat penegak hukum karena melakukan korupsi adalah ironis menurutnya. Hakim sesnya menjadi garda terkuat dalam pemberantasan korupsi.

"Ciri berikutnya seringnya terjadi bentrokan horizontal. Bentrokan antar warga atau masyarakat, saat ini menjadi sering terjadi. Dan ciri terakhir adalah hilangnya kepercayaan masyarakat di semua lini. Tidak saja pemerintah, tetapi kepada DPR, penegak hukum, semua tidak lagi dipercayai," imbuhnya.

Hery Winarno - detikNews

Linksumber:

artikel berkaitan :rejim yang bobrok

Sunday, July 24, 2011

Parti Politik Menurut Salafi


Seorang yang dengan penuh kesungguhan mengumpulkan dan mengkaji perkataan para ulama besar salafi mengenai membentuk parti politik akan mengetahui bahwa mereka tidaklah melarang pembentukan parti politik secara mutlak. Akan tetapi fatwa yang diberikan oleh para ulama salafi mengenai masalah ini berbeza-beza tergantung negeri dan perbezaan kondisi penduduknya.

Uraian lebih detailnya adalah sebagai berikut:

Pertama

Para ulama salafi membolehkan kaum muslimin yang tinggal di negara kafir untuk membentuk parti politik dalam kerangka tolong menolong dalam kebaikan dan takwa sebagaimana fatwa Lajnah Daimah yang membolehkan pembentukan parti politik ketika Lajnah Daimah memberikan jawaban untuk pertanyaan yang terdapat dalam fatwa Lajnah Daimah no 5651 23/407-408 yang ditandatangani oleh Syaikh Abdullah bin Qaud, Syaikh Abdullah bin Ghadayan, Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Fatwa beliau-beliau itu terkait teks pertanyaan berikut ini:

“سؤال : هل يجوز إقامة أحزاب إسلامية في دولة علمانية وتكون الأحزاب رسمية ضمن القانون، ولكن غايتها غير ذلك، وعملها الدعوي سري؟

Pertanyaan, “Apakah diperbolehkan membentuk parti Islam di sebuah negara yang murni sekuler dan parti tersebut legal sebagaimana undang-undang kepartian yang ada? Akan tetapi tujuan dibentuknya parti tidaklah semata-mata parti. Tujuan dakwah dari parti ini disembunyikan”.

Jawaban Lajnah Daimah,

الجواب : يشرع للمسلمين المبتلين بالإقامة في دولة كافرة أن يتجمعوا ويترابطوا ويتعاونوا فيما بينهم سواء كان ذلك باسم أحزاب إسلامية أو جمعيات إسلامية؛ لما في ذلك من التعاون على البر والتقوى”.

“Dibenarkan bagi kaum muslimin yang tinggal di negara kafir untuk berkumpul, menjalin hubungan dan tolong-menolong di antara sesama mereka baik dengan nama parti politik Islam ataupun ormas Islam. Dikarenakan hal tersebut adalah bahagian dari tolong menolong dalam kebaikan dan takwa”.

Sekali lagi kami tegaskan bahwa hendaknya keberadaan parti tersebut adalah bahagian dari tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.

Kedua

Para ulama besar salafi membolehkan sebahagian kaum muslimin yang tinggal di sebahagian negeri Islam yang di sana ahlus sunnah wal jamaah ditindas dan diinjak-injak oleh ahli bid’ah setelah bermusyawarah bersama para ulama untuk saling tolong menolong di antara sesama, membentuk barisan dan menyatukan pandangan dan tidaklah mengapa jika mereka mengangkat ketua atau pimpinan ahlu sunnah di negara tersebut.

Sebagaimana penjelasan Syaikh Utsman al Kamis terkait penderitaan ahli sunnah di Iraq sebagai contoh. Beliau mengatakan,

“ولذلك وبحسب ما تعلَّمنا من مشايخنا وعلمائنا الذين وجَّهونا إلى وجوب ردِّ الأمر إلى أهله؛ اقتداء بقول الله -تبارك وتعالى-: {وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ} , لذلك كله قمنا بأخذ الأسئلة والتوجه بها إلى العلماء من أمثال سماحة المفتي: عبد العزيز بن عبد الله آل الشيخ، وسماحة الشيخ: صالح بن فوزان الفوزان، وسماحة الشيخ: عبد الله المطلق، وسماحة الشيخ: محمد بن حسن آل الشيخ، وفضيلة الشيخ: عبد العزيز السدحان ، والذين تطابقت إجاباتهم على:

“Oleh karena itu menurut apa yang kami pelajari dari para ulama kita yang mereka sendiri yang mengarahkan kita untuk mengembalikan urusan besar kepada orang yang layak untuk menanganinya dalam rangka mengikuti firman Allah yang artinya,

Andai mereka mengembalikan permasalahan tersebut kepada rasul atau ulul amri (baca: ulama) di antara mereka tentu orang-orang yang hendak membuat kesimpulan dari permasalahan tersebut pasti akan mengetahui kesimpulan yang benar tentangnya” [QS an Nisa:83].

Oleh karena itu kami telah menuliskan berbagai pertanyaan lalu mengajukannya kepada para ulama semisal Syaikh Mufti KSA Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Syaikh Abdullah al Muthlaq, Syaikh Muhammad bin Hasan alu Syaikh dan Syaikh Abdul Aziz as Sadhan.

Mereka semua bersepakat untuk memberikan jawaban sebagai berikut:

  • “وجوب التعاون بين جميع المنتسبين لأهل السنة.
  • وعلى الدفاع عن النفس والعرض والمال إذا تمَّ التعرض لهم.
  • وعلى كفِّ اليد ما لم تكن هناك راية، وما لم تُعد العدة.
  • وعلى لزوم الدعوة إلى الله ونشر العقيدة الصحيحة بين الناس.
  • وعلى عدم إثارة أي طرف عليهم.
  • وعلى أن ينظِّموا صفوفهم وأن تتحد كلمتهم.
  • وعلى أن يكونوا حذرين ممنْ حولهم.
  • ولا مانع أن يجعلوا لهم أميرا”.

. . .

  • Wajibnya tolong menolong di antara semua orang yang menyatakan dirinya sebagai bahagian dari ahli sunnah.
  • Wajibnya mana kala nyawa, kehormatan dan harta diganggu.
  • Tidak berperang selama belum ada komandan yang legal secara syariat dan perlengkapan senjata belum disiapkan dengan baik.
  • Wajibnya terus giat mendakwahkan agama Allah dan menebarkan akidah yang benar di tengah-tengah masyarakat.
  • Wajib tidak melakukan tindakan yang memancing kekejaman pihak tertentu terhadap ahlu sunnah.
  • Wajibnya membentuk barisan dan menyamakan presepsi.
  • Wajib mewaspadai orang-orang di sekeliling mereka.
  • Tidaklah mengapa mengangkat seseorang sebagai ketua ahli sunnah”.

Sekali lagi kami tegaskan bahwa ini semua dilakukan dalam kerangka musyawarah bersama para ulama.

Ketiga

Memang benar bahwa salafi melarang pembentukan parti politik dan keagamaan di negeri kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang penguasa muslim. Salafi melarang hal tersebut karena beberapa alasan.

Di antara alasan pokoknya adalah sebagai berikut:

  • Pertama, terpecahnya kaum muslimin menjadi berbagai aliran keagamaan atau pun berbagai parti politik adalah fenomena yang memilukan sekaligus perilaku yang terlarang karena bertabrakan dengan berbagai ayat al Qur’an dan berbagai hadits Nabi di antaranya:

{وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا} ,

Yang artinya, “Berpegang teguhlah kalian semua dengan agama Allah dan janganlah kalian berpecah belah” [QS ali Imran:103]

وقوله سبحانه : {إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ} الآية

Yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terbagi menjadi beberapa kelompok sama sekali engkau bukanlah bahagian dari mereka” [QS al An’am:159].

وقوله سبحانه قال الله تعالى: {إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أمة وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ]} ,

Yang artinya, “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Aku adalah sesembahan kalian maka sembahlah aku” [QS al Anbiya:92]

وفي الآية الأخرى : {وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُون} ,

Dalam ayat yang lain, “Dan aku adalah Rabb kalian maka bertakwalah kalian kepadaku” [QS al Mukminun:52].

وقال تعالى: {وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ}.

Yang artinya, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah sampai kepada mereka berbagai bukti yang nyata. Untuk mereka siksaan yang besar” [QS Ali Imran:105].

  • Kedua, membentuk berbagai parti politik yang memiliki tujuan pokok menjadi pembangkang pemerintah adalah tindakan yang berlawanan dengan prinsip taat kepada penguasa muslim selama dalam bingkai ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Di samping itu, juga bertolak belakang dengan berbagai dalil yang mengharamkan tindakan membangkang kepada penguasa dan taat kepada Allah, rasul-Nya dan penguasa, bukan selainnya.
  • Ketiga, konsekuensi (kesan & tanggungjawab) dari masuk ke dalam dunia politik praktis dan membentuk berbagai parti politik adalah membicarakan berbagai permasalahan yang menjadi kewenangan penguasa dengan tujuan menyalahkan kebijaksanaan penguasa lalu menyebarluaskan kesalahan penguasa tersebut. Tentu saja, sikap ini sangat jauh dari sikap menginginkan kebaikan untuk penguasa. Sehingga tindakan ini bertolak belakang dengan berbagai dalil syariat.

Oleh karena itu para ulama dakwah salafiyyah menolak pembentukan parti politik. Barang siapa yang memiliki ‘cadangan’ terhadap pemerintah maka hendaklah dia menyampaikan nasihat dengan baik. Jika nasihat diterima, maka itulah yang diharapkan. Jika tidak, yang penting dia telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Mengumbar sikap pemerintah yang tidak menerima kritikan adalah tindakan membuka lebar-lebar pintu keburukan.

By Abu Aisyah Mohd Shukri

Referensi:

http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=125296#post125296

Artikel www.ustadzaris.com

Saturday, July 23, 2011

Erti SEbuah Perjuangan



Menjadi perkara yang telah dipahami oleh setiap orang bahwa kejayaan selalu diiringi(datang bersama ) dengan kesungguhan dan perjuangan dalam mencapai cita-cita dan harapan. Keberhasilan bukanlah warisan yang boleh diperolehi dengan mudah ataupun barang murah yang boleh didapatkan di mana saja. Akan tetapi sunnatullah menuntut bahwa keberhasilan akan diberikan kepada para pejuang dan diri yang mau berkorban.


Ini bukan sekedar logik akal, akan tetapi inilah yang ditunjukkan oleh al-Qur’an, tatkala Allah ta’ala berfirman (yang artinya),

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan [menuju keridhaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah akan bersama dengan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. al-Ankabut: 69)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Allah mengaitkan antara hidayah dengan jihad/kesungguhan. Ini artinya, orang yang paling besar mendapat hidayah adalah yang paling besar kesungguhannya[dalam menuruti jalan kami(jalan ytang lurus yang kami hidayahkan ).

Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa kepada KEBENARAN -yang dibawa Rasulullah salllahu 'alaihi wasallam, dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan[bujukan] syaitan, dan berjihad melawan [panjang angan-angan terhadap] dunia.


Maka barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini akan Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keredhaan-Nya [*] yang akan mengantarkan menuju surga-Nya. Dan barangsiapa yang meninggalkan jihad itu maka dia akan kehilangan sebahagian petunjuk sekadar [sebanyak ]
mana jihad/perjuangan yang dia abaikan.”[**] (adh-Dhau’ al-Munir [4/518])


Demikianlah saudaraku, hal itu menunjukkan betapa besar buah dari jihad itu. Di mana pun, orang-orang yang memiliki keunggulan dalam hal ini adalah orang yang tepat untuk dijadikan sebagai rujukan di tengah perselisihan, bukan sebarang orang.

Al-Auza’i dan Ibnul Mubarak berkata,

“Apabila orang-orang berselisih tentang sesuatu maka perhatikanlah kepada apa yang dipegang oleh Ahluts Tsughur.”
-Yang dimaksud adalah ahlul jihad (lihat adh-Dhau’ al-Munir [4/518])

Memang, berbicara lebih mudah daripada melakukan sebuah tindakan. Oleh sebab itulah di samping kekuatan ilmu dan ma’rifah, manusia juga diberikan kekuatan tekad dan harapan.


Kejayaan tidak akan diraih hanya dengan omongan, namun ia juga memerlukan sebuah tindakan nyata dalam kehidupan. Siapa pun yang menginginkan ilmu maka dia dituntut untuk mengerahkan kesungguhan diri , demikian juga orang yang menginginkankan kekayaan dan kesejahteraan. Mereka rela untuk pergi pagi pulang petang, memeras keringat, membanting tulang, demi mencapai apa yang mereka kira sebagai sebuah masa depan dan kebahagiaan yang diimpikan.

Yang jelas, bagi seorang mukmin menyia-nyiakan waktu yang singkat dan amat berharga ini untuk perkara-perkara rendah, semu dan sementara adalah sebuah kehinaan dan kerugian.

Oleh sebab itu, sebagaimana kata pepatah,

“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”

Inilah motivasi sekaligus, penghibur hati, sekaligus cambuk bagi orang-orang yang dirundung kesedihan akibat beratnya jalan yang mereka tempuh dan sedikitnya teman yang meringankan beban mereka. Tidak perlu risau dan khawatir, Allah tidak akan menyia-nyiakan jerih payah hamba-hamba-Nya yang berbuat baik…


Saudaraku, kekecewaan mampu berubah menjadi kebahagiaan, tatkala kita menyadari bahwa sesungguhnya banyak sekali musibah dan tekanan yang kita alami sebenarnya bersumber dari kelalaian dan kelengahan diri kita sendiri.


Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Orang yang paling bijak adalah yang menjadikan keluhannya tertuju kepada Allah dari hal-hal yang berkenaan dgn apa yang ada pada dirinya sendiri, bukan dari diri orang lain.” (lihat al-Fawa’id)



Bahaya Pemikiran Takfir Sayid Quthb



Bahaya Pemikiran Takfir Sayid Quthb

Rabu, 11-Januari-2006, Penulis: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Bukan riwayat hidup beliau yang akan saya tulis dalam kertas ini. Sudah terlalu banyak orang yang menuliskannya dengan indah, bahkan kadang berlebihan. Bukan pula perhitungan amal dan perbandingan antara kebaikan dan kejelekan yang akan saya terangkan karena perhitungan amal dan hisab akan Allah tegakkan di hari perhitungan kelak dengan teliti dan akan Allah balas dengan seadil-adilnya.

Saya hanya menukilkan nasihat untuk seluruh kaum muslimin agar berhati-hati dari pemikiran Sayid Quthb yang berbahaya dan telah dituangkan kepada kaum muslimin dengan berbagai macam bahasa. Pemikiran beliau ini sangat laku di pasaran karena kekaguman kaum muslimin kepada gerakan, keberanian dan digantungnya beliau oleh tirani Mesir.

Sehingga ketika mereka mendengar peringatan Ahlus Sunnah dari bahaya pemikiran Sayid Quthb, mereka tersentak kaget. Jantung mereka seakan berhenti sesaat. "Seorang pejuang Islam yang mati syahid di tiang gantungan tirani Mesir dikatakan sesat?" Seakan-akan orang yang mati di tiang gantungan tidak mungkin memiliki penyelewengan dan bahaya pemikiran.



Maka untuk Allah 'Azza wa Jalla, kemudian untuk kebaikan dan keselamatan manhaj kaum muslimin serta untuk kebaikan Sayid Quthb sendiri yaitu agar penyelewengan dan kerancuan pemikirannya tidak diikuti oleh orang yang lebih banyak yang berarti menambah dosanya, kami akan jelaskan beberapa pemikiran beliau yang sangat berbahaya khususnya dalam masalah pengkafiran kaum muslimin.

Semoga dapat bermanfaat bagi kita dan dapat berhati-hati darinya. Untuk membongkar kesesatan pemikiran Sayid Quthb, maka saya memakai kitab Adlwa' Islamiyah 'ala Aqidah Sayid Quthb oleh Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah sebagai rujukan utamanya.



KERANCUAN PEMAHAMAN SAYID TERHADAP "LA ILAAHA ILLALLAH"

Pemikiran takfir Sayid Quthb merupakan akibat dari akidah dan keyakinan yang salah terhadap makna kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Dia menafsirkan kata ilah dengan al-hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A'la Al-Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al-Hukumah Al-Kulliyah (Pemerintahan yang Menyeluruh).

Syaikh Nadzir Al-Kasymiri (seorang ulama salaf di India) berkata:

"Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al-Hukumah Al-Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam." (Adlwa' Islamiyah hal. 59)


Sebagai contoh, kita nukilkan di sini terjemahan ucapan Sayid dalam bukunya Al-Adalah Al-Ijtima'iyah (Keadilan Sosial) hal. 182 cet. 12:
"Sesungguhnya perkara yang menyakinkan dalam Dien ini adalah bahwasanya tidak akan tegak di hati ini akidah dan tidak pula dalam kehidupan dunia, kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya laa ilaha illallah, yaitu laa hakimiyata illa lillah (tidak ada kehakiman kecuali untuk Allah), hakimiyah yang berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud dalam syariat dan perintahnya."

Demikian pula ucapannya dalam menafsirkan surat Al-Qashash: Huwallahulladzi la ilaha illahuwa. Dia berkata: "Yaitu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan dan ikhtiar." (Fi Dhilalil Qur`an 5/2707)

Bahkan lebih jelas lagi dia berkata dalam tafsir surat An-Nas bahwa Al-ilah adalah al-musta'li, al-mustauli, al-mutasallith. (Fi Dhilal 6/4010) yang semuanya itu bermakna kurang lebih sama yaitu "Yang Menguasai".

Demikianlah Sayid mempersempit makna ilah hanya kepada rububiyah dan melalaikan makna yang hakiki dari kata ilah yang mengandung makna uluhiyah yaitu "yang berhak untuk diibadahi". Penafsiran Sayid ini jelas bertentangan dengan penafsiran para ulama Ahlus Sunnah.

Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan ayat dalam surat Al-Qashash di atas:
"Allah yang Maha Tinggi sebutannya, Rabb kamu –wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam— adalah yang berhak untuk diibadahi yang tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali kepadaNya dan tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia." (Tafsir At-Thabari 20/102)


Demikian pula dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan:
"Yaitu yang menyendiri dengan uluhiyah dan tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yang menciptakan apa yang dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia." (Tafsir Ibnu Katsir 3/398)

Demikianlah para ulama Ahlus Sunnah memahami kalimat tauhid seperti pemahaman para pendahulunya dari kalangan salafus shalih, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah (uluhiyah) yang terkandung di dalamnya makna rububiyah dan asma wa sifat.

Adapun pemahaman Sayid bahwa al-ilah adalah al-hakim atau al-musta'li, al-mustauli dan al-mutasallith (penguasa), maka perlu dipertanyakan dari mana dia mendapatkan pemahaman seperti ini. Siapa yang memahami demikian dari kalangan shahabat atau para ulama salaf?


Pemahaman ini jelas menyimpang karena Ahlus Sunnah secara umum telah memahami bahwa tauhid rububiyah –yaitu mengakui bahwa Allah penguasa dan pencipta— telah diakui oleh sebagian besar orang-orang musyrik jahiliyah.

Allah berfirman tentang mereka:

قُلْ لِمَنِ الأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ

Katakanlah: 'Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab: 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah: 'Maka apakah kamu tidak ingat?' Katakanlah: 'Siapa pemilik langit yang tujuh dan pemilik 'Arsy yang besar?' Mereka akan menjawab: 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah: 'Maka apakah kamu tidak bertakwa?' Katakanlah: 'Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab: 'Kepunyaan Allah.' Katakanlah: '(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?' (Al-Mukminun: 84-89)


Lupakah Sayid tentang ayat-ayat Allah yang menjelaskan makna kalimat tauhid dengan tauhidul ibadah, mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya dan tidak beribadah kepada selain-Nya? Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.' (Al-Anbiya: 25)


Kita sama-sama mengetahui betapa luasnya makna ibadah yang mencakup keyakinan, kecintaan, ketaatan, pengabdian, pengagungan, ketundukan, kekhusyu'an, ketakutan, harapan dan juga mencakup amalan badan seperti sujud, ruku', thawaf, doa, istighatsah, isti'anah, serta mencakup puji-pujian lisan seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh hamba karena rasa butuh hamba kepada Allah dalam rangka (menghambakan diri) dan beribadah kepada Allah. Tidak diberikan jenis-jenis peribadatan ini kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.



Anehnya Sayid Quthb membawa nama Arab dan bahasa Arab dalam "pemahaman"nya itu. Dia berkata:

"...bahwasanya mereka (orang-orang Arab) dahulu telah mengetahui dengan bahasa mereka apa makna ilah dan makna laa ilaha illallah.… Mereka mengetahui bahwa uluhiyah adalah hakimiyah yang paling tinggi." (Fi Dhilal 2/1005).

Dia juga berkata pada halaman berikutnya:
"Laa ilaha illallah sebagaimana yang dipahami oleh orang Arab yang mengerti apa-apa yang ditunjukkan oleh bahasanya yaitu: Tidak ada hakimiyah kecuali untuk Allah dan tidak ada syariat kecuali dari Allah serta tidak ada kekuasaan seseorang atas seseorang karena kekuasaan seluruhnya milik Allah." (Fi Dhilal 2/1006).


Syaikh Rabi' dalam membantah ucapan ini berkata:
"Sesungguhnya apa yang dinisbahkan oleh Sayid kepada bahasa Arab yaitu tentang makna uluhiyah adalah hakimiyah, tidak dikenal oleh orang Arab dan tidak pula dikenal oleh pakar-pakar bahasa Arab ataupun selain mereka.
Bahkan al-ilah menurut orang-orang arab adalah al-ma'bud (yang diibadahi) yang para hamba mendekatkan diri kepadaNya dengan ibadah disertai ketundukan, penghinaan diri, kecintaan dan ketakutan, ... Bukan bermakna sesuatu yang mereka berhukum kepadanya." (hal. 63)


Orang-orang Arab jahiliyah dahulu memiliki tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin yang mereka berhukum kepadanya, tetapi mereka tidak menamakannya dengan ILAH (sesembahan). Bahkan sebaliknya, mereka memiliki berhala-berhala yang mereka namakan ILAH-ILAH. Seperti LATTA yang berbentuk kuburan. UZZA yang berbentuk tempat keramat, serta patung-patung lainnya yang mereka bertawasul, berkurban dan beribadah kepadanya, tetapi mereka tidak menamakan perbuatan mereka dengan berhukum, bertahkim, atau HAKIMIYAH!

Demikian pula di masa mereka terdapat raja-raja di timur dan di barat, tetapi mereka tidak menamakannya dengan ILAH.

Ingat! Yang kita bantah di sini bukan kewajiban bertahkim kepada Allah, melainkan pemahaman sempit Sayid dengan mengatasnamakan bahasa Arab dan orang-orang Arab. Padahal sama sekali tidak dikenal dalam bahasa Arab bahwa makna ILAH adalah HAKIM.



KABURNYA PEMAHAMAN SAYID TERHADAP RUBUBIYAH DAN ULUHIYAH

Kadang-kadang Sayid menafsirkan makna uluhiyah dengan rububiyah. Terkadang pula sebaliknya. Sayid berkata dalam tafsir Surat Ibrahim ayat 52: "Makna al-ilah adalah Dzat yang berhak untuk menjadi RABB yaitu yang menghakimi, Yang memiliki, Yang berbuat, Yang membuat syariat dan Yang mengarahkan." (Fi Dhilal 4/2114)

Bahkan dia berkata bahwa pertikaian antara Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum musyrikin jahiliyah adalah dalam masalah rububiyah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seluruh ulama ahlus sunnah. Dia mengatakan: "...perkara uluhiyah sedikit sekali menjadi bahan pertikaian pada kebanyakan orang-orang jahiliyah, khususnya jahiliyah Arab. Hanya saja yang selalu menjadi bahan pertikaian adalah masalah rububiyah. Yaitu masalah penerapan Dien pada kehidupan dunia ini, berupa amal nyata yang mempengaruhi kehidupan manusia." (Fi Dhilal)

Dari ucapan ini terlihat bahwa Sayid tidak dapat membedakan antara uluhiyah dan rububiyah. Kemudian apakah akibat dari kerancuan pemahaman Sayid terhadap rububiyah dan uluhiyah dan sempitnya pandangan Sayid terhadap laa ilaha illallah ini?!



PENGKAFIRAN SAYID TERHADAP KAUM MUSLIMIN

Akibatnya sungguh mengerikan! Dia mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat Islam secara tersirat dan tersurat dan meremehkan kesyirikan dalam masalah ibadah. Perhatikanlah ucapannya: "...termasuk dalam lingkup masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang mengaku dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk ke dalam lingkungan ini bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah dan tidak pula karena menghadapkan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah, tetapi mereka masuk ke dalam masyarakat jahiliyah ini karena tidak beragama dengan 'peribadatan' kepada Allah dalam undang-undang kehidupan mereka. Maka yang demikian –walaupun mereka tidak meyakini uluhiyah seorang pun kecuali Allah— tetapi mereka telah memberikan yang paling istimewa dari keistimewaan-keistimewaan ketuhanan kepada selain Allah dan beragama dengan HAKIMIYAH kepada selain Allah...." (Fi Dhilal)

Tampak dari ucapannya bahwa masyarakat Islam hanya pengakuan, padahal sebenarnya mereka adalah masyarakat jahiliyah. Terkesan pula bahwa memberikan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah adalah masalah sepele, bahkan sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali bahwa hampir pada semua tulisan Sayid dalam Fi Dhilalil Qur`an dan yang lainnya tidak memperdulikan para penyembah kubur, orang-orang yang melampaui batas terhadap ahlul bait dan para wali, serta orang-orang yang memberikan sifat uluhiyah dan ubudiyah kepada mereka. Dia tidak menghukumi manusia kecuali dengan penyelisihannya terhadap hakimiyah. Dan penafsiran Sayid terhadap la ilaha illallah tidak keluar dari HAKIMIYAH, KEKUASAAN dan KEPEMIMPINAN semata.


Juga ucapan Sayid ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 106:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ

Tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan musyrik. (Yusuf: 106)


Setelah Sayid menyebutkan syirik yang samar dia mengatakan:
"Dan di sana ada syirik yang tampak jelas yaitu tunduk kepada selain Allah dalam salah satu urusan kehidupan dan tunduk kepada aturan syariat yang dijadikan (oleh manusia) sebagai hukum. Hal ini merupakan asas dalam kesyirikan yang tidak bisa dibantah. Demikian pula tunduk kepada adat-adat kebiasaan seperti mengadakan perayaan-perayaan, musim-musim yang diatur oleh manusia padahal tidak disyariatkan oleh Allah, tunduk kepada aturan pakaian yang menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah untuk ditutupi dan membuka aurat-aurat yang syariat Allah telah menetapkan untuk ditutup[1]. Urusan seperti ini lebih dari sekedar pelanggaran dan dosa penyelisihan syariat, karena urusan itu merupakan ketaatan dan ketundukan kepada pemahaman yang umum pada masyarakat berupa ciptaan hamba dan meninggalkan perkara jelas yang muncul dari penguasa para hamba....


Sesungguhnya ketika itu bukan lagi dia sebagai dosa melainkan pensyariatan karena yang demikian merupakan ketundukan kepada selain Allah dalam perkara yang menyelisihi perintah Allah...." (Fi Dhilal 4/2023)


Dalam ucapan Sayid di atas terdapat dua bahaya besar:
Pertama
, pengkafiran kaum muslimin karena dosa-dosa seperti mengikuti adat kebiasaan, berpakaian yang menyelisihi syariat dan lain-lain.
Kedua
, penafsiran Al-Qur`annya tidak seperti apa yang dikehendaki Allah, khususnya dalam masalah kesyirikan.

Hal ini terjadi karena Sayid bersikap ghuluw pada masalah hakimiyah sampai-sampai dia berkata:
"Sesungguhnya kesyirikian mereka (jahiliyah) yang asasi bukan dalam keyakinan tetapi pada masalah hakimiyah." (Fi Dhilal 3/1492)

Sungguh aneh pemahaman Sayid ini. Bagaimana kira-kira dia menghukumi raja Najasyi yang masuk Islam dengan keyakinannya dan belum sempat mempraktekkan hukum-hukum Islam dan belum menerapkan al-hakimiyah di negerinya? Kalau menurut pemahaman Sayid berarti dia tetap kafir karena –menurutnya— kesyirikan yang hakiki adalah pada penerapan hakimiyah dan bukan keyakinan!


Adapun pemahaman Ahlus Sunnah adalah pemahaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda kepada para shahabat ketika mendengar Raja Najasyi meninggal:

قَدْ تُوُفِّيَ الْيَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ الْحَبَشَةِ فَهَلُمَّ فَصَلُّوْا عَلَيْهِ. (رواه البخاري)

Telah meninggal hari ini seorang yang shalih dari Habasyah. Marilah kemari! Shalatkanlah dia! (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 3/1320)


Bagaimana pendapat anda kalau raja Najasyi menerapkan hakimiyah tetapi tidak meyakini aqidah tauhid dan beribadah kepada kuburan-kuburan? Apakah Rasulullah akan menganggap dia sebagai muslim?!



ANGGAPAN SAYID BAHWA UMAT ISLAM TELAH LENYAP

Saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya Sayid Quthb tidak menganggap keberadaan kita sebagai muslimin. Dia menganggap umat Islam telah lenyap dengan lenyapnya kekhilafahan!

Lihatlah dia berkata dalam bukunya Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh (Islam kini dan esok):
"Kami mengajak untuk mengembalikan kehidupan yang islami dalam masyarakat yang islami dengan hukum aqidah Islam dan pandangan yang islami, sebagaimana dihukumi pula oleh syariat Islam dan aturan yang islami. Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di seluruh permukaan bumi. Dan keberadaan Islam pun telah berhenti...."


Tenanglah sebentar! Jangan tergesa-gesa menafsirkan dengan tafsiran pembelaan, karena Sayid akan berkata lebih jelas lagi, yaitu:
"...kami menampakkan kenyataan yang terakhir ini walaupun akan menyebabkan munculnya benturan keras dan keputus asaan dari orang-orang yang masih tetap menginginkan untuk menjadi muslimin."

Lihatlah dia menyebut kaum muslimin dengan ungkapan: "Orang-orang yang ingin menjadi muslimin!"

Ucapan yang hampir sama ia ucapkan pula dalam bukunya Al-Adalah Al-Ijtima'iyah, setelah dia membawakan ayat-ayat tentang hakimiyah:
"Ketika kita memperhatikan seluruh permukaan bumi hari ini, di bawah cahaya ketetapan ilahi terhadap pemahaman Dien ini, kita tidak mendapatkan keberadaan Dien ini.... Sesungguhnya keberadaan Dien telah lenyap sejak kelompok terakhir dari kaum muslimin melepaskan pengesaan Allah dalam hakimiyah dalam kehidupan manusia. Yang demikian adalah ketika mereka meninggalkan berhukum dengan syariat Allah semata dalam segala aspek kehidupan.

Kita harus mengakui kenyataan pahit ini dan harus menampakkannya. Janganlah kita khawatir munculnya "putus harapan" dalam hati-hati kebanyakan orang-orang yang suka untuk menjadi muslimin. Mereka seharusnya meyakini bagaimana mereka dapat menjadi muslimin.

Sesungguhnya musuh-musuh Dien ini telah menjalankan usaha sejak beberapa abad dan masih tetap melaksanakan usaha-usaha maksimal yang menipu dan jahat untuk merampas kehendak kebanyakan orang yang ingin menjadi muslimin?" (Al-Adalah hal. 183-184)


Di sini terlihat pemikiran-pemikiran Sayid yang berbahaya di antaranya anggapan beliau bahwa:

1. Kehidupan Islam telah tiada.

2. Bahkan wujud Islam telah berhenti.

3. Anggapan bahwa kaum muslimin adalah orang-orang kafir jahiliyah yang menginginkan Islam.

4. Inti Islam yang hakiki adalah tauhid hakimiyah.

5. Dia mengharuskan dan menegaskan untuk mengumumkan pengkafiran umat Islam.

Adakah pengkafiran yang lebih jelas daripada pengkafiran Sayid Quthb ini?! Mana yang dinamakan pengkafiran kalau ucapan seperti ini tidak dinamakan pengkafiran? Perhatikanlah wahai orang-orang yang memiliki pandangan!



UMAT ISLAM TELAH MURTAD DAN ADZAB BAGI MEREKA LEBIH KERAS DARIPADA ORANG KAFIR LAINNYA

Sayid Quthb berkata:
"Telah bergeser jaman, kembali seperti keadaan pada hari datangnya Dien ini kepada manusia (yaitu masa jahiliyah, pent). Telah murtad manusia menuju peribadatan kepada hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama. Mereka telah berpaling dari la ilaha illallah, walaupun sekelompok dari mereka masih tetap mengumandangkan di menara-menara adzan la ilaha illallah tanpa memahami maksudnya, tanpa mengerti apa konsekwensinya, padahal dia mengulang-ulangnya. Juga tanpa menolak pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh para hamba untuk diri-diri mereka. Hal ini sama dengan penuhanan (uluhiyah). Sama saja, apakah diaku oleh pribadi-pribadi atau team pensyariatan ataupun oleh masyarakat...." (Fi Dhilal 2/1057)


Bahkan lebih kejam lagi dia berkata:
"...yaitu kemanusiaan seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di menara-menara adzan di timur atau di barat bumi ini kalimat laa ilaha illallah tanpa maksud dan tanpa kenyataan....

Mereka paling berat dosanya dan paling keras adzabnya karena mereka telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas baginya petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam Dien Allah." (Fi Dhilal 2/1057)


Lihatlah betapa beraninya Sayid mengkafirkan kaum muslimin dan menganggap mereka orang-orang murtad yang paling keras adzabnya. Padahal mereka masih mengumandangkan adzan dan masih shalat. Lantas apa anggapan dia tentang peribadatan mereka di masjid-masjid?



MASJID MENURUT SAYID ADALAH TEMPAT PERIBADATAN JAHILIYAH

Bertolak dari pengkafiran dia terhadap masyarakat Islam, maka Sayid menganggap masjid-masjid mereka sebagai tempat-tempat peribadatan jahiliyah. Dia berkata ketika menafsirkan ucapan Allah dalam surat Yunus:

وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: 'Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sembahyang dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman. (Yunus: 87)

Dia berkata: "...inilah pengalaman yang Allah tunjukkan kepada kelompok mukmin agar menjadi teladan. Bukan khusus bagi Bani Israil. Tapi ini adalah pengalaman iman yang murni. Kadang-kadang orang-orang beriman mendapati diri-diri mereka terusir pada suatu hari dari masyarakat jahiliyah, karena fitnah telah merata, thaghut telah bertambah sombong dan manusia telah rusak, serta lingkungan telah membusuk. Demikian pula keadaan di jaman Fir'aun pada masa kini. Di sini Allah mengarahkan kita pada beberapa perkara:

1. Memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah, busuknya, rusaknya dan kejelekannya sebisa mungkin. Dan mengumpulkan "kelompok mukmin" yang baik dan bersih dirinya untuk mensucikan, membersihkan dan melatih serta menyusun mereka hingga datang janji Allah untuk mereka.

2. Menghindari tempat-tempat peribadatan jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah "kelompok muslim" sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah. Kemudian di sana mereka melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan cara yang benar. Dan melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam keteraturan (tandhim) dalam lingkungan suasana ibadah yang suci." (Fi Dhilal 3/1816)


Apa yang terjadi kalau dakwah Sayid yang seperti ini dibiarkan?!

Jelas penafsiran yang batil ini akan mengakibatkan ditinggalkannya masjid-masjid dan munculnya Khawarij-Khawarij gaya baru yang memisahkan diri dari masyarakat Islam dan mengkafirkan mereka. Kemudian siapa yang dimaksud "kelompok mukmin", "kelompok muslim" dalam masyarakat jahiliyah ini? Tentu pembaca dapat menebak dengan melihat akidah dan pemikiran Sayid yang telah dijelaskan. Ya tentunya yang dia maksud adalah dirinya dan orang-orang yang mengikuti pemikirannya.



JALAN KELUAR MENURUT SAYID

Islam telah lenyap, muslimin telah murtad, masyarakat muslim telah kembali menjadi jahiliyah. Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan jahiliyah....

Lalu apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan keluar bagi yang ingin menjadi "kelompok muslim"? Dengarlah apa kata Sayid Quthb berkenaan dengan pertanyaan ini: "Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi 'kelompok muslim' di seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan:

... أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ...

...atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.... (Al-An'am: 65)

kecuali jika mereka memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip hidup mereka dari masyarakat jahiliyah dan memisahkan diri dari kaumnya. Hingga Allah mengijinkan bagi mereka untuk mendirikan negara Islam yang mereka berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka merasakan dengan seluruh perasaannya bahwa mereka sendirilah umat Islam dan merasakan bahwa apa dan siapa yang di sekelilingnya yang tidak masuk kepada apa yang mereka masuki adalah jahiliyah dan masyarakat jahiliyah...." (Fi Dhilal 2/1125)

Inilah jalan keluar menurut Sayid, yaitu dengan menjadi Khawarij, mengkafirkan dan memisahkan diri dari umat Islam! Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Tidakkah Sayid melihat dakwah Ahlus Sunnah dan para ulamanya di jazirah Arab, Yaman, India atau yang lainnya? Tidakkah dia melihat perjuangan dakwah mereka dalam memurnikan ajaran Islam? Bahkan apakah Sayid tidak melihat di sampingnya seorang ulama yang berjuang membela tauhid dan sunnah, yaitu Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib rahimahullah?!



PEMIKIRAN TAKFIR SAYID DIAKUI TOKOH-TOKOH IKHWAN SENDIRI

Sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb tidak mungkin dipungkiri lagi. Bahkan telah diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri. Berikut ini kita dengar beberapa ucapan mereka:

1. Berkata Yusuf Al-Qardlawi dalam bukunya Awlawiyat Al-Harakah Al-Islamiyah:

"Dalam fase ini muncul buku-buku As-Syahid Sayid Quthb yang merupakan fase terakhir dari pemikirannya yang mengkafirkan masyarakat dan menunda dakwah sampai kepada keteraturan Islam dengan pembaharuan fikih dan perkembangannya. Menghidupkan ijtihad serta mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari masyarakat, memutus hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan seluruh manusia...." (Awlawiyat hal. 110)

2. Berkata Farid Abdul Khaliq, salah seorang tokoh besar Ikhwan dalam kitabnya Ikhwanul Muslimun fi Mizanil Haq hal. 115: "Kita mengetahui dari apa yang telah lewat bahwa munculnya pemikiran takfir (pengkafiran) di kalangan beberapa ikhwan bermula dari penjara Qanathir di akhir tahun lima puluhan dan awal enam puluhan. Mereka terpengaruh oleh Sayid Quthb dan pemikiran-pemikirannya. Mereka mengambil pemahaman darinya bahwa masyarakat ini dalam keadaan jahiliyah dan bahwasanya dia telah mengkafirkan pemerintah yang merasa asing dengan hakimiyah Allah karena tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Juga mengkafirkan rakyatnya karena mereka ridla dengan hal itu."

3. Berkata Ali Gharisah –juga salah seorang tokoh besar Ikhwan— sebagai berikut:

"Dalam kejadian ini, terpecah satu kelompok dari kelompok Islam yang besar ketika keberadaan mereka di penjara-penjara... bersamaan dengan itu kelompok tersebut bertameng dengan pengkafiran kelompok Islam yang besar. Mereka masih tetap dalam pendapatnya tentang pengkafiran pemerintah, penolong-penolongnya serta masyarakat seluruhnya. Kemudian kelompok tersebut berpecah kembali menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mengkafirkan yang lain...." (Lihat kembali kitab beliau Al-Ittijahat Al-Fikriyah Al-Mu'ashirah hal. 279)

Ucapan-ucapan mereka ini menunjukkan bahwa pemikiran takfir Sayid Quthb telah dikenal oleh kawan dan lawannya. Hanya saja ketika bantahan itu dari "kawan" satu harakah, selalu diiringi basa-basi atau penyamaran agar tidak terlihat seakan-akan permasalahan ini adalah permasalahan besar. Seperti Qardlawi setelah ucapan di atas dia berkata: "...Dan buku-buku beliau tersebut memiliki keutamaan-keutamaan dan pengaruh-pengaruh positif yang besar di samping pengaruh-pengaruh negatif." (hal. 110)

Atau seperti ucapan Ali Gharishah yang tidak menyebutkan siapa atau buku apa atau jamaah apa, dia hanya mengatakan "kelompok kecil" dan "kelompok besar".

Saudara-saudaraku kaum muslimin, bisa jadi sikap basa-basi dan penyamaran yang menyebabkan terasa kecilnya bahaya-bahaya besar ini adalah karena mereka satu hizb. Mereka menjaga persatuan dan kesatuan Hizibnya dengan prinsip mereka yang terkenal: KITA SALING TOLONG MENOLONG ATAS APA YANG KITA SEPAKATI DAN SALING TOLERANSI ATAS APA YANG KITA BERBEDA.

Kalau begitu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah, salafiyah tetapi memiliki prinsip yang sama dengan mereka?



SIKAP SAYID TERHADAP UTSMAN BIN AFFAN radliallahu 'anhu

Ikhwani fiddien a'azzakumullah, sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb bukan permasalahan sepele. Sikap mengkafirkan seluruh manusia hanya karena dosa-dosa sungguh sangat berbahaya. Tidakkah kita mendengar bagaimana Ali bin Abi Thalib menyikapi Khawarij, kemudian memerangi mereka? Tidakkah kita mendengar ucapan beberapa shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa mereka sejelek-jelek makhluk?

Pemikiran Sayid yang berbahaya ini juga mengakibatkan celaan dan tuduhan kepada para shahabat Nabi seperti para pendahulunya dari kalangan Khawarij dan Syiah, khususnya terhadap Utsman bin Affan dan Muawiyah radliallahu 'anhuma.

Sayid Quthb tidak mengakui keberadaan khilafah Utsman radliallahu 'anhu, padahal masa kekhilafahannya paling panjang. Dia berkata: "Kami condong kepada anggapan bahwa khilafah Ali radliallahu 'anhu adalah kelanjutan dari khilafah dua syaikh sebelumnya (Abu Bakar dan Umar, pent). Adapun masa Utsman merupakan celah antara keduanya." (Al-Adalah, hal. 206). Mengapa?

Hal ini setelah Sayid mengatakan pada halaman sebelumnya tentang Utsman sebagai berikut: "Sesungguhnya di antara kejelekan yang muncul adalah bahwa Utsman mencapai khilafah dalam keadaan tua, telah lemah semangat Islamnya dan lemah keinginannya untuk tetap tegar menghadapi tipu daya Marwan dan tipu daya Bani Umayah di dalamnya." (Al-Adalah dalam terjemahan terbitan pustaka hal. 270)

Bahkan dengan terang-terangan dia meragukan ruh Islam yang ada pada Utsman, yaitu setelah Sayid menyebutkan cerita-cerita tentang Utsman yang membagi-bagikan harta pada keluarga dan kerabatnya (korupsi). Juga setelah menceritakan bahwa Utsman mengangkat gubernur-gubernurnya dari keluarganya sendiri, seperti Muawiyah dan Al-Hakam radliallahu 'anhum...dst. Kemudian dia berkata:
"...Dan bahwasanya para shahabat mengetahui penyelewengan dari ruh Islam ini. Maka mereka saling memanggil untuk menyelamatkan Islam dan menyelamatkan khalifah dari bencana ini. Khalifah –dengan ketuaan dan kepikunannya— tidak dapat memegang urusannya dari Marwan. Sesungguhnya sangat susah meragukan ruh Islam di dalam hati Utsman. Tetapi juga sangat sulit memaafkan kesalahan-kesalahannya yang merupakan kesalahan fatal mengenai wilayah dan khilafahnya. Sedangkan dia seorang tua renta yang dikelilingi oleh jajaran orang-orang jelek dari Bani Umayah...." (Al-Adalah hal. 187, cet kelima dan secara makna pada cet. ke 12 hal 159, dan dalam terjemahan PUSTAKA hal. 272)

Sebaliknya Sayid Quthb justru memuji dan membela para pemberontak yang membunuh Utsman.

Dia berkata

: "...akhirnya, terjadilah pemberontakan atas Utsman. Tercampur padanya kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan kejelekan. Tetapi bagi yang memandang perkara ini dengan "kaca mata Islam" dan merasakan urusan ini dengan ruh Islam, pasti dia akan menetapkan bahwa pemberontakan tersebut secara keumuman lebih dekat kepada ruh Islam dan arahannya daripada sikap Utsman atau lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari Bani Umayyah." (Al-Adalah hal. 189 cet. ke 5 dan hal. 161, 162 cet. ke 12 dengan beberapa perubahan tetapi intinya sama, hanya pada cetakan terakhir ini dia menyebut bahwa hal itu karena pengaruh tipu daya Ibnu Saba' dan dalam terjemahan, hal. 275)[2]


Seharusnya dia mengucapkan: "Barangsiapa memandang dengan kacamata saya dan merasakan dengan ruh saya...." Karena kesimpulan dan pandangan seperti itu sama sekali bukan dari Islam. Dan saya (penulis) sudah menulis pada edisi ke-4 tentang pembelaan terhadap Utsman dan sekaligus pembelaan para shahabat terhadap Utsman. Silahkan simak kembali tulisan tersebut. Adapun pandangan Sayid adalah pandangan Khawarij, Syiah dan Ahli Bid'ah!

Semoga Allah menyelamatkan kaum muslimin dari penyelewengannya dan membuka mata kaum hizbiyah agar melihat bahayanya serta menghilangkan sikap fanatik mereka kepadanya. Amin.



Sumber: SALAFY edisi XVI/Dzulhijjah/1417/1997





--------------------------------------------------------------------------------

[1] Lantas bagaimana dia menghukumi dirinya yang mengikuti kebiasaan orang-orang kafir barat dengan memotong habis jenggotnya dan memakai jas dan berdasi?

[2] Terjemahan buku ini diterbitkan oleh pustaka (Salman) Bandung dengan judul Keadilan Sosial dalam Islam cet. I th. 1984M/1404 H. Semua apa yang kami nukil di sini ada dalam terjemahan ini. Walaupun kadang-kadang sedikit berbeda terjemahan dengan apa yang saya tulis. Tetapi pada intinya sama. Wallahu A'lam.

sumber :darussalaf.org.id