Friday, August 26, 2011

Memuliakan Al-Qur'an Bukan dengan Menciumnya





Memuliakan Al-Qur'an Bukan dengan Menciumnya

(Petikan nasihat dari Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani )

Bid’ah yang dihukumi sesat secara mutlak hanyalah bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama. Adapun bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada di masa Rasulullah n -pent.) dalam perkara dunia,mungkin perkaranya dibolehkan, namun terkadang pula diharamkan dan seterusnya. Seseorang yang naik pesawat untuk bepergian ke Baitullah guna menunaikan ibadah haji misalnya, tidak diragukan kebolehannya.

Adapun perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan) jika ditanyakan, “Kenapa engkau melakukannya?” Lalu yang ditanya menjawab, “Untuk taqarrub kepada Allah!” Maka aku katakan,

“Tidak ada jalan untuk taqarrub kepada Allah k kecuali dengan perkara yang disyariatkan-Nya.”


Al-Qur`an yang diturunkan oleh Rabbul ‘Alamin dari atas langit yang ketujuh adalah sebuah kitab yang diagungkan kehadirannya oleh kaum muslimin. Mereka menghormatinya, memuliakan, dan menyucikannya. Namun kadang-kala pengagungan dan penghormatan tersebut tidaklah sesuai dengan yang semestinya. Artinya,

"mereka menganggap perbuatan yang mereka lakukan merupakan bentuk pengagungan dan penghormatan terhadap Kalamullah, padahal syariat tidak menyepakatinya".


Satu kebiasaan yang lazim kita lihat di kalangan kaum muslimin adalah mencium/mengucup mushaf Al-Qur`an. Dengan berbuat seperti itu mereka merasa telah memuliakan Al-Qur`an.


Lalu apa penjelasan syariat tentang hal ini?


Kita baca keterangan Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani t berikut ini:


Dalam keyakinan kami, perbuatan mengucup mushaf tersebut hukumnya masuk dalam keumuman hadits:

إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ الْأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Hati-hati kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan merupakan bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”1

Dalam hadits yang lain disebutkan dengan lafadz:

وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

“Dan setiap kesesatan itu di dalam neraka.”2

Kebanyakan orang memiliki anggapan khusus atas perbuatan seumpamal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mengucup mushaf tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan dan pengagungan kepada Al-Qur`anul Karim. Bila demikian, kita katakan kepada mereka,

“Kalian benar. Perbuatan itu tujuannya tidak lain kecuali untuk memuliakan dan mengagungkan Al-Qur`anul Karim! Namun apakah bentuk pemuliaan dan pengagungan seperti itu dilakukan oleh generasi yang awal dari umat ini, yaitu para sahabat Rasulullah n, demikian pula para tabi’in dan atba’ut tabi’in?”
Tanpa ragu jawabannya adalah sebagaimana kata ulama salaf
“Seandainya itu adalah kebaikan, niscaya kami lebih dahulu mengerjakannya.”

Di sisi lain, kita tanyakan,

“Apakah hukum asal mengucup sesuatu dalam rangka taqarrub kepada Allah k itu dibolehkan atau dilarang?”

Berkaitan dengan masalah ini, kita bawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, agar menjadi peringatan bagi orang yang mau ingat dan agar diketahui jauhnya kaum muslimin pada hari ini dari pendahulu mereka yang shalih.


Hadits yang dimaksud adalah dari ’Abis bin Rabi’ah, ia berkata

“Aku melihat Umar ibnul Khaththab z mengucup Hajar Aswad dan berkata:

إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، فَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Sungguh aku tahu engkau adalah sebuah batu, tidak dapat memberikan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah n mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.”3

Apa makna ucapan ‘Umar Al-Faruq z,

“Seandainya aku tidak melihat Rasulullah n mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.”


Dan kenapa ‘Umar mencium/mengecup Hajar Aswad yang dikatakan dalam hadits yang shahih:

الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ

“Hajar Aswad (batu) dari surga.”4

Apakah ‘Umar menciumnya dengan falsafah yang muncul darinya sebagaimana ucapan orang yang berkata,
“Ini adalah Kalamullah maka kami menciumnya”?
Apakah ‘Umar mengatakan,
“Ini adalah batu yang berasal dari surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa maka aku menciumnya. Aku tidak memerlukn dalil dari Rasulullah n yang menerangkan pensyariatan menciumnya!”


Ataukah jawabannya(yang benarnya) karena memurnikan ittiba’ (pengikutan) terhadap Rasulullah n dan orang yang menjalankan Sunnah beliau sampai hari kiamat? Inilah yang menjadi sikap ‘Umar hingga ia berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah n mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu….”


Dengan demikian, hukum asal mencium seperti ini adalah kita menjalankannya di atas sunnah yang telah berlangsung, bukannya kita menghukumi dengan perasaan kita, “Ini baik dan ini bagus.”

Ingat pula sikap Zaid bin Tsabit, bagaimana ia memperhadapkan tawaran Abu Bakar dan ‘Umar g kepadanya untuk mengumpulkan Al-Qur`an guna menjaga Al-Qur`an jangan sampai hilang. Zaid berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah n?!”


Sementara kaum muslimin pada hari ini, tidak ada pada mereka pemahaman agama yang benar.

Bila dihadapkan pertanyaan kepada orang yang mencium mushaf tersebut, “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah n?”, niscaya ia akan memberikan jawaban yang aneh sekali. Di antaranya, “Wahai saudaraku, ada apa memangnya dengan perbuatan ini, toh ini dalam rangka mengagungkan Al-Qur`an!”

Maka katakanlah kepadanya,

“Wahai saudaraku, apakah Rasulullah n tidak mengagungkan Al-Qur`an? Tentunya tidak diragukan bahwa beliau sangat mengagungkan Al-Qur`an namun beliau tidak pernah mencium Al-Qur`an.”

Atau mereka akan menanggapi dengan pernyataan,

“Apakah engkau mengingkari perbuatan kami mencium Al-Qur`an? Sementara engkau mengendarai mobil, bepergian dengan pesawat terbang, semua itu perkara bid’ah (maksudnya kalau mencium Al-Qur`an dianggap bid’ah maka naik mobil atau pesawat juga bid’ah, Rasulullah n tidak pernah naik mobil dan pesawat, –pent.).”

Ucapan ini jelas salahnya karena bid’ah yang dihukumi sesat secara mutlak hanyalah bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama. Adapun bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada di masa Rasulullah n -pent.) dalam perkara dunia,mungkin perkaranya dibolehkan, namun terkadang pula diharamkan dan seterusnya. Seseorang yang naik pesawat untuk bepergian ke Baitullah guna menunaikan ibadah haji misalnya, tidak diragukan kebolehannya. Sedangkan orang yang naik pesawat untuk safar ke negeri Barat dan berhaji ke barat, tidak diragukan sebagai perbuatan maksiat. Demikianlah.


Adapun perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan) jika ditanyakan, “Kenapa engkau melakukannya?” Lalu yang ditanya menjawab, “Untuk taqarrub kepada Allah!” Maka aku katakan,


“Tidak ada jalan untuk taqarrub kepada Allah k kecuali dengan perkara yang disyariatkan-Nya.”

Engkau lihat bila salah seorang dari ahlul ilmi mengambil mushaf untuk dibaca, tak ada di antara mereka yang menciumnya. Mereka hanyalah mengamalkan apa yang ada di dalam mushaf Al-Qur`an.

Sementara kebanyakan manusia yang menyedari mereka tidak memiliki kaidah, menyatakan perbuatan itu sebagai pengagungan terhadap Kalamullah namun mereka tidak mengamalkan kandungan Al-Qur`an.

Sebagian salaf berkata,

“Tidaklah diadakan suatu bid’ah melainkan akan mati sebuah sunnah.”

Ada bid’ah lain yang semisal bid’ah ini. Engkau lihat manusia, sampai pun orang-orang fasik di kalangan mereka namun di hati-hati mereka masih ada sisa-sisa iman, bila mereka mendengar muadzin mengumandangkan adzan, mereka bangkit berdiri. Jika engkau tanyakan kepada mereka, “Apa maksud kalian berdiri seperti ini?” Mereka akan menjawab, “Dalam rangka mengagungkan Allah k!” Sementara mereka tidak pergi ke masjid. Mereka terus asyik bermain dadu, catur, dan semisalnya. Tapi mereka meyakini bahwa mereka mengagungkan Rabb mereka dengan cara berdiri seperti itu. Dari mana mereka dapatkan kebiasaan berdiri saat adzan tersebut?! Tentu saja mereka dapatkan dari hadits palsu:

إِذَا سَمِعْتُمُ الْأَذَانَ فَقُوْمُوْا

“Apabila kalian mendengar adzan maka berdirilah.”5

Hadits ini sebenarnya ada asalnya, akan tetapi ditahrif oleh sebagian perawi yang dhaif/lemah atau para pendusta. Semestinya lafadznya: قُوْلُوا (…ucapkanlah), mereka ganti dengan: قُوْمُوْا (…berdirilah), meringkas dari hadits yang shahih:

إِذَا سَمِعْتُمُ الْأَذَانَ، فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ

“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah semisal yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku….”6

Lihatlah bagaimana setan menghias-hiasi bid’ah kepada manusia dan meyakinkannya bahwa ia seorang mukmin yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah l. Buktinya bila mengambil Al-Qur`an, ia menciumnya dan bila mendengar adzan ia berdiri karenanya.


Akan tetapi apakah ia mengamalkan Al-Qur`an? Tidak! Misalnya pun ia telah mengerjakan shalat, tapi apakah ia tidak memakan makanan yang diharamkan? Apakah ia tidak makan riba? Apakah ia tidak menyebarkan di kalangan manusia sarana-sarana yang menambah kemaksiatan terhadap Allah l? Apakah dan apakah…? Pertanyaan yang tidak ada akhirnya.


Karena itulah, kita berhenti dalam apa yang Allah l syariatkan kepada kita berupa amalan ketaatan dan peribadatan. Tidak kita tambahkan walau satu huruf, karena perkaranya sebagaimana disabdakan Rasulullah n:

مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ

“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali pasti telah aku perintahkan kepada kalian.”7

Maka apakah amalan yang engkau lakukan itu dapat mendekatkanmu kepada Allah k? Bila jawabannya, “Iya.” Maka datangkanlah nash dari Rasulullah n yang membenarkan perbuatan tersebut.

Bila dijawab, “Tidak ada nashnya dari Rasulullah n.” Berarti perbuatan itu bid’ah, seluruh bid’ah itu sesat dan seluruh kesesatan itu dalam neraka.


Mungkin ada yang merasa heran, kenapa masalah yang kecil seperti ini dianggap sesat dan pelakunya kelak berada di dalam neraka? Al-Imam Asy-Syathibi t memberikan jawabannya dengan pernyataan beliau, “Setiap bid’ah bagaimana pun kecilnya adalah sesat.”


Maka jangan melihat kepada kecilnya bid’ah, tapi lihatlah di tempat mana bid’ah itu dilakukan.
Bid’ah dilakukan di tempat syariat Islam yang telah sempurna, sehingga tidak ada celah bagi seorang pun untuk menyisipkan ke dalamnya satu bid’ah pun, kecil ataupun besar. Dari sini tampak jelas sisi kesesatan bid’ah di mana perbuatan ini maknanya memberikan ralat, koreksi, dan susulan (dari apa yang luput/tidak disertakan) kepada Rabb kita k dan juga kepada Nabi kita n. Seolahnya yang membuat dan melakukan bid’ah merasa lebih pintar daripada Allah k dan Rasul-Nya. Na’udzu billah min dzalik. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Dinukil dan disarikan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina an Nufassir Al-Qur`an Al-Karim, hal. 28-34)


1 Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/92/34

2 Shalatut Tarawih, hal. 75

3 Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/94/41

4 Shahihul Jami’, no. 2174

5 Adh-Dha’ifah, no. 711

6 Hadits riwayat Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 384

7 Ash Shahihah, no. 1803


Thursday, 24 March 2011

sumber:AsSyariaah.com (online)




Top 10 Tips – Keep Ramadan Spirit alive all the Year



Don't forget to share this article after reading

Keeping Ramadan Spirits Alive: 10 tips to help you keep those Ramadan habits



Ramadan was great for Sarah. She actually started praying five times a day on time. But once the blessed month is over she fears the momentum, drive and motivation that kept her going will fade out. Sarah is worried that this good habit might not last.


But it doesn't have to be that way. In fact, a number of psychologists agree that a person needs about three weeks to develop a good habit. If you've been praying regularly, fasting, controlling your temper, trying to be more patient, or keeping any other good habit during Ramadan, you're almost sure, Insha Allah, to keep up with it afterwards.


Nonetheless, we all slip up. As well, the drive that pushes us to do good in Ramadan is usually not as strong the rest of the year. Here are a few things you can do to maintain the good habits you picked during Ramadan:


1. Make Dua

It was Allah who gave you the ability to keep the good habit in Ramadan, and only He can help you maintain it afterwards. Make Dua that Allah helps you not only keep the habit, but that He accepts it and makes it a way for you to grow in closeness to Him.


2. Make it a habit

If you want to keep good habits, you've got to make sure they remain part of your daily schedule. For instance, fasting. Did you know that the Prophet (peace and blessings be upon him) encouraged fasting on Mondays and Thursdays? He said: A man's deeds are reported (to Allah) on Mondays and Thursdays and I prefer that I should be fasting when my deeds are reported (Tirmidhi).

This is a great way of maintaining the habit so you're not rusty by next Ramadan.

Or for example, were you extra generous during Ramadan? Well, maybe you can portion out a set amount of your weekly or monthly paycheck to a charitable cause to maintain the habit of giving.

Make the habit part of your daily and weekly schedule. The point is to keep the action in practice, and of course gain rewards from Allah.


3. Think about your day each Night

Evaluating ourselves, our intentions, words and actions, every night is a very good way to maintain good habits (see a sample self-evaluation form).

Self-evaluation doesn't only help you see where you are and where you've got to go. It's also a great reminder of what you were supposed to do and didn't.

Add a question or two (or three or four) about your specific habit into a daily self-evaluation questionnaire. Ask yourself, for instance, how often did I pray today? What was the quality of my prayer? Did I pray on time? etc. These serve to remind you to keep up the habit and do better next time.


4. Evaluate yourself weekly

This helps you see the bigger picture. You'll be able to evaluate on a more long-term level how well you've been keeping your habit in practice. You can do the same thing on a monthly and yearly basis.

For those who are really into the technical aspect of self-evaluation, maybe you can make a graph to help you chart how well (or not so well) you've been keeping up with your good habit.


5. Get a Friend to help

What are friends for anyway? If you've got a close friend you feel you can share your new habit with, let them join you in keeping up with it and keeping tabs on you while they're at it. This will not only encourage you, but Insha Allah, it'll deepen your brother/sisterhood as well.

Alternatively, look for groups where you can maintain the habit. If, for instance, you memorized Quran regularly in Ramadan and want to keep the habit, join an Islamic study circle focused on memorization.


6. Don't fall apart once you make one mistake

The beauty of Tawbah (repentance) in Islam, is that Allah blesses us with this opportunity to return back to Him after doing something wrong. We should remember that we are humans and that we will err. Only Allah is Perfect.

This is why, for instance, if we were able to pray on time all through Ramadan, but become slack afterwards, we must realize it, seek Allah's forgiveness sincerely, and try our best to get back on track, asking Allah to help us.

We should not give up trying to pray on time just because we have missed doing so on a couple of occasions.


7. Ask yourself WHY you kept the habit

Niyyah or intention is a key to Allah's acceptance of our good deeds. If we developed a habit to impress others, for instance, we may be able to keep the momentum for a while, but most probably it'll wear out afterwards.

But if we maintained a habit sincerely for the sake of Allah, Insha Allah, not only will we be rewarded for it, but our intention will help us maintain the necessary motivation to continue to do good.


8. Don't expect the same results

If you were ready to spring out of bed in anticipation for Fajr during many of the days of Ramadan, but find yourself barely waking up for the prayer afterwards, don't be surprised, but don't become slack either.

Good habits are often easy to maintain in Ramadan, the blessed month. The hard part is doing so after the "high" of Ramadan. This is where you'll have to work hard to force yourself to maintain your habit, whether it's waking up for Fajr, not smoking, eating less, being more patient, etc.

Be thankful when you're able to maintain your habit and think about practical things you can do to keep it up on a regular basis.

9. Work your way up slowly

Aisha reported that Rasulullah said: Do good deeds properly, sincerely and moderately, and remember that you shall enter Paradise only through Allah's Mercy, and also remember that the most beloved deed to Allah is that which is regular and constant even if it is little (Bukhari).

The wisdom in this Hadith is tremendous and it is one way of keeping up good habits you have picked up in Ramadan.

For example, let's say you were motivated to read Quran for half-an-hour on a daily basis in Ramadan. But now that it's over, you feel sluggish, lazy and want to give it up. Yet, you had wanted to maintain this habit after the blessed month was over.

Instead of trying to read Quran for the same amount of time, reduce the time period to as much as you are initially able to do, even if it's just five minutes a day.

If you keep up this 'five minutes a day' habit, Insha Allah, you will see the amount of Quran you read will increase slowly but gradually, perhaps even surpassing your Ramadan maximum in the long-term, Insha Allah!

10. Don't give yourself the option

What makes you get up for work in the mornings, no matter how tired you are? What makes you drag yourself out of a warm bed on a cold morning to get ready for school? It's the fact that you have no option, and you know that there are negative consequences to not going to work (you'll be fired) or school (you'll fail).

Use the same kind of psychology on yourself when it comes to maintaining your good habit. Tell yourself, for instance, that Allah will be very angry with you if you do not pray Fajr, no matter how cold your room is on a frosty December morning. That in turn can lead to more bad deeds, which could lead to decreased faith, and a downward spiral in your life. And Allah can punish you in various ways in this world as well as the next for not praying. You could lose your job; you could have a family crisis, etc.

Righteous actions are for all times and all places, so strive, O my brother and sister, and beware of laziness. And remember that it is not allowed for us to leave the obligatory actions or delay them, such as the five daily prayers on time, in congregation etc.

And do not fall into forbidden actions, such as forbidden sayings, food and drinks, or by looking at or listening to what is forbidden.

Be steadfast and upright upon the Deen of Allah at all times, for you do not know when you'll meet the Angel of Death. Beware of him taking you while you are in a state of sin. "O Allah, Who turns the hearts, keep our hearts
steadfast upon Your Deen."

I ask Allah to accept from us and you our fasting, our prayers and other righteous actions, that our condition after Ramadan be a better one, that the state of our Ummah improves, that we are granted honour and that we truly turn to our Lord. Ameen

Source: Sound Vision

• September 6, 2010

Thursday, August 25, 2011

Serba-Serbi I’tikaf



Penjelasan penting masalah i’tikaf (iktikaf)


Mohon dijelaskan tentang iktikaf, rukun, syarat, pembatal, dan kapan memulainya. Terima kasih.

Jawaban pertanyaan seputar i’tikaf (iktikaf):


I’tikafadalah ‘tinggal berdiam di masjid dengan niat tertentu dan dengan tata cara tertentu’. Tempat i’tikaf: di masjid yang digunakan untuk shalat berjemaah, meskipun tidak digunakan untuk Solat Jumaat, seperti mushalla.


Allah berfirman, yang artinya, “Janganlah kalian melakukan hubungan suami-istri ketika kalian sedang i’tikaf di masjid ….” (Q.s. Al-Baqarah:187)


Imam Al-Bukhari membuat judul bab Bab (anjuran) i’tikaf di sepuluh hari terakhir dan (boleh) i’tikaf di semua masjid“. (Shahih Bukhari, 7:382)


Bila memulai i’tikaf (iktikaf)?


Dianjurkan untuk memulai i’tikaf di malam tanggal 21 setelah magrib, kemudian mulai masuk ke tempat khusus (semacam tenda atau sekat) setelah subuh pagi harinya (tanggal 21 Ramadan).


Dari Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Aku membuatkan tenda untuk beliau. Lalu beliau shalat subuh kemudian masuk ke tenda i’tikafnya.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)


Rukun i’tikaf (iktikaf)


  1. Niat. Letak niat itu di hati dan tidak boleh dilafalkan. Sebatas keinginan untuk itikaf itu sudah dianggap berniat untuk i’tikaf.

  2. Dilakukan di masjid, baik masjid untuk jumatan mauapun yang tidak digunakan untuk jumatan.

  3. Menetap di masjid.

Pembatal i’tikaf (iktikaf)


  1. Hubungan biologis dan segala pengantarnya.

  2. Keluar masjid tanpa kebutuhan.

  3. Haid dan nifas.

  4. Gila atau mabuk.

Yang diperbolehkan ketika i’tikaf (iktikaf)


  1. Keluar masjid karena kebutuhan mendesak, seperti: makan, buang hajat, dan hal lain yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid.

  2. Mengeluarkan sebagian anggota badan dari masjid.

  3. Makan, minum, tidur, dan berbicara.

  4. Wudhu di masjid.

  5. Bermuamalah dan melakukan perbuatan (selain ibadah) di masjid, kecuali jual beli.

  6. Menggunakan minyak rambut, parfum, dan semacamnya.

Yang dimakruhkan ketika i’tikaf (iktikaf)


  1. Menyibukkan diri dengan kegiatan yang tidak bermanfaat, baik ucapan maupun perbuatan.

  2. Tidak mau berbicara ketika i’tikaf, dengan anggapan itu merupakan bentuk ibadah. Perbuatan ini termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya.

Mandi ketika i’tikaf (iktikaf)


Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan bahwa hukum mandi ketika i’tikaf dibagi menjadi tiga:


  1. Wajib, yaitu mandi karena junub.

  2. Boleh, yaitu mandi untuk menghilangkan bau badan dan kotoran yang melekat di badan.

  3. Terlarang, yaitu mandi sebatas untuk mendinginkan badan. (Majmu’ fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 20:178)

I’tikaf (iktikaf) bagi wanita


  1. Diperbolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf bersama suaminya atau sendirian, dengan syarat: ada izin dari walinya (suami atau orang tuanya) serta aman dari fitnah atau berdua-duaan dengan laki-laki. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan,
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan sampai Allah merwafatkan beliau. Kemudian para istri beliau beri’tikaf setelah beliau meninggal.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)

  2. Diperbolehkan bagi wanita mustahadhah untuk melakukan i’tikaf. Dari‘Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan,
    Salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang istihadhah beri’tikaf bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang wanita ini melihat darah kekuningan dan darah kemerahan ….” (H.r. Al-Bukhari)

Batasan “dianggap telah keluar masjid”


Orang yang i’tikaf dianggap keluar masjd jika dia keluar dengan seluruh badannya. Jika orang i’tikaf hanya mengeluarkan sebagian badannya maka tidak disebut keluar masjid.


‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepala beliau ke ruanganku ketika aku berada di dalam, kemudian aku menyisir rambut beliau, sedangkan aku dalam kondisi haid.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)


Catatan: Pintu ruangan Aisyah mepet dengan Masjid Nabawi.


Allahu a’lam.


Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)


Artikel www.KonsultasiSyariah.com

credit to : Moslem Channel , August 22, 2011

Tema: Kapan memulai iktikaf, Rukun iktikaf, Pembatal iktikaf, Yang diperbolehkan ketika iktikaf, Yang dimakruhkan ketika iktikaf, Mandi ketika i’tikaf, Iktikaf bagi wanita, Batasan “dianggap telah keluar masjid”



Wednesday, August 24, 2011

Cara Wanita Haid Menghidupkan Lailatul Qadar


Lailatul qadar untuk wanita haid

Soalan :

Bagaimana cara wanita haid menghidupkan lailatul qadar?

Jawaban:

Untuk wanita haid yang ingin medapatkan malam lailatul qadar :

Wanita haid bisa melakukan banyak ibadah selain shalat.

Juwaibir mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh-Dhahak,


“Bagaimana pendapatmu tentang wanita nifas, haid, musafir, dan orang yang tidur; apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh-Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap berpeluang mendapatkan bagian. Setiap orang yang Allah terima amalannya akan mendapatkan bagian lailatul qadar.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 341)

Keterangan ini menunjukkan bahwa wanita haid, nifas dan musafir tetap berpeluang mendapatkan bagian dari lailatul qadar. Hanya saja, wanita haid dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat. Bagi mendapatkan banyak pahala ketika lailatul qadar, wanita haid atau nifas masih memiliki banyak kesempatan ibadah.


Di antara bentuk ibadah yang boleh dilakukan adalah:

  1. Membaca Alquran tanpa menyentuh mushaf.
  2. Berzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (la ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah), dan zikir lainnya.
  3. Memperbanyak istigfar.
  4. Memperbanyak doa.
  5. Membaca zikir ketika lailatul qadar, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Aisyah radhiallahu ‘anha
    , “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jika aku menjumpai satu malam yang itu merupakan lailatul qadar, apa yang aku ucapkan?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ucapkanlah, ‘اللَّـهُـمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُـحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي’ (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Pemaaf dan Pemurah maka maafkanlah diriku.)’” (Hadis sahih; diriwayatkan At-Turmudzi dan Ibnu majah)


Dalam Fatwa Islam Tanya-Jawab dijelaskan,

“Wanita haid boleh melakukan semua bentuk ibadah, kecuali shalat, puasa, tawaf di ka’bah, dan i’tikaf di masjid. Menghidupkan lailatul qadar tidak hanya dengan shalat, namun mencakup semua bentuk ibadah. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, ‘Makna ‘menghidupkan malam lailatul qadar adalah begadang di malam tersebut dengan melakukan ketaatan.’ An-Nawawi mengatakan, “Makna ‘menghidupkan lailatul qadar’ adalah menghabiskan waktu malam tersebut dengan bergadang untuk shalat dan amal ibadah lainnya.’”

Kesimpulan: Meskipun wanita berhalangan, mereka masih mampu untuk mendapatkan malam lailatul qadar.

Sumber: http://www.islam-qa.com/ar/ref/26753

Allahu a’lam.

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).

Artikel: www.KonsultasiSyariah.com


Credit to : Moslem Channel

Menjawab HADIS GHADIR KHUM. [Runtuhnya tembok Aqidah Syiah]


PENDAHULUAN

Tidak mungkin untuk membahas hadis Ghadir Khum tanpa memahami pertama kali konteks tertentu di mana Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mengatakan apa yang dia katakan. Ini adalah pedoman umum yang berkaitan dengan kanon Islam secara keseluruhan: penting untuk mengetahui latar belakang di mana suatu ayat Alquran diturunkan atau suatu hadis tertentu dikatakan.

Misalnya, ayat Quran “bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka” sering digunakan oleh orientalis untuk menyalahgunakan dan menjadikannya tampak seolah-olah Islam menganjurkan pembunuhan orang di mana saja dan kapan saja anda menjumpai mereka. Tentu saja, jika kita melihat ketika ayat ini diturunkan, kita menemukan bahwa ayat itu adalah khusus diwahyukan pada pertempuran antara Muslim dan Mushriks Quraisy, hal ini membuat kita menyadari bahwa hal itu bukanlah hukum umum untuk membunuh orang tetapi ayat tersebut diwahyukan pada situasi tertentu.


Demikian juga, Hadis Ghadir Khum hanya dapat dipahami dalam konteks pada peristiwa apa ia diucapkan:

Sekelompok tentara sangat keras mengkritik Ali bin Abi Thalib (رضى الله عنه) pada masalah tertentu, dan berita ini sampai kepada Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم), yang kemudian Beliau berkata apa yang Beliau katakan dalam hadis Ghadir Khum. Seperti orientalis, para propagandis Syiah berupaya untuk menghapus latar belakang konteks di mana Hadis tersebut dikatakan untuk memberikan gambaran yang sama sekali berbeda (dan menyesatkan).



Tujuannya Nabi mengatakan kembali apa yang dikatakan di Ghadir Khum sama sekali tidak untuk mencalonkan Ali (رضى الله عنه) sebagai khalifah tetapi itu hanyalah untuk membela Ali (رضى الله عنه) terhadap fitnah yang dikatakan terhadap dia. Hanya dengan membuang konteks latar belakang suatu hadits adalah mungkin untuk menciptakan pemahaman Syiah terhadap teks tersebut sesuai keinginan mereka. Untuk alasan inilah kita harus selalu mengingatkan saudara kita Syiah konteks latar belakang di mana Hadis Ghadir Khum dikatakan.


PENTINGNYA GHADIR KHUM UNTUK SYIAH

Syiah mengklaim bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) menetapkan Ali (رضى الله عنه) secara ilahiah untuk menjadi penggantinya di suatu tempat yang disebut Ghadir Khum.

Sebelum kita membahas peristiwa Ghadir Khum dengan saudara-saudara kita Syiah, pertama-tama kita harus mendefinisikan parameter debat.

Dengan kata lain, kita harus “mengatur taruhannya”:

(1) Jika Syiah dapat membuktikan versi mereka tentang Ghadir Khum, maka pasti Ali (رضى الله عنه) telah ditunjuk oleh Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) secara ilaiyah dan akidah Syiah adalah benar.

(2) Jika, kaum Sunni menyangkal gagasan bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) menunjuk Ali (رضى الله عنه) di Ghadir Khum, maka saudara kita Syiah harus bersedia menerima kenyataan bahwa Ali (رضى الله عنه ) tidak pernah ditunjuk sama sekali oleh Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) dan karena itu seluruh keyakinan Syiah tidak valid.


Alasan kita membuat “taruhan” ini sangat jelas bahwa sejak awal propagandis Syiah memiliki kemampuan luar biasa untuk memindahkan “tiang gawang” setiap kali mereka kalah debat. Mereka akan melompat dari satu topik ke yang lain, jika mereka kehilangan perdebatan Ghadir Khum, maka mereka akan membawa pada Insiden Pintu Rumah Fatimah, atau Saqifah, atau Fadak, atau siapa tahu apa lagi.


Seluruh pondasi Syi’ah bertumpu pada peristiwa Ghadir Khum ini, karena di sini Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم), dianggap mencalonkan Ali (رضى الله عنه) untuk menjadi penggantinya. Jika kejadian ini tidak sebagaimana klaim Syiah, maka Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) tidak pernah mengangkat Ali (رضى الله عنه) dan Syiah harus meninggalkan semua klaim mereka, seperti ide bahwa Abu Bakar (رضى الله عنه) merebut kekhalifahan yang ditunjuk oleh Allah untuk Ali (رضى الله عنه).


Memang, peristiwa Ghadir Khum sangat penting bagi paradigma Syiah -dan begitu pentingnya bagi teologi Syiah-maka massa Syiah memiliki perayaan tahunan yang dikenal sebagai “Eid Al-Ghadir”.
Amaana.org says
Eid-e Gadhir is celebrated with great rejoicing by Shia Muslims where they remember Prophet Muhammad’s last instructions to the believers. Eid-e-Ghadir is one of the most important days of rejoicing for Shia Muslims around the world as that was the day our beloved Prophet Muhammad (s.a.s.) declared Hazrat Ali’s vicegerency at Ghadir e Khumm on his return from his last pilgrimage…
source: http://www.amaana.org/gadhir/gadhir1.htm

Berdasarkan apa yang seharusnya terjadi di Ghadir Khum, Syiah menolak kekhalifahan Abu Bakar (رضى الله عنه), berpisah dari Muslim mainstream, dan menyatakan bahwa Ali (رضى الله عنه) adalah yang pertama dari imam yang ditetapkan secara ilahiah. Situs Syiah, Al-Islam.org, merujuk pada Ghadir Khum sebagai “peristiwa penting” dan pondasi bagi Imamah Ali (رضى الله عنه).

Alasan perlunya sangat menekankan pentingnya Ghadir Khum bagi Syiah adalah bahwa kita akan menunjukkan bagaimana ‘senjata’ yang diduga kuat di gudang propaganda Syiah tersebut sebenarnya sangat lemah. Jika hal ini adalah sangat mendasar bagi Syi’ah, maka sesungguhnya doktrin Syi’ah adalah sangat lemah. Syiah mengatakan bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) menunjuk Ali (رضى الله عنه) di Ghadir Khum tapi logika sederhana menentukan sebaliknya.


BAGAIMANA TERJADINYA KLAIM SYIAH TERSEBUT?
Al-Islam.org says
“After completing his last pilgrimage (Hajjatul-Wada’), Prophet [s] was leaving Makkah toward Madinah, where he and the crowd of people reached a place called Ghadir Khumm (which is close to today’s al-Juhfah). It was a place where people from different provinces used to greet each other before taking different routes for their homes.
In this place, the following verse of the Qur’an was revealed:
“O Apostle! Deliver what has been sent down to you from your Lord; and if you don’t do it, you have not delivered His message (at all); and Allah will protect you from the people …” (Qur’an 5:67)
The last sentence in the above verse indicates that the Prophet [s] was mindful of the reaction of his people in delivering that message but Allah informs him not to worry, for He will protect His Messenger from people.
Then followed the key sentence denoting the clear designation of ‘Ali as the leader of the Muslim ummah. The Prophet [s] held up the hand of ‘Ali and said:
“For whoever I am his Leader (mawla), ‘Ali is his Leader (mawla).”
Immediately after the Prophet [s] finished his speech, the following verse of the Qur’an was revealed:
“Today I have perfected your religion and completed my favour upon you, and I was satisfied that Islam be your religion.” (Qur’an 5:3)
The above verse clearly indicates that Islam without clearing up matter of leadership after Prophet [s] was not complete, and completion of religion was due to announcement of the Prophet’s immediate successor.
source: http://www.al-islam.org/ghadir/incident.htm

MENGAPA TIDAK MASUK AKAL?

Syiah mengklaim bahwa ketika Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) menyelesaikan haji terakhir, mengatakan Khutbah Perpisahannya di puncak Gunung Arafah di Mekkah, dan kemudian setelah itu menunjuk Ali (رضى الله عنه) di Ghadir Khum.

Mari kita analisa klaim(dakwaan ) ini:

Ghadir Khum terletak antara Mekah dan Madinah, di dekat kota Al-Juhfah, seperti yang disebutkan oleh situs Al-Islam.org. Ini adalah lubang air di tengah padang pasir. Pukulan telak kepada argumen Syiah adalah bahwa pada kenyataannya Ghadir Khum itu terletak sekitar 250 km dari Mekah. Fakta sederhana ini cukup untuk menghancurkan seluruh premis Syi’ah.


Seperti kita semua tahu, Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) menyampaikan Khutbah Perpisahannya di Mekah pada haji terakhir. Ini terjadi di depan sebagian besar kaum muslimin, yang datang dari berbagai kota untuk melakukan haji. Jika Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) ingin menunjuk Ali (رضى الله عنه) sebagai penggantinya, maka sama sekali tidak ada penjelasan yg rasional mengapa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) tidak melakukan hal ini selama Khotbah Perpisahan kepada semua kaum muslimin. Seluruh umat yang berkumpul di sana untuk mendengar kata-kata perpisahan, sehingga pasti merupakan saat dan kesempatan yang paling tepat untuk menunjuk penggantinya.


Nabi (صلى عليه الله وآله وسلم) dan Muslim menyelesaikan haji mereka dan setelah itu semua orang kembali ke kota masing-masing. Penduduk Madinah kembali ke Madinah, masyarakat Taif kembali ke Taif, orang-orang Yaman kembali ke Yaman, orang-orang Kufah kembali ke Kufah, masyarakat Suriah kembali ke Suriah, dan orang-orang Mekkah tetap tinggal di Mekah.


Hanya kelompok orang-orang yang hidup di kota-kota di sebelah Utara Semenanjung Arab yang melalui Ghadir Khum. Dan ini hanya akan terdiri dari orang-orang yang menuju Madinah dan minoritas Muslim yang tinggal di tempat seperti Suriah. Oleh karena itu, ketika Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) berhenti di Ghadir Khum dan ketika insiden yang dianggap terjadi, justru sejumlah besar kaum muslim tidak hadir, yaitu mereka yang tinggal di Mekah, Taif, Yaman, dll. Setelah Haji, orang Mekah tetap tinggal di Mekah, orang-orang Taif kembali ke Taif, orang-orang Kufah kembali ke Kufah, orang-orang Yaman kembali ke Yaman, dll. Hanya sekelompok orang yang pergi ke Madinah (atau lewat melalui / dekat) yang menyertai Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) menuju Ghadir Khum.


Oleh karena itu, bertentangan dengan klaim Syiah, justru Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) tidak menunjuk Ali (رضى الله عنه) di depan seluruh kaum muslimin, melainkan yang terjadi di Ghadir Khum hanya di depan sebagian Muslim yang sedang pulang menuju ke Madinah (atau lewat melalui / dekat). Mari kita lihat apa yang diklaim oleh situs Syiah:
The Thaqalayn Muslim Association says
“On the 18th of Dhul-Hajjah, after completing his “farewell pilgrimage” (Hajjatul- Wida’a), the Messenger of Allah (peace be upon him and his progeny) had departed Makkah en route to Madinah. He and the entire Muslim caravan, numbering over 100,000, were stopped at Ghadeer Khumm, a deserted-yet-strategically situated area that lies between Makkah and Madinah (near today’s Juhfah). In those days, Ghadeer Khumm served as a point of departure, where the various Muslims who had come to perform the pilgrimage from neighbouring lands would disperse and embark upon their own routes back home.
source: http://www.utm.thaqalayn.org/files/ghadeer.pdf

Situs Syiah mengklaim bahwa “Ghadeer Khum merupakan tempat kedatangan, di mana berbagai Muslim yang datang untuk melakukan haji dari daerah di sekitarnya akan menyebar dan memulai rute mereka sendiri untuk pulang.” Apa yang terlihat pada peta akan menunjukkan bagaimana hal tersebut benar-benar tidak masuk akal. Peta berikut datang dari Al-Islam.org:


Dari peta di atas adalah jelas bahwa orang-orang yang melewati Ghadir Kum adalah hanya mereka yang menuju ke Madinah atau kota-kota di sebelah utara Ghadir Kum. Oleh karena itu, merupakan hal yang sangat tidak bijaksana bagi Nabi menyampaikan pidato penting tentang penggantinya di tempat itu, karena tidak seluruh muslim hadir di tempat itu. Akan lebih tepat jika pidato penting tersebut disampaikan di Mekah tempat di mana seluruh muslim berkumpul.

Ilustrasi detilnya adalah sebagai berikut:

Ketika umat Islam akan beribadah haji, mari kita asumsikan bahwa ini adalah rute normal yang mereka ambil:

Sekarang kaum Muslim dari seluruh penjuru kota telah berkumpul di Mekah, bukankah ini merupakan waktu yang paling tepat untuk menyatakan siapa pengganti Nabi?

Namun para propagandis Syiah ingin agar kita percaya bahwa Muslim yang akan pulang ke Taif dan Yaman setelah haji akan melakukan perjalanan tambahan sekitar 500 km, perjalanan bolak-balik dari Mekah ke Ghadir Khum dan kemudian baru melakukan perjalanan dari Makah ke arah kota asalnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Syiah sendiri, Ghadir Khum adalah sebuah lubang air dan tempat beristirahat bagi mereka yang bepergian … sesuatu hal yang mereka gagal untuk menyebutkan bahwa Ghadir Kum adalah tempat istirahat sepulang haji yang hanya cocok bagi mereka melewatinya, yaitu mereka yang pulang dari Mekah ke arah utara bukan bagi mereka yang pulang dari Mekah ke arah selatan!

Syiah ingin kita percaya bahwa perjalanan kembalinya Muslim setelah haji akan terlihat seperti ini:

Rute seperti di atas tentu saja tidak wajar dan aneh bahkan sulit diterima akal sehat. Semestinya setelah haji, semua orang kembali ke kota-kota atau rumah mereka masing-masing dan orang Mekah akan tetap tinggal di sana. Mengapa mereka setelah haji harus melalui rute melewati Ghodir Kum, mengingat fakta bahwa Muslim pada waktu itu kebanyakan berjalan kaki di gurun pasir yang berat. Perjalanan ekstra menuju Ghadir Khum sekitar 250 km dan kembali lagi akan menambahkan waktu beberapa minggu perjalanan. Apakah hal ini tidak aneh dan merendahkan akal sehat?

Semestinya, gambaran rute perjalanan pulang kaum muslimin setelah haji pada waktu itu adalah sebagai berikut:


Oleh karena itu, kesimpulan kami adalah bahwa klaim Syiah bahwa Nabi menunjuk Ali di depan seluruh Muslim sangatlah tidak mungkin karena pada kenyataannya Nabi sama sekali tidak menyampaikan hal tersebut pada Khotbah Perpisahannya di Arafah. Adapun peristiwa Ghadir Khum, kita telah melihat bagaimana mungkin tempat ini akan menjadi tempat yang tepat yang digunakan Nabi untuk menunjuk Ali sebagai khalifah berikutnya, karena hal sepenting itu semestinya disampaikan oleh Nabi kepada seluruh muslimin sewaktu mereka masih berkumpul pada saat haji, bukan hanya kepada sebagian muslimin yang sedang melakukan perjalanan pulang ke arah sebelah utara kota Mekah.


APA YANG SEBENARNYA TERJADI DI GHADIR KHUM ?

Tidak ada yang menyangkal adanya peristiwa Ghadir Khum, namun, apa yang kami sangkal adalah berlebihan-lebihannya Syiah berkaitan dengan cara yang mereka lakukan dalam mengungkapkan peristiwa tersebut.

Pertama, Syiah melebih-lebihkan tentang berapa banyak sebenarnya orang yang hadir di Ghadir Khum, mereka sering memberikan gambaran bahwa jumlahnya ratusan ribu. Seperti yang telah kami ilustrasikan di atas, bahwa hanya kaum Muslimin yang menuju ke Madinah saja yang hadir di Ghadir Khum, ini berarti bahwa orang-orang Mekah tidak hadir, demikian juga orang-orang Taif, Yaman, dll. Bahkan Syiah sering menyatakan bahwa 100.000 orang hadir di Ghadir Khum, suatu angka yang lebih tepat tentang jumlah orang yang hadir di Mekah untuk melaksanakan haji dari seluruh kota, bukan jumlah orang-orang yang kembali ke Madinah (yang hanya sebagian kecil dari jumlah tersebut). Berapapun jumlahnya, yang jelas hanya sebagian dari Muslim yang tidak termasuk Muslim yang tinggal di Mekah, Taif, Yaman, dll


Selain dari itu, konteks Ghadir Khum harus juga dipertimbangkan.

Apa yang terjadi di Ghadir Khum adalah bahwa Nabi menanggapi individu tertentu yang mengkritik Ali bin Abi Thalib. Latar belakang di balik peristiwa ini adalah bahwa beberapa bulan sebelumnya, Nabi telah mengirim Ali bersama 300 orang pasukan ke Yaman dalam sebuah ekspedisi. Hal ini disebutkan di website Syiah, www.najaf.org: “Ali diangkat sebagai pemimpin ekspedisi ke Yaman.”
(Http://www.najaf.org/english/book/20/4.htm)


Tentara yang dipimpin oleh Ali sangat sukses di Yaman dan mereka mendapatkan banyak jarahan perang. Perihal jarahan perang inilah terjadi perselisihan antara Ali di satu sisi dan tentaranya di sisi lain. Hal ini diceritakan dalam buku Ibn Kathir “Al-Bidayah Wan-Nihayah”:

Di antara seperlima dari harta rampasan tersebut terdapat cukup pakaian linen untuk seluruh tentara, tetapi Ali telah memutuskan bahwa hal itu harus diserahkan kepada Nabi dan tidak disentuh.

Setelah kemenangan di Yaman, Ali menempatkan wakil komandannya yang bertanggung jawab atas pasukan yang ditempatkan di Yaman, sementara ia sendiri menuju ke Mekah untuk menemui Nabi untuk berhaji.

Kami membaca:
Dalam kondisi tidak ada dia (Ali), bagaimanapun, orang yang ia tinggalkan sebagai petugas telah dibujuk untuk meminjamkan kepada setiap orang suatu perubahan baru pakaian selain dari linen tersebut. Perubahan tersebut sangat diperlukan karena mereka telah jauh dari rumah selama hampir tiga bulan.

Pasukan yang ditempatkan di Yaman kemudian berangkat ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji dengan Nabi:
Ketika mereka (para prajurit yang dikirim ke Yaman) belum jauh dari memasuki kota (Mekah), Ali berkuda keluar untuk menemui mereka dan heran melihat perubahan yang telah terjadi (dalam hal pakaian mereka).
“Aku memberi mereka pakaian,” kata wakil komandan, “bahwa penampilan mereka mungkin akan lebih pantas ketika mereka berada di kalangan masyarakat.” Orang-orang semua tahu bahwa setiap orang di Mekah sekarang mengenakan pakaian terbaik mereka untuk menghormati hari raya tersebut, dan mereka ingin terlihat yang terbaik. Tetapi Ali merasa ia tidak setuju kebebasan seperti itu dan ia memerintahkan mereka untuk mengenakan lagi pakaian lama mereka dan mengembalikan yang baru ke harta rampasan. Kebencian yang sangat dirasakan oleh seluruh tentara terhadap masalah ini, dan ketika Nabi mendengar hal itu, ia (Nabi) berkata: “Wahai manusia, jangan menyalahkan Ali, karena dia terlalu berhati-hati di jalan Allah untuk disalahkan.” Tetapi kata-kata ini belum cukup, atau mungkin hanya didengar oleh beberapa orang, dan kebencian masih berlanjut.
Dalam perjalanan pulang menuju Medina salah seorang pasukan mengeluhkan Ali kepada Nabi, yang membuat wajah Beliau berubah: “Bukankah aku tidak lebih dekat kepada orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri?” katanya, dan ketika orang itu mengiyakan, ia menambahkan: “Barangsiapa yang menjadikan saya sahabat tercintanya, maka Ali adalah (juga) sahabat tercintanya.” Kemudian dalam perjalanan tersebut, ketika mereka berhenti di Ghadir Khum, Ia (Nabi) mengumpulkan semua orang, dan mengambil tangan Ali sambil mengulangi kata-kata tersebut [yaitu siapapun yang mencintai saya, maka Ali ini adalah (juga) sahabat tercintanya]”, yang ia menambahkan doa: “Ya Allah, jadikanlah teman orang yang menjadikan dia temannya, dan musuhilah orang yang memusuhinya”, dan pengerutuan terhadap Ali tersebut menjadi tidak terdengar.
Para prajurit di bawah komando Ali tidak hanya terganggu perihal perubahan pakaian tersebut tetapi juga atas pembagian harta rampasan perang pada umumnya. Kaum muslimin, berkat kepemimpinan besar Ali, telah mendapatkan banyak unta, tetapi Ali melarang mereka dari mengambil kepemilikan unta tersebut. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Said bahwa Ali mencegah mereka dari mengendarai unta-unta dari harta rampasan perang yang telah mereka peroleh. Tetapi ketika Ali telah pergi ke Mekah, wakil komandannya menyerah pada permintaan pasukannya dan memungkinkan mereka menaiki unta tersebut. Ketika Ali melihat hal itu, ia menjadi marah dan ia menyalahkan wakil komandannya. Abu Sa’id berkata: “Ketika kami berada di perjalanan pulang ke Madinah, kami menyebutkan kepada Nabi sifat keras yang tidak mengenakkan yang kami lihat dari Ali , Nabi berkata: “Hentikan… demi Allah, aku telah mengetahui bahwa dia (Ali) telah melakukan hal baik karena Allah.”

Kejadian serupa ini telah dijelaskan dalam Sirah RasulAllah Ibnu Ishaq, kami membaca:
Ketika Ali datang (kembali) dari Yaman untuk memenuhi Rasul di Mekah, ia bergegas kepadanya dan meninggalkan orang yang bertanggung jawab atas pasukannya kepada salah seorang sahabatnya yang pergi dan memakaikan kepada setiap orang dalam pasukannya dengan pakaian dari linen yang dipunyai Ali. Ketika tentara mendekati, dia (Ali) pergi menemui mereka dan menemukan mereka mengenakan pakaian tersebut. Ketika ia bertanya apa gerangan yang telah terjadi, orang itu (wakilnya) mengatakan bahwa ia telah memakaikan orang-orang sehingga mereka kelihatan pantas ketika mereka berbaur dengan masyarakat. Dia (Ali) mengatakan kepada dia untuk melepas pakaian tersebut sebelum mereka menemui Rasul dan mereka melakukannya dan mengembalikan pakaian tersebut di antara harta rampasan perang. Tentara tersebut menunjukkan kebencian terhadap perlakuan yang merekaterima … ketika orang-orang mengeluhkan perihal Ali, Rasul muncul untuk mengatasi mereka dan dia (perawi) mendengar dia (Nabi) mengatakan: “Jangan salahkan Ali, karena dia terlalu teliti dalam hal-hal berkaitan dengan Allah, atau di jalan Allah, untuk disalahkan.”
(Ibnu Ishaq, Sirah Rasool-Allah, hal. 650)

Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa orang-orang di pasukan tersebut (yaitu kontingen yang dikirim ke Yaman) mulai mengkritik Ali karena ia mencegah mereka dari menunggang unta dan mengambil kembali pakaian baru yang telah mereka peroleh. Yaitu orang-orang yang menyertai Nabi ke Madinah melalui Ghadir Khum, dan merekalah yang sedang dibahas dalam Hadis terkenal Ghadir Khum.


Bahkan, dalam Tarikh al-Islam”, peristiwa Ghadir Khum berada di bawah judul “Penghiburan bagi Ali”.

Kami membaca:
Penghiburan bagi Ali
Selama haji, beberapa pengikut Ali yang telah bersama dia ke Yaman mengeluh kepada Nabi tentang Ali. Beberapa kesalahpahaman orang Yaman telah menimbulkan keraguan. Ditujukan kepada para sahabat di Ghadir Khum, Nabi saw bersabda memuji Ali: “Seseorang yang dia teman saya adalah teman Ali …” Mengikuti ucapan Nabi tersebut, Umar mengucapkan selamat kepada Ali berkata: “Mulai hari ini Anda adalah teman special saya”. Nabi kemudian tiba kembali di Al-Madinah dan anaknya Ibrahim meninggal dunia.
(Tarikh al-Islam, Vol.1, hal. 241)

KANDUNGAN HADITS GHADIR KHUM

Rangkuman Hadits Ghadir Khum: Para prajurit tentara Ali sangat marah kepada Ali karena menolak mereka perihal linen dan unta dari rampasan perang, dan mereka tidak senang dengan fakta bahwa Ali sendiri mendapatkan bagian khusus dari Khums (yaitu seperlima dari harta rampasan perang). Tentu saja, Ali tidak dapat disalahkan untuk hak istimewa mengambil bagian ekstra dari Khums, yang merupakan hak yang diberikan kepada keluarga Nabi menurut Al-Quran. Meskipun demikian, orang-orang telah marah, sehingga mereka mengambil tindakkan khusus membela diri ketika Ali mengambil seorang budak wanita untuk dirinya dari Khums; para prajurit tersebut secara salah menuduh Ali sebagai seorang munafik karena menolak pakaian dan unta untuk para apasukan tetapi untuk dirinya sendiri mengambil seorang budak wanita. Adalah karena kritik yang keliru kepada Ali inilah maka Nabi membela Ali dalam hadits Ghadir Khum.
ShiaChat Member says
You sick Saudi perverts can believe whatever filth you want about anyone at your own personal leisure but don’t dare bring this up here…
That accusation [that Imam Ali slept with a slave girl] is blatantly ummayyad propaganda to make our Mawla (A.S.) look bad…
Pertama-tama, Hadits Ghadir Khum sebagaimana yang tercatat dalam kitab Sahih Bukhari tidak dimaksudkan untuk menjadikan Ali terlihat jahat sama sekali. Bahkan, Nabi membela tindakan Ali. Perlu dicatat bahwa bahkan Nabi sendiri mengambil seorang budak wanita dan ini telah diriwayatkan baik dalam Hadits Sunni dan Syiah. Perbudakan adalah norma budaya pada zaman itu dan Nabi mendesak umat Islam untuk memperlakukan budak wanita mereka sebagai istri mereka. Pada kesempatan lain, Nabi akan mendorong penyetaraan budak dan menikahi mereka. Dalam setiap kasus, ada banyak artikel panjang yang mempertahankan posisi Islam tentang hal ini, dan pembaca bebas untuk mencari di internet bagi mereka.

Kedua, juga harus dicatat bahwa Buraida tidak mengkritik Ali karena dia pikir memiliki seorang budak wanita itu tidak bermoral. Sebaliknya, Buraida hanya mengkritik Ali karena mengambil bagian dari Khums sementara melarang kepada anak buahnya, bagi Buraida, merupakan hal yang tidak relevan terkait dengan apa yang Ali ambil dari Khums apakah itu berupa budakwanita, linen, atau unta.

Ketiga, fakta bahwa Ali mengambil seorang budak wanita dikisahkan dalam Hadits Syiah, lalu mengapa Syiah harus bereaksi begitu hebat ketika narasi yang sama ada dalam Hadits Sunni? Bukankah hal ini merupakan kemunafikan? Sesungguhnya, Buraida yang marah kepada Ali karena mengambil seorang budak wanita di Hadits Sunni, sama saja dengan Fatima yang marah kepada Ali karena mengambil seorang budak wanita di Hadits Syiah. Hadits Shia ini diriwayatkan oleh salah seorang tetua teologi Syiah, yaitu Ibnu Babaveh Al-Qummi, dan tersedia di YaZahra.com, sebuah situs Syiah terkemuka:
YaZahra.org says
Majlisi “Biharul anwar” 43/147
عن أبي ذر رحمة الله عليه قال : كنت أنا وجعفر بن أبي طالب مهاجرين إلى بلاد الحبشة ( 1 ) فاهديت لجعفر جارية قيمتها أربعة آلاف درهم ، فلما قدمنا المدينة أهداها لعلي عليه السلام تخدمه ، فجعلها علي في منزل فاطمة .
فدخلت فاطمة عليها السلام يوما فنظرت إلى رأس علي عليه السلام في حجر الجارية فقالت : يا أبا الحسن فعلتها ، فقال : لا والله يا بنت محمد ما فعلت شيئا فما الذي تريدين ؟ قالت تأذن لي في المصير إلى منزل أبي رسول الله صلى الله عليه واله فقال لها : قد أذنت لك .
فتجللت بجلالها ، وتبرقعت ببرقعها
[Terjemahan: Al-Qummi dan Al-Majlisi meriwayatkan berdasarkan otoritas Abu Thar: Saya berhijrah dengan Jafar bin Abi Thalib ke Abyssynia. Seorang gadis wanita senilai 4.000 dirham diberikan kepada Jafar sebagai hadiah. Ketika kami tiba di Madinah dia memberikannya kepada Ali sebagai hadiah untuk melayani dia. Ali menempatkannya di rumah Fathimah. Suatu hari Fatima masuk dan melihat kepala Ali ada di pangkuan gadis itu. Dia berkata: "Wahai Abu Al-Hasan! ?! Apakah Anda telah melakukannya "Dia berkata:"Wahai puteri Muhammad! Saya tidak melakukan apa-apa, apa itu yang kamu inginkan "Dia berkata: "Apakah kamu mengizinkan saya untuk pergi ke rumah ayahku? "Dia berkata:"Aku akan mengijinkan kamu". Lalu, dia memakai Jilbabnya dan pergi menemui Nabi.
(sumber: Ibnu Babaveh Al-Qummi's "Elal Al-Sharae '", hal.163, juga diriwayatkan di Bihar Al-Anwar, hal. 43-44, Bab tentang "Bagaimana dia hidup dengan Ali ")]
sumber: http://www.yazahra.net/ara/html/4/behar43/a15.html
Keempat- adalah kenyataan bahwa insiden ini disebutkan dalam sumber-sumber Syiah juga. Syaikh Mufid, sarjana klasik Syiah, menulis:
(Sebelumnya) Amirul mukminin telah memilih seorang budak wanita dari antara para tawanan. Sekarang Khalid mengirim Buraida kepada Nabi. Dia berkata: “Temui (Nabi) sebelum keduluan para pasukan. Katakan padanya apa yang telah Ali lakukan dalam memilih seorang budak-wanita untuk dirinya dari Khums dan membawa dirinya dalam aib … “
Buraida pergi kepada Nabi. Dia (Buraida) telah membawa surat dari Khalid yang dengannya ia diutus. Dia mulai membacanya. Wajah Nabi mulai berubah.
“Rasul Allah,” kata Buraida, “jika Anda mengijinkan orang (bertindak) seperti ini, maka barang rampasan mereka akan hilang.”
“Celakalah atasmu, Buraida,” kata Nabi kepadanya. “Kamu telah melakukan suatu tindakan kemunafikan. Ali bin Abi Thalib diperbolehkan untuk memiliki apa yang diperbolehkan untuk saya dari rampasan perang mereka … Buraida, saya memperingatkan kamu bahwa jika kamu membenci Ali, maka Allah akan membencimu. “
Buraida melaporkan: “Saya ingin bumi terbelah untuk aku agar saya bisa tertelan ke dalamnya. Lalu aku berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kemarahan Allah dan kemarahan Rasul Allah. Rasul Allah, ampunilah aku. Aku tidak akan pernah membenci Ali dan aku hanya akan berbicara yang baik tentang dia. “
Nabi memaafkan dia.
Kitab al-Irshad, oleh Syaikh Mufid, hal. 111-112)

Hadits Ghadir Khum diceritakan dalam kitab Sahih Bukhari (Volume 5, Buku 59 Nomor 637):
Dikisahkan oleh Buraida:
Nabi mengirim Ali kepada Khalid untuk membawa Khumus (barang jarahan) dan aku membenci Ali, dan Ali habis mandi (setelah tindakan seksual dengan seorang budak wanita dari Khumus). Aku berkata kepada Khalid, “Tidakkah kamu melihat ini (yaitu Ali)?” Ketika kami berjumpa Nabi, aku sebutkan hal itu kepadanya. Dia (Nabi) berkata, “Wahai Buraida! Apakah kamu membenci Ali? “Aku berkata,” Ya “Dia berkata,” Apakah kamu membenci dia, karena dia pantas menerima lebih dari itu dari Khumlus.. “
Ini adalah versi Ghadir Khum sebagaimana yang dikisahkan dalam Sahihayn (yaitu Bukhari dan Muslim), dengan tidak menyebutkan semua kata “mawla.” Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagaimana yang ia katakan ‘Jika saya “mawla” seseorang maka maka Ali adalah “mawla”-nya juga’, kalimat ini tidak ada dalam buku-buku Sahih (Bukhari dan Muslim), tetapi itu adalah salah satu laporan yang diriwayatkan oleh para ulama dan tentang keasliannya orang-orang berbeda pendapat. “

Oleh karena itu, kami melihat bahwa Syiah telah banyak mempermasalahkan sesuatu yang tidak ada relevansinya dengan imamah. Kandungan dan konteks Hadits Ghadir Khum jauh dari penunjukan dan pencalonan kekhalifahan. Ulama Syiah, SHM Jafri, menulis:
Sunni menjelaskan keadaan yang mengharuskan munculnya nasihat Nabi [di Ghadir Khum] bahwa beberapa orang menggerutu perihal Ali karena perlakuan kasar dan acuh tak acuh dalam distribusi dari harta rampasan dari ekspedisi Al-Yaman, yang baru saja terjadi di bawah Kepemimpinan Ali, dan dari sana ia, bersama dengan dia mereka yang berpartisipasi dalam ekspedisi tersebut, langsung pergi ke Mekah untuk bergabung dengan Nabi pada upacara haji. Untuk menghilangkan perasaan sakit terhadap sepupunya, Nabi berbicara dengan cara ini.
(Asal Usul dan Perkembangan Awal Islam Syiah, oleh SHM Jafri, hal. 21-22)
SYIAH BERUSAHA UNTUK MENAFIKAN KONTEKS TERSEBUT:

Kaum Sunni mengatakan bahwa Nabi (صلّى الله عليه وآله وسلّم) terpaksa membuat pernyataannya di Ghadir Khum adalah karena apa terjadi antara Ali (رضّى الله عنه) dan tentaranya di Yaman. Syiah menanggapinya dalam salah satu dari dua cara. Respon pertama adalah menolak sama sekali kejadian Yaman, sambil mengklaim bahwa hanyalah “propaganda Umayyah” bahwa Ali (رضّى الله عنه) pernah mengambil budak wanita seperti itu. Tentu saja, respons seperti ini langsung dapat disangkal dengan menunjukkan bahwa riwayat ini juga tersedia dalam sumber-sumber Syiah juga, termasuk buku Syaikh Mufid Kitab Al-Irshad. Oleh karena itu, propagandis Syiah harus kembali pada penjelasan lain, yang ditawarkan oleh “Taair-al-Quds” di bawah ini, yang mengakui bahwa peristiwa Yaman memang terjadi tetapi hal itu tidak ada hubungannya dengan Ghadir Khum.
Taair-al-Quds, Admin of ShiaOfAhlAlBayt says
“The Hadiths mentioning this incident [of Ali’s soldiers getting angry at him]…have nothing to do with the incident of Ghadeer Khumm.
The entire episode [of Ali’s soldiers getting angry at him] took place in Madinah in the Mosque around the Hujrah of the Prophet (s) and finished there and thus has nothing to do with the incident of Ghadir Khumm! The prophet (s) had already clarified this matter/issue which the Wahabi/ Nawaasib aim to present as the context in the incident of Ghadir, which took place at a latter time in history.
…The incident of Ghadeer took place on 18th DhilHajj while the incident of Yemen took place in Rabbi ul Aakhir (Thaani) or Jamaadi ul Ulaa according to historians. There is no compatibility or possibility of mixing both these incidents as one of them took place on return from Meccah after Hajj while the other took place in Yemen earlier on and got resolved earlier as well in Masjid e Nabavi, Medinah, before the Prophet (s) even left for Hajj! . ”
Pada kenyataanya, kedua peristiwa (apa yang terjadi di Yaman dan Ghadir Khum) terjadi pada tahun terakhir kehidupan Nabi. Menurut ulama Syiah klasik, Syekh Mufid, ekspedisi di Yaman mulai berakhir pada lima hari terakhir bulan Dhu al-Qa’dah (bulan Islam ke-11) dan peristiwa Ghadir Khum terjadi tepat setelah itu pada bulan Dhu al- Hijjah (bulan Islam ke-12). “Taair-al-Quds” telah melakukan penipuan dengan mengklaim bahwa ekspedisi Yaman terjadi pada bulan Rabi’ al-Thani (bulan Islam ke-4) atau Jumada al-Awwal (Bulan Islam ke-5), sedangkan Ghadir Khum terjadi di bulan ke-12, ini adalah setengah kebenaran yang mengerikan. Operasi militer Yaman berlangsung berbulan-bulan dan hingga bulan ke-11! Jadi ekspedisi Yaman mungkin sudah dimulai sejak beberapa bulan sebelumnya, pasti tidak berakhir sebelum lima hari terakhir bulan ke-11, yang setelahnya Ali dan tentaranya segera bergabung dengan Nabi di Mekkah untuk melakukan haji.

Adapun klaim “Taair-al-Quds” bahwa insiden Yaman itu diselesaikan di Madinah, maka ini adalah kejanggalan di pihaknya. Setelah apa yang terjadi di Yaman (yaitu dalam menyikapi Khums), Ali pergi berkuda untuk menemui Nabi di Mekah, bukan di Madinah. Ali dan anak buahnya melakukan haji dengan Nabi dan pada waktu itulah tentaranya menggerutu tentang Ali, yang memicu munculnya pernyataan di Ghadir Khum.

“Taair-al-Quds” menyebutnya sebagai propaganda “Wahabi/ Nawaasib” untuk mengklaim bahwa sengketa antara Ali dan tentaranya terjadi tepat sebelum Ghadir Khum. Kami ingin bertanya kepada “Taair-al-Quds”, apakah ia menganggap bahwa Syaikh Mufid adalah salah satu dari “Nawaasib”? Syaikh Mufid, dalam buku epiknya “Kitab al-Irshad” menyebutkan sengketa di Yaman (antara Ali dan tentaranya) pada bagian yang sama dengan bagian yang berjudul “Haji perpisahan Nabi dan Deklarasi di Ghadir Khum”! Kami membaca:
Haji perpisahan Nabi dan Deklarasi di Ghadir Khum:
… Rasul Allah, semoga Tuhan memberkati dia dan keluarganya, telah mengirim dia (Ali), kedamaian atasnya, ke Yaman untuk mengumpulkan bagian sperlima (khums) dari emas dan perak mereka dan mengumpulkan perisai dada dan hal-hal lain … Lalu Rasul Allah, semoga Tuhan memberkati dia dan keluarganya, memutuskan untuk pergi haji dan untuk melaksanakan tugas yang Allah Ta’ala, telah putuskan …
Dia, semoga Tuhan memberkati dia dan keluarganya, berangkat dengan mereka selama lima hari yang tersisa pada (bulan) Dhu al-Qa’da. Dia telah menulis kepada Amirul mukminin (Ali), kedamaian atasnya, tentang pergi menunaikan ibadah haji dari Yaman …
Sementara itu, Amirul mukminin, kedamaian atasnya, berangkat dengan para prajurit yang menemaninya ke Yaman. Dia telah membawa perisai dada yang telah dikumpulkan dari orang-orang Najran. Ketika Rasul Allah, semoga Tuhan memberkati dia dan keluarganya, sudah mendekati Mekah dalam perjalanannya dari Madinah, Amirul Mukminin (Ali), kedamaian atasnya, sudah mendekatinya dalam perjalanannya dari Yaman. Dia (Ali) mendahului tentaranya untuk bertemu Nabi, semoga Tuhan memberkati dia dan keluarganya, dan ia meninggalkan salah seorang dari mereka untuk bertanggung jawab terhadap mereka (pasukan). Ia datang kepada Nabi sebagai yang berikutnya melihat Mekah. Dia (Ali) menyambutnya (Nabi) dan menginformasikan kepadanya (Nabi) dari apa yang dia (Ali) telah lakukan dan apa yang dia (Ali) telah kumpulkan [dari Khums] dan bahwa ia telah bergegas mendahului tentaranya untuk bertemu dengannya. Rasul Allah, semoga Tuhan memberkati dia dan keluarganya, senang pada hal itu dan senang bertemu dengannya…
Amirul mukminin, kedamaian atasnya, mengucapkan selamat jalan kepadanya (Nabi) dan kembali ke pasukannya. Dia (Ali) bertemu mereka mendekatinya dan menemukan bahwa mereka telah mengenakan perisai dada yang mereka punya. Dia (Ali) mencela mereka untuk itu.
“Memalukan kamu!” Katanya (Ali) kepada orang yang sudah ditunjuk sebagai wakilnya atas mereka. “Apa yang membuat kamu memberikan mereka perisai dada sebelum kita menyerahkannya kepada Rasul Allah, semoga Tuhan memberkati dia dan keluarganya? Saya tidak memberi kamu izin untuk melakukan hal itu. “
“Mereka meminta saya untuk membiarkan deck diri mereka keluar dan memasuki keadaan pensucian dengannya, dan kemudian mereka akan mengembalikan padaku,” jawabnya.
Amirul mukminin, kedamaian atasnya, mengambilnya dari orang-orang dan menempatkannya kembali di karung. Mereka tidak puas dengan dia karena hal itu. Ketika mereka tiba di Mekah, keluhan mereka terhadap Amirul Mukminin, kedamaian atasnya, menjadi tambah banyak. Rasul Allah memerintahkan panggilan yang akan diberikan antara orang-orang: “Hentikan lidah anda (membicarakan) Ali bin Abi Thalib, kedamaian atasnya. Dia adalah orang yang keras untuk kepentingan Allah, Yang Maha Kuasa dan maha Tinggi, bukan orang yang sesat dalam agama-Nya … “
Ketika Rasul Allah melakukan ritual ibadah haji, ia menjadikan Ali sebagai pasangannya dalam pengorbanan hewan. Kemudian dia memulai perjalanannya kembali ke Madinah. (Ali) dan Muslim pergi dengan dia. Dia tiba di tempat yang dikenal sebagai Ghadir Khum …
(Kitab al-Irshad, oleh Syaikh Mufid, hal. 119-123)

(Note: Meskipun pada rangkaian kalimat di atas Syaikh Mufid menceritakan adanya perbedaan pendapat antara Ali dengan pasukannya yang semakin kuat di Mekah, namun sesuai keyakinan Syiah beliau tidak mengaitkan sama sekali kejadian di Ghadir Kum dengan adanya perbedaan pendapat dan adanya kebencian pasukan Ali terhadap Ali, namun justru mengaitkannya dengan asbabun nuzul ayat 5:67, yang akan kami bahas pada bagian selanjutnya)


SIAPA SAJA YANG MARAH KEPADA ALI ?

Para propagandis Syiah kemudian mengklaim bahwa hanya Khalid dan Buraida yang marah kepada Ali.
Taair-al-Quds, Admin of ShiaOfAhlAlBayt says
“None of the hadiths mention any third individual besides Khalid bin Walid and Burayda (or Bara as in Tirmidhi) to be the complainers or the ones who initiated this BUGHZ (hatred) campaign towards Imam Ali (a.s) as reported through this incident.”

Ini adalah satu lagi kebohongan terang-terangan oleh “Taair -al-Quds”. Bahkan, semua (atau setidaknya sebagian besar) tentara Ali yang kecewa dengan dia, bukan hanya satu atau dua tentara. Syaikh Mufid menulis:
Amirul mukminin, damai atasnya, mengambilnya (perisai dada) dari orang-orang dan mengembalikan ke karung. Mereka tidak puas dengan dia karena hal itu. Ketika mereka tiba di Mekah, keluhan mereka terhadap Amirul Mukminin, damai atasnya, menjadi bertambah banyak. Rasul Allah memerintahkan panggilan yang akan diberikan antara orang-orang: “Hentikan lidah kamu semua (berbicara) tentang Ali bin Abi Thalib, damai atasnya. Dia adalah seorang yang keras untuk kepentingan Allah, Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, bukan seorang yang sesat dalam agama-Nya … “
(Kitab al-Irshad, oleh Syaikh Mufid, hal. 121-122)
Keluhan terhadap Ali adalah “banyak” dan hal dilakukan oleh “orang-orang” yang tidak puas (tidak satu atau dua orang), dan Nabi memerintahkan panggilan kepada orang-orang secara umum. Hal ini jelas bahwa sebagian besar tentara Ali yang tidak puas dengannya karena ia menolak untuk membolehkan mereka memakai perisai dada dari Khums. Oleh karena itu, tidaklah pantas untuk menyalahkan kepada satu atau dua individu, karena kebenaran dari masalah ini adalah bahwa Ali telah membuat marah semua tentara-Nya, dan kami mencari perlindungan Allah dari menyalahkan siapa pun, terutama karena Nabi sendiri telah memaafkan Buraida dan yang lainnya.


Intinya, bagaimanapun, adalah bahwa banyak orang yang marah kepada Ali dan ini adalah alasan mengapa Nabi harus membuat deklarasi di Ghadir Khum, untuk melepaskan Ali dari tuduhan – tidak untuk mencalonkan Ali sebagai penggantinya.


TAMBAHAN KALIMAT PALSU

Taktik Syiah umum untuk menipu orang awam Sunni adalah menyatakan bahwa Hadits Ghadir Khum ada di Bukhari dan di buku-buku yang paling terpercaya di kalangan Sunni (seringkali memberi kesan kepada Sunni dengan daftar referensi yang banyak), dan kemudian mereka mengutip berbagai versi dari sumber yang kabur dan tidak bias dipercaya, yang menggambarkan Ghadir Khum dengan cara yang sangat berbeda dari yang dinyatakan sebenarnya dalam buku otentik tersebut. Taktik mengelabui orang seperti ini disebut “menerima dengan mengaitkan.”

Pada kenyataannya, hanya ada dua penambahan pada Hadits yang dianggap otentik dan itu pun hanya oleh beberapa ulama. Untuk tujuan debat, bagaimanapun, kita akan menerimanya sebagai otentik. Sekali lagi, dua tambahan ini tidak ada di Sahihayn tetapi mereka ada dalam berbagai variasi narasi dalam buku-buku lain. Sebagai murid Hadits tahu, bahwa Hadits memiliki berbagai tingkatan, seperti Hadits Ghadir Khum, yang paling otentik adalah apa yang ada di Sahih Bukhari seperti yang dikutip di atas. Namun, ada versi lain yang memiliki dua tambahan:
  1. Penambahan pertama adalah: “Man Kuntu mawla fa` Ali mawla”. (Siapa yang menjadikan saya Mawla, maka Ali ini juga mawla-nya).
  2. Penambahan kedua adalah: “Allahummu wali man walaah wa `adi man `adaah.” (Ya Allah, bertemanlah dengan siapa saja yang berteman dengan dia dan jadilah musuh siapa saja yang memusuhi dia).
Penambahan pertama umumnya diterima, sedangkan yang kedua adalah lemah, namun beberapa ulama menganggapnya otentik. Sedangkan penambahan lainnya, sejauh ini tidak terdapat dalam buku otentik dan “mawdoo” atau dipalsukan. Secara umum, Syiah puas dalam mendasarkan argumen mereka pada dua tambahan pertama, tetapi tak diragukan lagi setelah mereka membantah, mereka kemudian seringkali akan meminta tolong untuk menggunakan sumber palsu untuk menghasilkan dukungan tambahan, seperti Nabi mengatakan Ali adalah Wasi-nya, Khalifah-nya, Imam, dll. Ini semua adalah palsu, dan secara historis Syiah telah memproduksi banyak Hadits palsu. Syiah mampu menghasilkan daftar panjang referensi palsu tentang Ghadir Khum karena mereka sendiri telah bertanggung jawab atas banyaknya pemalsuan berkaitan dengan Ghadir Khum.

Kami telah melihat versi Ghadir Khum dalam kitab Sahih Bukhari, dan bagaimana hal itu tidak mengandung penambahan “mawla”. Namun, penambahan “mawla” dapat ditemukan dalam variasi dari Hadits:
Buraida meriwayatkan: “Saya menyerbu Yaman dengan Ali dan aku melihat kedinginan dari bagian dia, maka ketika saya datang (kembali) kepada Rasul Allah dan menyebutkan Ali dan mengkritiknya, aku melihat wajah Rasulullah perubahan dan ia berkata: ‘Wahai Buraida, bukankah saya tidak lebih dekat dengan orang-orang yang beriman daripada mereka terhadap diri mereka sendiri?” kataku: “Ya, Wahai Rasulullah. ” Dia (lalu) berkata: ‘Siapa saja yang saya adalah mawlanya, maka Ali ini juga mawla nya. “
(Musnad Ahmad [v5 / p347 / # 22995] dengan rantai transmisi yang sahih dan semua perawinya dapat dipercaya [thiqa] yang diandalkan oleh al-Bukhari dan Muslim, al-Nisa’i dalam Sunan al-Kubra [v5 / P45 / # 8145 ], al-Hakim dalam al-Mustadrak [v3 / p119 / # 4578]; Abu Nu`aym, Ibnu Jarir dan lainnya)
Dalam versi yang sedikit berbeda:
Buraida meriwayatkan: “Nabi mengutus saya ke Yaman dengan Ali dan aku melihat kedinginan dari bagian dia, ketika aku kembali dan mengeluh tentang dirinya kepada Rasulullah, dia (Rasulullah) mengangkat kepalanya ke arah (dia) dan berkata: ‘Wahai Buraida! ‘Siapa saja yang saya adalah mawlanya, maka Ali ini juga mawla nya. “
(Sunan al-Kubra, v5, p130, # 8466, sebuah laporan serupa dapat ditemukan di Musannaf Ibnu Abi Shayba [v6, hal. 374])
Dalam riwayat lain, Nabi berkata: “allahummu wali man walaah wa `adi man `adaah”, yang diterjemahkan menjadi: “Ya Allah, menjadilah teman siapa saja yang berteman dengan dia dan menjadilah musuh siapa saja memusuhi dia”. Beberapa ulama telah meragukan keaslian pernyataan ini, tetapi kami akan menerima tambahan kedua ini sebagai otentik.

Ini adalah dua penambahan pada Hadits Ghadir Khum yang bisa dianggap otentik, dan oleh karena itu terhadap dua tambahan ini saja kami akan membahasnya lebih lanjut.

Para propagandis Syiah akan sering menambahkan berbagai macam riwayat dari sumber yang lemah dan tidak jelas, tetapi ini bukan suatu metodologi yang valid dalam berdebat. Sering kali, referensi tersebut tidak mungkin untuk dipakai memverifikasi dan sering kali mereka tidak ada sama sekali atau secara dramatis keluar dari konteks. Apa yang aneh dan sedikit lucu adalah bahwa Sunni seringkali mengutip dari Al-Kafi, buku yang paling otentik dari Hadits Syiah, dan Syiah langsung menolak Hadits ini sebagai dasar argumentasi. Jika seperti ini sikap Syiah terhadap buku Hadits mereka yang paling otentik, lalu kenapa Syiah mengharapkan kita untuk menerima riwayat dari sumber yang tidak jelas dan tidak dapat diandalkan? Dalam kasus apapun, untuk menjadi adil, hanya dua tambahan tersebut yang akan kita membahas, yaitu: (1) … ini adalah Ali juga mawla-nya …, dan (2) … jadilah teman barang siapa yang berteman dengan dia.


DEFINISI KATA “MAWLA”

Klaim Syiah bahwa kata “mawla” di sini berarti “pemimpin”/ “tuan”. Hal ini didasarkan pada terjemahan yang keliru dari kata tersebut yang mereka klaim bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mencalonkan Ali (رضى الله عنه) sebagai penggantinya. Bahkan, kata “mawla” – sebagaimana banyak kata Arab lainnya – memiliki beberapa kemungkinan terjemahan.

Syiah awam mungkin akan terkejut jika mengetahui bahwa sesungguhnya definisi yang paling umum dari kata “mawla” sebenarnya adalah “hamba” dan bukan “tuan“. Seorang bekas budak yang menjadi seorang pembantu dan tidak memiliki hubungan suku disebut sebagai seorang Mawla. Seperti Salim yang dipanggil Salim mawla Abi Hudzaifah karena dia adalah pembantu Abu Hudzaifah.

Kita hanya perlu membuka sebuah kamus bahasa Arab untuk melihat berbagai definisi kata “mawla.” Ibnu Al-Atheer berkata bahwa kata “mawla” dapat digunakan untuk maksud, antara lain, sebagai berikut: tuan, pemilik, dermawan, pembebas, pembantu, kekasih, sekutu, budak, hamba, kakak ipar, sepupu, teman, dll
Sekarang mari kita periksa lagi hadis tersebut:
”Barangsiapa saya mawlanya, maka Ali ini juga mawlanya. Ya Allah, jadilah teman siapa saja yang berteman dengan dia dan musuhilah siapa saja yang memusuhi dia. “
Kata “mawla” di sini tidak dapat merujuk pada arti “pemimpin”, tetapi terjemahan terbaik dari kata “mawla” tersebut adalah “seorang teman tercinta”. Jelas bahwa “mawla” di sini bermakna mencintai/ menyayangi dan hubungan dekat, bukan Khilafah dan Imamah. Muwalat (cinta) adalah lawan dari kata Mu`adat (permusuhan). Definisi dari kata “mawla” yang ini paling masuk akal berkaitan dengan konteks kalimat karena Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) segera mengatakan Ya Allah, jadilah teman siapa saja yang berteman dengan dia dan musuhilah siapa saja yang memusuhi dia“. Lebih dari itu, makna tersebut juga sesuai dengan peristiwa yang melatarbelakanginya.

Syiah dapat saja menolak untuk percaya bahwa mawla di sini berarti “sahabat tercinta”, tetapi kenyataannya adalah bahwa kata itu tidak dapat diterjemahkan dalam makna lain ketika kita mempertimbangkan bahwa tambahan kalimat yang mengikutinya adalah tentang berteman dengan dia, bukan tentang diperintah oleh dia atau yang seperti itu. Sebenarnya sulit dipercaya bahwa Syiah bisa menerjemahkan kata itu dengan arti Khalifah dan Imam ketika konteksnya tidak ada hubungannya dengan hal itu.
Al-Jazari mengatakan dalam al-Nihaayah:
”Kata mawla sering disebutkan dalam hadits, dan ini adalah isim yang diterapkan pada banyak hal. Kata ini mungkin merujuk kepada seorang penguasa, seorang pemilik, seorang yang menguasai, seorang dermawan, orang yang membebaskan budak, seorang pendukung, orang yang mengasihi yang lain, seorang pengikut, seorang tetangga, seorang sepupu (anak paman dari pihak ayah), seorang sekutu, seorang budak, seorang budak yang sudah dibebaskan, seseorang yang kepadanya seseorang telah melakukan bantuan. Kebanyakan dari makna-makna ini disebut dalam berbagai Hadis, sehingga harus dipahami dengan cara yang disiratkan oleh konteks hadits yang didalamnya kata tersbut digunakan.“
Imam Syafi’i berkata berkaitan dengan mawla khusus dalam hadits Ghadir Khum ini:
”Yang dimaksud dengan itu adalah ikatan (persahabatan, persaudaraan, dan cinta) dalam Islam.”
Allah berfirman dalam Al-Quran:
Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu (teman setiamu). Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali.” (Quran, 57:15)
Sesuai konteks kalimatnya, tidak ada penerjemah di dunia ini – bahkan Syiah yang setia – pernah menerjemahkan kata „mawla“ tersebut dengan arti “Imam” atau “khalifah”, karena akan menjadikan kalimat tersebut tidak bermakna. Api neraka pada ayat di atas disebut sebagai „mawla“ bagi orang-orang kafir karena kedekatan yang sangat mereka kepadanya, dan inilah definisi mawla yang sedang dimaksud dalam Hadis Ghadir Khum (kedekatan yang sangat yaitu kepada Nabi, Ali, dan orang yang beriman). Memang, kata “mawla” berasal dari “Wilayah” dan bukan “Walayah”. Wilayah mengacu pada cinta dan Nusrah (pertolongan dan bantuan), dan tidak boleh dikaburkan dengan kata Walayah, yang mengacu pada kepemimpinan.

Allah berfirman dalam Al-Quran:
”Itu karena Allah adalah mawla (yaitu melindungi teman, pelindung, dll) dari orang-orang yang beriman, dan karena orang-orang kafir tidak mempunyai mawla bagi mereka.” (Quran, 47:11)
Ayat ini tidak merujuk kepada Khilafah atau Imamah, tetapi lebih mengacu pada teman yang melindungi secara dekat. Jika tidak demikian, maka makna ayat itu akan menjadi tidak masuk akal.

Para komentator Syiah tampaknya mengabaikan bagian kedua dari ayat ini dimana Allah berfirman: “orang-orang kafir tidak mempunyai mawla bagi mereka”. Apakah ini berarti bahwa orang-orang kafir tidak akan memiliki pemimpin? Tentu saja orang-orang kafir memiliki pemimpin, sebagaimana hari ini orang-orang kafir Amerika memiliki George Bush sebagai pemimpin mereka.
Fakta ini disebutkan dalam Al-Quran sendiri:

”Perangi/ bunuh para pemimpin (A-IMMAH) orang-orang kafir.” (Quran, 09:12)
” Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin (A-IMMAH) yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (Quran, 28:41)
Jadi ketika Allah mengatakan “orang-orang kafir tidak mempunyai mawla bagi mereka”, maka hal ini merujuk kepada pelindung yang sangat dekat, bukan karena mereka tidak memiliki pemimpin. Ayat 47:11 sama sekali tidak menggunakan kata mawla yang berarti Imam atau Khalifah, tetapi lebih mengacu ke teman melindungi dekat. Untuk makna pemimpin secara tegas Allah menggunakan kata IMAM yang jamaknya A-IMMAH sebagaimana yang digunakan pada ayat 9:12 dan 28:41.


Hadis Ghadir Khum dimaksudkan untuk ditafsirkan dengan cara yang sama. Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) memberikan nasihat kepada orang-orang untuk mencintai Ali (رضى الله عنه) dan dekat dengan dia. Dan ini persis seperti apa yang Abu Bakar (رضى الله عنه), Umar (رضى الله عنه), dan Usman (رضى الله عنه) lakukan (yaitu mereka menjadi sahabat tercinta Ali). Bahkan, Umar (رضى الله عنه) begitu dicintai Ali (رضى الله عنه) bahwa ia (Ali) mengawinkan putrinya kepadanya (Umar). Ali (رضى الله عنه) menjabat sebagai wazir dan kepercayaan dekat bagi ketiga khalifah, sedemikian rupa terjadi rasa saling mengasihi dan hormat antara ketiga khalifah dan Ali (رضى الله عنه). Dengan kata lain, Hadis Ghadir Khum tidak ada hubungannya dengan Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mencalonkan Ali (رضى الله عنه) untuk menjadi penggantinya, tetapi hanyalah dimaksudkan agar orang-orang berhenti mengkritik Ali (رضى الله عنه ) dan mencintainya.
Allah berfirman dalam Al-Quran:
”Tentu mawla (teman-teman tercinta) kamu adalah Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang percaya – orang-orang yang menegakkan shalat dan melaksanakan zakat, dan mereka sujud dengan rendah hati. Adapun orang-orang yang berpaling (dari persahabatan) kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, (biarkan mereka tahu bahwa) itu adalah partai Allah yang akan menang “(Qur’an, 5:55-56).

Dalam ayat di atas, Allah merujuk kepada semua orang yang percaya sebagai mawla. Bagaimana bisa, klaim Syiah bahwa kata mawla mengacu pada kekhalifahan atau Imamah, kecuali kalau semua orang beriman itu tiba-tiba menjadi khalifah atau imam bagi Nabi? (yang percaya dalam bentuk jamak. Memang tidak diragukan lagi, bahwa Ali – seperti kebanyakan orang-orang yang percaya lainnya – termasuk dalam ayat ini, tetapi tidak bisa disMengenai ini, justru Syiah akan membuat klaim keterlaluan bahwa ayat ini merujuk kepada Ali sendiri, meskipun ada fakta nyata bahwa pada ayat tersebut menyebut kepada orang-orang impulkan hanya mengacu secara eksklusif baginya karena jelas dalam bentuk jamak). Memang, kata “mawla” di sini bermakna cinta, kedekatan yang ekstrim, dan membantu. Bahkan, tidak ada satu contoh dalam Quran di mana kata “mawla” digunakan untuk merujuk pada arti Imamah atau Khilafah.
Dalam ayat lain di Al- Quran, Allah berfirman:
”Tidak ada mawla akan menguntungkan Malwa dia di Hari Pembalasan.” (44:41)

Apakah ini berarti bahwa “pemimpin tidak akan menguntungkan pemimpin dia pada hari kiamat”? Tentunya ini tidak masuk akal. Sebaliknya, kami melihat dalam ayat tersebut bahwa Allah merujuk kepada dua orang dan panggilan keduanya harus mawla, jika mawla itu berarti pemimpin, maka hanya satu dari mereka yang bisa menjadi pemimpin yang lain. Tetapi jika mawla berarti teman tercinta, maka sesungguhnya mereka bisa mawla satu sama lain dan secara bahasa akan tepat untuk merujuk kepada mereka berdua sebagai mawla sebagaimana yang Allah lakukan dalam al-Quran.

Kata “mawla” yang digunakan dalam Hadis juga berarti sahabat tercinta, marilah kita periksa Sahih al-Bukhari (Volume 4, Buku 56, Nomor 715). Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mengatakan:
”Suku-suku Quraisy, Al-Ansar, Juhaina, Muzaina, Aslam, Ghifar dan Ashja ‘adalah penolong tercinta saya (Mawali), dan mereka tidak memiliki pelindung kecuali Allah dan Rasul-Nya.”
Apakah kata “mawla” di sini merujuk kepada Khilafah atau Imamah? Apakah suku-suku tersebut adalah Khalifah atau Imam atas Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم)? Tentu saja tidak. Akan lebih logis bahwa mereka dekat sekali dan cinta kepada Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) dan dengan demikian disebut sebagai Mawali (jamak dari mawla).


Juga penting untuk ditunjukkan bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) tidak mengatakan “setelah saya” di hadis Ghadir Khum. Dia hanya mengatakan “siapapun yang saya mawlanya, Ali juga mawla-nya” tanpa memberikan kerangka waktu. Ini berarti bahwa keadaan yang diharapkan ini (mencintai Nabi dan Ali) adalah seterusnya.


Jika ucapan Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) bermakna “siapapun yang saya pemimpinnya, Ali juga pemimpinnya”, sebagai makna yang dipahami oleh saudara-saudara kita Syiah, maka akan ada masalah yang sangat besar bagi umat Islam. Tidak akan pernah ada dua khalifah atau Imam di daerah yang sama pada saat yang sama, dan ada banyak hadis di mana Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) memperingatkan tentang memiliki dua khalifah. Tanpa adanya kalimat “setelah saya”, ucapan di Ghadir Kum akan menjadi kalimat yang sangat membingungkan yang akan menimbulkan banyak fitnah.

Tentu saja, Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) tidak bermaksud seperti itu dan tidak ada para sahabat yang memahaminya seperti itu. Di sisi lain, sangatlah mungkin untuk memiliki lebih dari satu mawla (teman tercinta) pada waktu yang sama. Seseorang dapat mencintai Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) dan dekat dengan beliau, dan pada saat yang sama mencintai dan dekat dengan Ali (رضى الله عنه).

Jika Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) bermaksud untuk mencalonkan Ali (رضى الله عنه), maka mengapa Nabi menggunakan kalimat yang ambigu seperti itu? Alih-alih mengatakan sesuatu yang jelas, seperti “siapa yang saya mawlanya, maka Ali juga mawlanya”, mengapa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) tidak mengatakan sesuatu yang lebih jelas seperti “Saya mencalonkan Ali untuk menjadi khalifah setelah saya mati” atau “Ali adalah pengganti saya dan khalifah pertama kaum muslimin setelah saya”. Tentunya, ini akan membereskan masalah ini. Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) diperintahkan agar jelas dalam menyampaikan Pesan, dan tidak ada sahabat menafsirkan pernyataannya di Ghadir Khum bahwa Ali (رضى الله عنه) dinominasikan sebagai khalifah.
Untuk ini, propagandis Syiah akan membuat pernyataan bertentangan, sebagai berikut:
ShiaChat Member says
“The prophet (SAW) did in fact say clearly that IMAM ALI (A.S.) was his successor and the next Caliph and many other clearer things but these hadeeth were not transmitted by the sahaba and the sunnis because they wished to deny the imamate of IMAM ALI (A.S.). The sahaba and sunnis didnt remove the mawla hadeeth because it could be misinterpreted to deny the imamate of IMAM ALI (A.S.).
Some even say that the prophet (SAW) used intentionally vague wording otherwise people would have tampered his words. Had he used a more direct and clear term, then the sahaba would know that the people would think that it is about the IMAMATE of IMAM ALI (A.S.) and they would then take it out. In fact, in other SHIA hadeeths, the prophet (SAW) did in fact say it clearly that IMAM ALI (A.S.) is the successor and the next Caliph but the Sunnis reject those. ”
Argumen di atas sebenarnya mengakui seluruh perdebatan. Di sini, Syiah mengatakan:
1) Perkataan yang jelas dari Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) telah dihapus oleh Sunni.
2) Hadis Ghadir Khum tentang Ali (رضى الله عنه) menjadi mawla tidak dihapus karena tidak langsung dan jelas tentang masalah Imamah atau Khilafah.

Kalau begitu, bukankah seluruh perdebatan selesai? Bukankah Syiah yang selalu bergumentasi bahwa hadis Ghadir Khum adalah bukti jelas dan pasti perihal Imamah dan Kekhalifahan Ali (رضى الله عنه)? Dan memang, argumen Syiah tersebut mengakui kenyataan bahwa hadis tentang Ghadir Khum tidak berbicara jelas tentang Imamah/ Khilafah, Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mengatakan bahwa Ali (رضى الله عنه) adalah mawla orang-orang yang percaya, yang dengan cara apapun tidak membuktikan bahwa Ali (رضى الله عنه) menjadi khalifah.


Bahkan, kalaulah seandainya jelas, maka tentu para sahabat tidak akan menyampaikan hadits tersebut, bukan? Karena itu, kami melihat bahwa – berdasarkan pada garis pemikiran ini – bahwa hadits Ghadir Khum tidaklah jelas tentang Imamah Ali (رضى الله عنه), jika tidak demikian maka hadits ini tidak akan pernah diriwayatkan oleh para sahabat yang sama-sama berusaha untuk merebut Khilafah Ali.

Sesungguhnya, hadis Ghadir Khum tidak pernah ditafsirkan bahwa Ali (رضى الله عنه) adalah khalifah, namun hanya untuk menunjukkan kebajikan Ali (رضى الله عنه). Jika Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) memuji seseorang, ini tidak otomatis membuat orang itu menjadi Khalifah umat. Adapun tentang adanya Hadis Syiah tentang masalah ini, maka tidak relevan dengan kami karena Syiah sangat dikenal sebagai pembohong dan banyak memalsukan hadits.


Kesimpulan

Bertentangan dengan klaim Syiah, hadis Ghadir Khum tidak ada hubungannya dengan Khilafah atau Imamah. Sebaliknya, Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) hanyalah menyangkal sekelompok orang di bawah komando Ali (رضى الله عنه) yang mengkritik Ali (رضى الله عنه) dengan kata-kata yang sangat kasar. Berdasarkan ini, Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mendesak orang-orang bahwa Ali (رضى الله عنه) adalah mawla (teman tercinta) dari semua kaum muslimin, seperti halnya Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم). Jika Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) ingin mencalonkan Ali (رضى الله عنه) sebagai khalifah, maka ia (صلى الله عليه وآله وسلم) akan melakukannya dalam Khotbah Perpisahan di Mekah bukan dalam perjalanan kembali ke Madinah di tengah gurun 250 km dari Mekah kepada sebagian muslimin.


MULLAH SYIAH MEMPERLAKUKAN AL-QURAN SEBAGAI MAINAN.

Al-Islam.org says
“In this place (of Ghadir Khumm), the following verse of the Qur’an was revealed:
“O Apostle! Deliver what has been sent down to you from your Lord; and if you don’t do it, you have not delivered His message (at all); and Allah will protect you from the people …” (Qur’an 5:67)
The last sentence in the above verse indicates that the Prophet [s] was mindful of the reaction of his people in delivering that message but Allah informs him not to worry, for He will protect His Messenger from people. source: http://www.al-islam.org/ghadir/incident.htm
Ini adalah klaim yang sering diulang-ulang olehSyiah, yaitu bahwa ayat (5:67) ini diturunkan sehubungan dengan pencalonan Khalifah Ali. Dengan kata lain, Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) tidak perlu khawatir mengenai reaksi yang mengerikan dari para sahabat terhadap deklarasi Imamah dan Khilafah Ali.

Seperti yang biasanya terjadi, propagandis Syiah tidak ragu-ragu untuk mempermainkan Al-Quran dan menggunakan Al-Quran sebagai dalil pelengkap doktrin mereka . Kenyataanya, ayat 5:67 tidaklah mungkin telah diwahyukan dalam kaitannya dengan nominasi Ali, karena ayat itu diarahkan terhadap Ahli Kitab (yaitu Yahudi dan Kristen). Syiah menggunakan ayat di luar konteks, tanpa mempertimbangkan ayat sebelum dan sesudahnya. Mari kita lihat:
[5:66] Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
[5:67] Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
[5:68] Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.
Jadi kami melihat bahwa ayat sebelum dan setelahnya berbicara tentang Ahli Kitab, dan dalam konteks ini bahwa ayat 5:67 diturunkan, untuk meyakinkan Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) bahwa dia tidak boleh takut kepada orang-orang Yahudi atau orang Kristen dan bahwa ia (صلى الله عليه وآله وسلم) harus secara jelas menyampaikan pesan Islam yang akan lebih tinggi mengatasi Yahudi dan Kristen. Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) diceritakan dalam ayat 5:67 bahwa ia tidak boleh takut kepada orang-orang yang bermaksud jahat, dan pada ayat yang berikutnya (5:68) Allah mengatakan bahwa pesan Islam hanya akan “menambah kedurhakaan dan kekafiran mereka”. Adalah sangat jelas bahwa ayat tersebut sedang berbicara tentang kelompok orang yang sama, yaitu orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab yang bermaksud membuat kerusakan dan kekafiran.
Pada kenyataannya, hampir keseluruhan ayat sedang membicarakan Ahlul Kitab dan kami melihat ayat 5:59 hingga 5:86 adalah mengacu pada Ahli Kitab. Mari kita perhatikan ayat-ayat di bawah ini:
5:59. Katakanlah, “Wahai ahli Kitab, adakah kamu mendendami kami kerana kami percaya kepada Allah, dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan sebelumnya, dan bahwa kebanyakan kamu adalah orang-orang fasiq?”
5:60. Katakanlah, “Bolehkah aku memberitahu kamu, sebagai ganjaran di sisi Allah, yang lebih buruk daripada itu? Sesiapa yang Allah melaknatkan, dan padanya Dia murka, dan menjadikan antara mereka beruk dan babi, dan penyembah-penyembah Thagut – mereka itu lebih buruk tempatnya, dan lebih jauh sesat daripada jalan yang betul.”
5:61. Apabila mereka datang kepada kamu, mereka berkata, “Kami percaya”; tetapi mereka masuk dengan ketidakpercayaan, dan mereka keluar dengannya; Allah sangat mengetahui apa yang mereka menyembunyikan.
5:62. Kamu melihat kebanyakan antara mereka bersegera dalam dosa dan permusuhan, dan bagaimana mereka memakan yang haram; buruknya apa yang mereka buat!
5:63. Mengapakah rabani-rabani (orang-orang yang menguasai), dan habr (ulama agama) tidak melarang mereka daripada ucapan dosa, dan memakan yang haram? Buruknya apa yang mereka mengerjakan!
5:64. Orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Yang terbelenggu ialah tangan-tangan mereka, dan mereka dilaknati kerana apa yang mereka mengatakan. Tidak, tetapi tangan-Nya terjulur; Dia menafkahkan sebagaimana yang Dia mengkehendaki. Dan apa yang diturunkan kepada kamu daripada Pemelihara kamu akan menambah kepada kebanyakan antara mereka, dalam kelampauan batas, dan ketidakpercayaan; dan Kami melemparkan di kalangan mereka, permusuhan dan kebencian, sampai Hari Kiamat. Setiap kali mereka menyalakan api untuk perang, Allah memadamnya. Mereka berusaha di bumi untuk membuat kerosakan padanya; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerosakan.
5:65. Tetapi sekiranya ahli Kitab percaya dan bertakwa, tentu Kami melepaskan mereka daripada kejahatan-kejahatan mereka, dan tentu Kami memasukkan mereka ke Taman Kebahagiaan.
5:66. Sekiranya mereka melakukan Taurat dan Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka daripada Pemelihara mereka, tentu mereka akan makan apa yang di atas mereka, dan apa yang di bawah kaki mereka. Antara mereka adalah umat yang adil, tetapi kebanyakan antara mereka, adalah jahat apa yang mereka buat.
5:67. Wahai rasul, sampaikanlah apa-apa yang diturunkan kepada kamu daripada Pemelihara kamu kerana, jika kamu tidak lakukan, tidaklah kamu menyampaikan Mesej-Nya. Allah melindungi kamu daripada manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang tidak percaya.
5:68. Katakanlah, “Wahai ahli Kitab, kamu tiada di atas sesuatu, sehingga kamu melakukan Taurat dan Injil, dan apa yang diturunkan kepada kamu daripada Pemelihara kamu.” Dan apa yang diturunkan kepada kamu daripada Pemelihara kamu akan menambah kepada kebanyakan daripada mereka dalam kelampauan batas, dan ketidakpercayaan; maka janganlah berdukacita terhadap kaum yang tidak percaya.
5:69. Sesungguhnya orang-orang yang percaya, dan orang-orang Yahudi, dan Sabiin, dan orang-orang Kristian, sesiapa yang percaya kepada Allah, dan Hari Akhir, dan membuat kerja-kerja kebaikan, maka tiadalah ketakutan pada mereka, dan tidaklah mereka bersedih.
5:70. Dan Kami telah mengambil perjanjian Bani Israil, dan Kami mengutus rasul-rasul kepada mereka. Setiap kali datang kepada mereka seorang rasul, dengan apa yang jiwa mereka tidak menginginkan, segolongan mereka mendustakan, dan segolongan lain mereka bunuh.
5:71. Dan mereka menyangka bahwa tidak akan menjadi cubaan; mereka menjadi buta, dan menjadi pekak. Kemudian Allah menerima taubat mereka; kemudian mereka menjadi buta lagi, kebanyakan daripada mereka, menjadi pekak; dan Allah melihat apa yang mereka buat.
5:72. Merekalah orang-orang yang tidak percaya, yang berkata, “Allah, Dia ialah al-Masih putera Mariam.” Berkata al-Masih, “Wahai Bani Israil, sembahlah Allah, Pemeliharaku dan Pemeliharamu. Sesungguhnya sesiapa menyekutukan Allah, Allah akan mengharamkannya Taman, dan tempat menginapnya ialah Api; orang-orang yang zalim tidak ada penolong-penolong.”
5:73. Orang-orang yang tidak percayalah yang berkata, “Allah ialah yang ketiga daripada yang Tiga.” Tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Satu. Jika mereka tidak berhenti daripada apa yang mereka mengatakan, tentu akan menyentuh orang-orang antara mereka yang tidak percaya, azab yang pedih.
5:74. Tidakkah mereka bertaubat kepada Allah, dan meminta ampunan-Nya? Allah Pengampun, Pengasih.
5:75. Al-Masih, putera Mariam, hanyalah seorang rasul; rasul-rasul sebelum dia telah berlalu. Ibunya seorang wanita yang benar; mereka berdua makan makanan. Perhatikanlah bagaimana Kami memperjelaskan ayat-ayat kepada mereka, kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling.
5:76. Katakanlah, “Adakah kamu sembah, selain daripada Allah, apa yang tidak boleh memudaratkan, atau memanfaatkan kamu? Dan Allah, Dia Yang Mendengar, Yang Mengetahui.”
5:77. Katakanlah, “Wahai ahli Kitab, janganlah berlebih-lebihan dalam agama kamu, selain daripada yang benar, dan janganlah mengikuti keinginan kaum yang telah sesat sebelumnya, dan menyesatkan ramai, dan sesat lagi daripada jalan yang betul.”
5:78. Telah dilaknati orang-orang yang tidak percaya daripada Bani Israil oleh lidah Daud, dan Isa putera Mariam; itu adalah kerana keingkaran mereka, dan pencabulan mereka.
5:79. Mereka tidak saling melarang daripada sebarang kemungkaran yang mereka melakukan; sungguh buruknya apa yang mereka buat!
5:80. Kamu melihat kebanyakan antara mereka menjadikan orang-orang yang tidak percaya sebagai sahabat-sahabat mereka. Buruknya apa yang mereka mendahulukan untuk diri-diri mereka sendiri, kerana kemurkaan Allah kepada mereka, dan dalam azab mereka tinggal selama-lamanya.
5:81. Sekiranya mereka mempercayai Allah, dan Nabi, dan apa yang diturunkan kepada mereka, tentu mereka tidak mengambil mereka sebagai wali-wali (sahabat-sahabat); tetapi kebanyakan antara mereka adalah orang-orang fasiq.
5:82. Sungguh, kamu mendapati manusia yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang percaya ialah orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang mempersekutukan; dan sungguh kamu mendapati yang paling dekat dengan mereka dalam kasih sayang terhadap orang-orang yang percaya ialah orang-orang yang berkata, “Kami adalah orang-orang Kristian”; itu adalah kerana sebahagian mereka adalah paderi-paderi dan rahib-rahib, dan mereka tidak menyombongkan diri.
5:83. Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada rasul, kamu melihat mata-mata mereka mencucurkan air mata kerana mereka mengenali yang benar. Mereka berkata, “Wahai Pemelihara kami, kami percaya, maka tuliskanlah kami antara para saksi.
5:84. Tidakkah kami patut mempercayai Allah, dan yang benar yang datang kepada kami, dan menginginkan supaya Pemelihara kami memasukkan kami berserta kaum yang salih?”
5:85. Dan Allah mengganjari mereka kerana apa yang mereka mengatakan, dengan taman-taman yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, di dalamnya tinggal selama-lamanya; itulah balasan ke atas orang-orang yang berbuat baik.
5:86. Tetapi orang-orang yang tidak percaya, dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah orang-orang Jahim.
Adalah sangat jelas bahwa semua ayat-ayat di atas adalah tentang orang Yahudi dan Kristen, dan anehnya Syiah memotong dan menyisipkan ayat Al-Quran sesuai dengan keinginan mereka. Ini adalah memanipulasi Firman Allah dan dosa yang sangat besar yang mengarah ke jalur kufur. Namun, Anda akan menemukan bahwa Syiah secara umum membuat klaim bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan Ghadir Khum dan pencalonan Ali (رضى الله عنه). Jadi ini adalah perjalanan panjang propagandis Syiah dalam rangka membelokkan/ mengeluarkan Al-Quran dan hadis dari konteksnya dalam rangka menciptakan kisah imajiner bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mencalonkan Ali (رضى الله عنه) menjadi khalifah.
APAKAH KEJADIAN GHADIR KHUM MERUPAKAN ASBANUN NUZUL AYAT 5:67 ?
Al-Islam.org says
“In this place, the following verse was revealed:
“O Apostle! Deliver what has been sent down to you from your Lord; and if you don’t do it, you have not delivered His message (at all); and Allah will protect you from the people …” (Quran 5:67).
Some of Sunni references confirming that the revelation of the above verse of Al-Quran was right before the speech of Prophet in Ghadir Khum:
(1) Tafsir al-Kabir, by Fakhr al-Razi, under commentary of verse 5:67, v12, pp 49-50, narrated on the authorities of Ibn Abbas, al-Bara Ibn Azib, and Muhammad Ibn Ali.
(2) Asbab al-Nuzool, by al-Wahidi, p50, narrated on the authorities of Atiyyah and Abu Sa’id al Khudri.
(3) Nuzul al-Quran, by al-Hafiz Abu Nu’aym narrated on the authorities Abu Sa’id Khudri and Abu Rafi.
(4) al-Fusool al Muhimmah, by Ibn Sabbagh al-Maliki al-Makki, p24
(5) Durr al-Manthur, by al-Hafiz al-Suyuti, under commentary of verse 5:67
(6) Fathul Qadir, by al-Shawkani, under commentary of verse 5:67
(7) Fathul Bayan, by Hasan Khan, under commentary of verse 5:67
(8) Shaykh Muhi al-Din al-Nawawi, under commentary of verse 5:67
(9) al-Sirah al-Halabiyah, by Noor al-Din al-Halabi, v3, p301
(10) Umdatul Qari fi Sharh Sahih al-Bukhari, by al-Ayni
(11) Tafsir al-Nisaboori, v6, p194
(12) and many more such as Ibn Mardawayh, etc…
source: http://www.al-islam.org/ghadir/incident.htm
Para propagandis Syiah telah berbohong, karena tidak ada cara lain untuk menjelaskan masalah ini. Selain mengeluarkan dari konteksnya, mereka juga telah terkenal dalam mengutip referensi sepotong-sepotong.
Dalam masalah ini Syiah memberikan dua belas sumber/ refensi, marilah kita lihat satu per satu. Yang pertama adalah at-Tafsir al-Kabir oleh Imam Razi. Syiah berusaha untuk menipu Sunni dengan membuat seolah-olah Imam ar-Razi percaya bahwa ayat 5:67 ini diturunkan di Ghadir Khum. Padahal, dalam bukunya Imam Razi mengatakan yang sebaliknya!

Imam Razi menyebutkan bahwa orang-orang telah mengklaim bahwa ayat ini diturunkan pada kejadian yang berbeda-beda. Dia mendaftar sepuluh kemungkinan ketika ayat itu diwahyukan. Sudah dikenal bahwa gaya para ulama adalah mendaftar terlebih dahulu pandangan yang paling penting dan kemudian menampilkan yang paling penting. Seharusnya Syiah yang licik mengetahui bahwa Imam ar-Razi tidak menyebutkan Ghadir Khum sebagai yang paling mungkin, yang berarti di matanya peristiwa Ghadir Khum adalah pendapat mungkin paling lemah.

Sekarang kita akan membaca komentar kata demi kata dari Imam Razi:
Ulama tafsir telah menyebutkan banyak penyebab turunnya wahyu:
(1) Yang pertama adalah bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan perajaman dan pembalasan sebagaimana yang disebutkan sebelumnya dalam kisah orang Yahudi.
(2) Penyebab kedua adalah bahwa ayat itu telah diwahyukan karena kritik dan mengolok-olok agama yang dilakukan oleh orang Yahudi, dan Nabi tetap diam tentang mereka, sehingga ayat ini diturunkan.
(3) Ketiga: Ketika ayat pilihan diturunkan, yaitu “Hai Nabi! katakanlah kepada istri-istrimu: ” (yaitu 33:28), Nabi tidak menyampaikan ayat ini kepada mereka karena khawatir mereka memilih dunia, dan dengan demikian ayat itu (5:67) diturunkan.
(4) Keempat: Ayat ini diwahyukan berkaitan dengan Zayd dan Zaynab Bint Jahsh. Aisyah berkata: Barang siapa mengklaim bahwa Rasulullah menyembunyikan bagian dari apa yang telah diwahyukan kepadanya, maka ia telah melakukan kebohongan besar terhadap Allah, karena Allah telah berkata: “Wahai Rasul (Muhammad)! Beritakan (Pesan tersebut)” dan kalau seandainya Rasulullah menyembunyikan bagian dari apa yang telah diwahyukan kepadanya, maka dia telah menyembunyikan firman-Nya: “Dan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya “[33:37]
(5) Kelima: Ayat ini diungkapkan berkaitan dengan Jihad, karena orang-orang munafik membencinya, maka ia digunakan untuk menahan alasan mereka untuk Jihad.
(6) Keenam: Ketika firman Allah telah diwahyukan: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.[6:108], Nabi menahan diri dari memaki Tuhan mereka, jadi ayat ini diwahyukan, dan Dia berkata: “Nyatakan” yaitu kesalahan/ kritik tentang tuhan-tuhan mereka dan jangan menyembunyikannya, dan Allah akan melindungi kamu terhadap gangguan mereka.
(7) Ketujuh: Ayat ini diungkapkan berkaitan dengan hak-hak Muslim, karena di Haji Terakhir setelah ia menyatakan aturan dan ritual haji, ia berkata: Bukankah saya telah menyatakan (kepada Anda)? Mereka berkata: Ya. Dia berkata: Ya Allah saksikanlah.
(8) Kedelapan: Telah diriwayatkan bahwa ia sedang beristirahat di bawah pohon pada salah satu perjalanan dan menggantung pedangnya di atasnya, ketika seorang Badui datang saat ia sedang tidur dan menyambar pedang tersebut sambil berkata: “Wahai Muhammad, siapa yang akan melindungi kamu dari saya?”. Dia berkata: “Allah”, lalu tangan si Badui tersebut gemetar, pedang itu jatuh dari tangannya, dan ia memukulkan kepalanya ke pohon sampai pecah otaknya, jadi Allah menurunkan ayat ini dan menjelaskan bahwa Dia akan melindungi dia terhadap orang-orang.
(9) Kesembilan: Ia biasanya takut kepada Quraish, orang-orang Yahudi dan Kristen, maka Allah menghapuskan ketakutan ini dari hatinya dengan ayat ini.
(10) Kesepuluh: Ayat ini telah diwahyukan untuk menekankan keunggulan Ali, dan ketika ayat ini diwahyukan, Nabi memegang tangan Ali dan berkata: “Seseorang yang telah memiliki saya sebagai mawla-nya telah memiliki Ali sebagai mawla-nya. Ya Allah, Jadilah temannya yang berteman dengan dia, dan jadilah musuhnya siapa yang memusuhinya”. (Segera) setelah ini, Umar menemui dia (Ali) dan berkata:”. Wahai Ibnu Abi Thalib! Saya mengucapkan selamat kepada Anda, sekarang Anda adalah mawla saya dan mawla setiap mukmin laki-laki dan perempuan”. Ini adalah perkataan yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, Baraa bin Aazib dan Muhammad bin Ali.
Anda harus tahu bahwa, meskipun dengan riwayat yang banyak, adalah lebih cocok untuk menjelaskan bahwa ayat tersebut sebagai Allah sedang meyakinkan dia (Nabi) adanya perlindungan terhadap skema licik orang-orang Yahudi dan Kristen dan memerintahkan dia untuk mengumumkan risalah-Nya tanpa rasa takut terhadap mereka . Hal ini karena konteks sebelum ayat ini dan setelah ayat ini adalah dialamatkan kepada orang-orang Yahudi dan Kristen, adalah tidak akan mungkin untuk meletakkan ayat di tengah (ayat-ayat lain) menjadikannya asing (tidak relevan) dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
(Sumber: Tafsir al-Kabir, by Fakhr al-Razi, di bawah komentar dari ayat 5:67, volume 12, hal. 49-50)
Dengan kata lain, Imam ar-Razi menyebutkan sepuluh kemungkinan, tetapi ia menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah bahwa ayat ini diturunkan tentang orang Yahudi dan Kristen dan itulah mengapa ia menyebutkan kemungkinan ini yang pertama.

Apa yang mengherankan adalah bahwa Encyclopedia Syiah yang licik tidak menyebutkan bahwa Imam ar-Razi menyebutkan sepuluh kemungkinan dan menyatakan bahwa satu-satunya yang masuk akal adalah yang pertama. Sebaliknya Syiah mengandalkan kutipan sepotong, dan memang wajar karena mereka adalah orang-orang yang mencintai Taqiyyah dan penipuan. Kami memperingatkan Sunni awam untuk tidak terkesima dengan daftar yang panjang referensi mereka, jika Syiah memberikan daftar referensi namun tidak ada kutipan yang lengkap, itu adalah tanda-tanda bahwa mereka memelintir teks sebagaimana mereka memesongkan/ memelintir Al-Quran dan bermain lego dengan itu.

Adapun narasi yang dilaporkan oleh Ibnu Abi Hatim, rantai perawinya adalah sebagai berikut:
Ayah saya mengatakan kepada kami: Utsman Ibnu Khurzad mengatakan kepada kami: Ismail Ibnu Zakaria mengatakan kepada kami: Ali bin Abis mengatakan kepada kami: dari Al-Amash dari Atiya Al-Awfi dari Abu Saeed Al-Khudri.
Isnad tersebut lemah. Jika kita menganalisis para perawi, maka kita menemukan:
(1) Ismail Ibn Zakaria Al-Kufi

Abu Yahya meriwayatkan dari Ahmad Ibnu Hanbal: “Dia adalah lemah.”

Al-Nasai berkata dalam Jarh wa Tadeel: “Dia tidak kuat.”

(2) Ali Ibn Abis Yahya Ibnu Maeen berkata: “Dia tida ada apa-apanya.” Dan seperti ini juga kata Ibrahim Ibnu Yaqub
Al-Jozqani, Al-Nasai, dan Abu Al-Fath Al-Azdi.

Ibnu Hibban berkata: “kesalahannya berlebihan sehingga dia layak untuk diabaikan.”
(3) Al-Amash Dia adalah Mudalis.

(4) Atiya Al-Awfi: Ahmad mengatakan: “Dia adalah lemah.”
Al-Nasai mengatakan: “Dia adalah lemah.”

Ibn Hiban berkata: “Dia mendengar dari Abu Saeed hadits dan ketika dia meninggal, dia biasa duduk dengan Al-Kalbi, sehingga Al-Kalbi berkata: “Rasulullah saw bersabda seperti itu-dan itu,” ia akan mengingatnya dan dia memberinya kunya Abu Saeed dan meriwayatkan darinya. Jadi jika dikatakan kepadanya: “Siapa yang menceritakan ini padamu?” Dia akan berkata: “Abu Saeed meriwayatkan ini kepada saya”. Jadi mereka (yaitu orang-orang yang bertanya) akan berpikir bahwa yang ia maksudkan adalah Abu Saeed Al-Khudri, padahal pada kenyataannya yang dimaksud adalah Al-Kalbi.

Dia menyatakan lebih lanjut: “Tidak diperbolehkan menulis narasinya kecuali karena kagum tentang mereka.”
Dan kemudian dia mengaitkan dari Khalid Al-Ahmar bahwa ia berkata: “Al-Kalbi berkata kepada saya: Atiya berkata kepada saya: Aku telah memberikan kamu kunya Abu Saeed, sehingga aku berkata:. Abu Saeed menceritakan kepada kami”

Oleh karena itu, Abu Saeed dalam narasi ini bisa jadi sebenarnya Al-Kalbi dan bukan sahabat Nabi, yakni Abu Saeed Al-Khudri.

(5) Abu Sa’id: Ibnu Muhammad Al-Sae’b Al-Kalbi

Al-Suyuti berkata dalam Al-Itqan mengenai Tafsir Ibnu Abbas: “Dan rantai terlemahnya adalah jalan Al-Kalbi dari Abu Saleh dari Ibnu Abbas. Dan jika narasi tersebut dari Muhammad Ibn Marwan Al-Sadi, yang masih muda, ditambahkan maka ini adalah rantai kebohongan, dan cukup sering Al-Thalabi dan Al-Wahidi menceritakan melalui jalur itu. “

Yaqut Al-Hamawi mengatakan dalam Mu’jam Al-Udaba tafsir at-Tabari: “Dan dia (Tabari) tidak menjadikan referensi untuk setiap Tafsir yang tidak dipercaya, karena ia tidak memasukkan dalam bukunya apa pun dari buku Muhammad Ibn Al- Sa’eb Al-Kalbi atau Muqatil bin Sulaiman atau Muhammad bin Umar Al-Waqidi karena mereka menciptakan kecurigaan (athina’) dalam pandangannya, dan Allah mengetahui yang terbaik. “
Al-Bukhari menyebutkan dalam bukunya Tareekh Al-Kabir: “Muhammad Ibn Al Sae’b Abu Al-Nadhir Al-Kalbi telah ditinggalkan oleh Yahya Ibnu Saeed.” Ibnu Mahdi dan Ali mengatakan kepada kami: “Yahya Ibnu Saeed mengatakan kepada kami: dari Sufyan: Al-Kalbi mengatakan kepadaku: Abu Shalih mengatakan kepadaku: semua yang saya katakan adalah kebohongan “.

Al-Nasai mengatakan: “Ia tidak dipercaya dan hadisnya seyogyanya tidak ditulis.”

Ahmad Ibn Haroon berkata: “Aku bertanya kepada Ahmad Ibnu Hanbal tentang Tafsir Al-Kalbi.” Dia berkata: “Kebohongan”. Aku berkata: “? Apakah diperbolehkan bagi saya untuk melihat ke dalamnya” Dia berkata: “Tidak”

KESIMPULAN: Riwayat ini tidak memiliki kredibilitas sama sekali.

Buku-buku lain yang dikutip oleh Syiah berisi rantai perawi yang sama, seperti Asbab Al Nuzul oleh Imam Wahidi al Naysaburi:
أخبرنا أبو سعيد محمد بن علي الصفار قال: أخبرنا الحسن بن أحمد المخلدي قال: أخبرنا محمد بن حمدون بن خالد قال: حدثنا محمد بن إبراهيم الخلوتي قال: حدثنا الحسن بن حماد سجادة قال: حدثنا علي بن عابس عن الأعمش وأبي حجاب عن عطية عن أبي سعيد الخدري قال: نزلت هذه الآية (يا أيها الرسول بلغ ما أنزل إليك من ربك) يوم غدير خم في علي بن أبي طالب رضي الله عنه
Dalam Tafsir Dar al-Manthur Imam Suyuti, kita menemukan bahwa rantai yang sama dikutip:
# 6609 حدثنا ابى ثنا عثمان بن حرزاد, ثنا اسماعيل بن زكريا, ثنا علي بن عابس عن الاعمش ابني الحجاب, عن عطية العوفي عن ابى سعيد الخدري قال: نزلت هذه الاية يا ايها الرسول بلغ ما انزل اليك من ربك في علي بن ابى طالب
Dan sama halnya dengan Imam al-Shawkani dalam Fath Al Qadir.

Intinya adalah bahwa tidak ada sumber yang benar-benar membuktikan argumen Syiah. Jika mereka lakukan, maka Anda akan melihat Syiah memberikan kutipan lengkap, tetapi mereka tidak bisa melakukan hal itu karena akan mengungkap kelemahan argumen mereka! Menyimpulkan masalah ini, maka tidak ada sumber terpercaya Sunni yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan di Ghadir Khum.

Sebagaimana diketahui, bahwa peristiwa Ghadir Khum terjadi pada waktu yang dekat dengan wafatnya Nabi ketika seluruh Arabia telah ditundukkan oleh kaum Muslim di bawah bimbingan Nabi, termasuk orang-orang Kristen di Najran dan Yahudi di Yaman. Apa yang perlu ditakutkan oleh Nabi untuk memproklamasikan risalahnya ketika pengikut-pengikutnya telah meningkat ratusan kali lipat? Tidak akan masuk akal bahwa ayat ini telah diwahyukan pada saat puncak kekuasaan Nabi. Sebaliknya, ayat ini diturunkan pada tahap awal era kenabian ketika Islam masih berjuang untuk bertahan hidup yang dikelilingi oleh banyak musuh.

APAKAH KEJADIAN GHADIR KHUM MERUPAKAN ASBABUN NUZUL AYAT 5:3?
Al-Islam.org says
“Revelation of Qur’anic Verse 5:3
Immediately after the Prophet [s] finished his speech, the following verse of the Qur’an was revealed:
“Today I have perfected your religion and completed my favour upon you, and I was satisfied that Islam be your religion.” (Qur’an 5:3)
The above verse clearly indicates that Islam without clearing up matter of leadership after Prophet [s] was not complete, and completion of religion was due to announcement of the Prophet’s immediate successor.
source: http://www.al-islam.org/ghadir/incident.htm
Ini adalah satu lagi pemalsuan Syiah: Alquran ayat 05:03 (“hari ini aku telah menyempurnakan agamamu …”) diwahyukan pada akhir Khotbah Perpisahan di puncak Gunung Arafat. Fakta ini dilaporkan dalam Hadis yang diriwayatkan dalam kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, al-Sunan, dan lain-lain:
”Ayat ini (yaitu ‘Hari ini aku telah menyempurnakan agamamu …’) diturunkan pada hari Jumat, hari Arafat …”


Mengapa Al-Quran benar-benar diam dalam hal pencalonan Ali (رضى الله عنه)? Sesungguhnya, Allah akan menyebutkan hal ini dalam Al-Quran jika hal ini sesuatu yang diperintahkan secara ilahiah? Mengapa Allah yang semestinya menurunkan ayat 5:67 dan 5:03 yang semuanya tentang Ali (رضى الله عنه) dan Imamahnya, tetapi Allah tidak memilih untuk mencantumkan nama Ali dalam ayat-ayat dan menjadikannya jelas bagi kaum muslimin bahwa Ali (رضى الله عنه) adalah pemimpin ilahiah yang ditunjuk berikutnya bagi kaum muslimin? Untuk menambah lebih banyak kebingungan mengenai masalah ini, tidak satu pun dari ayat-ayat ini berbicara tentang Imamah atau Khilafah sama sekali. Hal ini benar-benar menakjubkan bagaimana mungkin Syiah selalu mengatakan bahwa hal ini dan ayat Al-Qur’an ini merujuk pada Imamah Ali (رضى الله عنه), namun Allah sendiri tidak pernah mengatakan demikian.

ShiaChat Member says
“Ghadir Khumm was a central location, a source of water that represented the last place where the people from different locations were together before splitting up on their separate ways to go home. It was the last moment during the hajj when indeed EVERYONE was present.”
Ghadir Khum adalah suatu lokasi yang hanya bagi Muslim yang menuju ke arah utara, baik ke Madinah atau yang melewati Madinah ke tempat seperti Suriah. Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, bahwa Ghadir Khum itu terletak di antara Mekkah dan Madinah; Ghadir Khum terletak sekitar 250 km dari Mekah. Memang mungkin merupakan tempat berhenti umum bagi sebagian umat Islam yang ke Utara, tetapi bagaimanapun, bukan lokasi pemberhentian bagi umat Islam yang menuju ke arah lain, seperti ke Selatan Mekah ke Taif atau Yaman.

Apakah masuk akal bahwa orang-orang Mekah perlu melewati Ghadir Khum pada “perjalanan kembali” mereka ke Mekkah setelah haji? Apakah mereka belum berada di Mekkah, kota asal mereka? Kaum muslimin Mekah akan mengakhiri haji mereka di Mekkah, dan kaum Muslim Madinah akan pergi ke rumah mereka di Madinah, berhenti di Ghadir Khum tanpa ditemani kaum muslimin Mekah yang mereka tinggalkan di Mekah. Hal yang sama dapat dikatakan bagi orang-orang Yaman, Taif, dll. Sesungguhnya, semua muslim dari semua kota-kota besar tidak termasuk yang mendengar pidato nabi di Ghadir Khum, dan ini sangat aneh: Jika seandainya Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) ingin mencalonkan Ali (رضى الله عنه) sebagai khalifah, maka semestinya Beliau akan melakukan hal ini di depan seluruh kaum muslimin dari Mekah, Taif, Yaman, dll.

Bahkan, pendebat Syiah telah secara akut menyadari fakta ini dan itulah mengapa mereka bersikeras mengatakan kepada orang-orang bahwa Ghadir Khum adalah tempat dimana seluruh umat Islam menuju tempat tersebut sebelum berpisah untuk kembali ke rumah dan oleh karena itu Ghadir Khum dialamatkan kepada seluruh Muslim. “Fakta” ini hanya dipercaya oleh orang-orang yang tidak tahu yang tidak peduli pada peta dan benar-benar mencari tahu di mana lokasi Ghadir Khum ini. Setelah seseorang mengeluarkan peta, maka menjadi sangat jelas betapa bohongnya dakwaan Syiah tersebut; pada kenyataannya, hanya sebagian kecil dari kaum muslimin yang hadir di Ghadir Khum (yaitu orang-orang menuju Madinah).

Berdasarkan pada jarak dari Mekah ke Ghadir Khum, maka kami memastikan bahwa jauh lebih dapat diterima akal bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) adalah mengoreksi kelompok umat Islam tertentu (yaitu para prajurit dari Madinah yang telah dikirim ke Yaman) daripada dialamatkan kepada massa umum kaum muslimin. Pidato Ghadir Khum ditujukan terutama untuk kelompok orang yang telah mengecam Ali (رضى الله عنه), dan itulah mengapa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) tidak memasukkan masalah ini dalam pidato Khotbah Perpisahan pada Haji Terakhir di depan massa Muslim yang lebih banyak dan lengkap.

The Thaqalayn Muslim Association says
“An Appeal to Common Sense:
Allah, the All-Knowing, describes the sublime character of the Prophet Muhammad (peace be upon him and his progeny) as follows:
“Certainly a Messenger has come to you from among yourselves; grievous to him is your falling into distress, excessively solicitous respecting you; to the believers (he is) compassionate… ” [9:128]
The Prophet (peace be upon him and his progeny) was an extremely kind-hearted and compassionate. He always took every effort to ensure the well-being and comfort of his followers, and was never known to impose any extra burden or hardship upon others. He was even known to shorten his prayers upon hearing the voice of a baby crying. It is impossible to infer that the Prophet, who was sent as “a mercy unto the worlds” had ordered his followers to sit in the burning heat of the Arabian desert, without any shade, for several hours, only to announce to them that ‘Ali ibn Abi Talib was his “friend.”
source: http://www.utm.thaqalayn.org/files/ghadeer.pdf
ShiaChat Member says
“why do you think Muhammad stopped 60 000 people in the middle of the desert months before he knew he was going to die? To say, “ya know, Ali is my buddy?!”
Pada kenyataannya, statement Syiah di atas telah mengangkat masalah yang harus mereka jawab sendiri. Kami ingin mengajukan pertanyaan yang sama persis: mengapa Nabi Muhammad (صلى الله عليه وآله وسلم) secara tidak masuk akal memaksa penduduk Mekah untuk keluar pergi sejauh 250 km ke lubang air Ghadir Khum yang terletak di tengah padang pasir? Mengapa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) memaksa Rakyat Taif untuk pergi ke arah berlawanan (Utara) dari rute perjalanan pulang yang sebenarnya (ke arah Selatan)? Syiah yang tinggal di Taif sekarang yang melakukan perjalanan ke Mekah, setelah menyelesaikan Haji, kemudian mereka akan kembali ke Taif. Mereka tidak merasa perlu untuk melakukan perjalanan 250 km ke Ghadir Khum dan kemudian berbalik arah melakukan perjalanan 250 km lagi kembali ke Mekah dan baru kemudian ke Taif di sebelah Selatan, sebuah perjalanan tambahan sia-sia yang akan menambah waktu beberapa minggu!

Sebaliknya, apa yang lebih mungkin adalah bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) dan Muslim yang menuju Madinah berhenti di lubang air Ghadir Khum untuk menyegarkan diri beristirahat. Di sana Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) masih mendengar orang mengkritik Ali (رضى الله عنه) lagi walaupun sebelumnya Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) telah memperingatkan mereka. Oleh karena itu, Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) ditujukan kepada mereka semua yang ada di Ghadir Khum, mendesak mereka untuk menjadikan Ali (رضى الله عنه) sebagai teman tercinta. Perlu dicatat bahwa Muslim yang menuju ke Madinah umumnya akan berhenti di Ghadir Khum karena merupakan sumber mata air, tempat itu adalah pemberhentian sementara dalam perjalanan ke Madinah, di mana umat Islam akan beristirahat untuk sementara dan selama istirahat tersebut Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) memperingatkan mereka setelah sekelompok Muslim mengkritik Ali (رضى الله عنه).

The Thaqalayn Muslim Association says
“Laudation from the Muslims
After his speech, the Messenger of Allah asked every body to give the oath of allegiance to ‘Ali (عليه السلام) and congratulate him. Among the first Muslims to congratulate ‘Ali were ‘Umar and Abu Bakr, who said: “Well done, O son of Abu Talib! Today you have become the leader (Mawla) of all believing men and women.”
[Found in Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Tafsir al-Kabir by Fakhrudeen al-Razi, Kitabul Wilayah by at-Tabari, and many others]
source: http://www.utm.thaqalayn.org/files/ghadeer.pdf
Ini adalah propaganda Syiah yang khas dan klasik, mereka akan mengatakan hal-hal seperti “itu ada di buku kamu sendiri” dan kemudian secara tidak sopan megutip buku-buku kami tetapi sambil menyuntikkan maksud mereka sendiri ke dalamnya. Apa yang ditemukan dalam teks laporan tersebut hanyalah bahwa Umar (رضى الله عنه) mengucapkan selamat kepada Ali (رضى الله عنه) untuk menjadi mawla (teman tercinta) untuk semua Muslim, tidak berisi laporan bahwa Umar (رضى الله عنه) membai’at Ali (رضى الله عنه). Ali (رضى الله عنه) sedang dikritik keras oleh anak buahnya dan dalam suasana ini Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) membela Ali (رضى الله عنه) dan memberitahu Muslim bahwa mereka tidak boleh membenci Ali (رضى الله عنه) namun mencintainya.

Bahkan, argumen Syiah tersebut lebih tidak masuk akal. Jika Umar (رضى الله عنه) dan kaum Muslim yang ada di situ berjanji setia (baya’ah) kepada Ali (رضى الله عنه) dan berkata “hari ini Anda telah menjadi pemimpin …”, lalu bagaimana dengan kepemimpinan Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم)? Kata kunci di sini adalah “hari ini” dan “Anda telah menjadi”, yang berarti bahwa Ali (رضى الله عنه) pada saat itu Mawla. Jika kita mengambil definisi Mawla itu adalah Imam atau Khalifah, maka ini berarti bahwa Ali (رضى الله عنه) pada saat itu Imam/ Khalifah kaum muslimin dan bukanya Nabi Muhammad (صلى الله عليه وآله وسلم). Tentunya, umat Islam tidak boleh memiliki dua penguasa pada saat yang sama, dan ini dinyatakan pada Hadits Sunni dan Syiah.

Semestinya, jika Umar (رضى الله عنه) benar-benar memberi selamat kepada Ali (رضى الله عنه) sebagai calon Khalifah berikutnya, maka ia akan mengatakan seperti ini: “Selamat, wahai Ali bin Abi Thalib! Anda akan segera menjadi khalifah dari seluruh muslimin”. Atau mungkin: “Selamat, wahai Ali bin Abi Thalib! Anda dinominasikan untuk satu hari menjadi (future tense) Khalifah seluruh Muslim”. Dia tentu tidak akan berkata: “Selamat… hari ini Anda telah menjadi pemimpin”.

Pemahaman yang lebih tepat perihal ucapan selamat yang diberikan oleh Umar (رضى الله عنه) ini adalah bahwa Umar (رضى الله عنه) mengucapkan selamat kepada Ali (رضى الله عنه) untuk menjadi teman yang terkasih dari semua muslimin. Suasana yang demikianlah, yaitu dimana orang telah mengkritik dan menyakiti Ali (رضى الله عنه), sehingga Umar bin al-Khattab (رضى الله عنه) pergi untuk menghibur dia dan mengatakan kata-kata yang baik kepadanya. Pembaca yang cerdik akan mencatat bahwa Umar (رضى الله عنه) sangat baik dalam pujiannya kepada Ali (رضى الله عنه), dan ini bertentangan dengan sudut pandang Syiah yang memberikan gambaran adanya konflik antara Umar (رضى الله عنه) dan Ali (رضى الله عنه), yaitu penggambaran Umar (رضى الله عنه) sebagai penindas/ perampas hak Ali (رضى الله عنه). Apakah kata-kata tersebut nampak sebagai ucapan dari seseorang yang membenci Ali (رضى الله عنه) sebagai klaim Syiah?

Jika kita menerjemahkan kata “mawla” di sini berarti “pemimpin”, lalu mengapa Umar (رضى الله عنه) mem-baya’ah kepada Ali dengan begitu penuh kasih dengan mengucapkan selamat kepada Ali (رضى الله عنه)? Syiah sebelumnya mengklaim bahwa Allah telah menurunkan ayat 5:67 untuk mendorong Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) untuk mencalonkan Ali (رضى الله عنه) tanpa rasa takut akan pembalasan dari orang-orang:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Al-Quran, 5:67).
Syiah mengatakan bahwa “orang-orang (yang mengganggu)” ini adalah para sahabat khususnya Abu Bakar (رضى الله عنه) dan Umar (رضى الله عنه). Jika ayat ini benar-benar diungkapkan tentang Umar (رضى الله عنه)-dan jika Umar (رضى الله عنه) benar-benar berusaha untuk merebut kekhalifahan Ali (رضى الله عنه)-lalu mengapa Umar (رضى الله عنه) mengucapkan selamat kepada Ali (رضى الله عنه) pada pencalonannya? Paling tidak, kita mengharapkan bahwa orang tersebut akan enggan memberikan Baya’ah, atau sama sekali tidak mau. Tapi di sini, kita melihat bahwa Umar (رضى الله عنه) adalah yang pertama memberi selamat kepada Ali (رضى الله عنه) berkaitan dia menjadi mawla. Intinya adalah bahwa jika kata “mawla” berarti pemimpin, maka Umar (رضى الله عنه) tidak akan mengucapkan selamat kepadanya. Pujian yang dikatakan oleh Umar (رضى الله عنه) ini disebarkan secara luas kepada masyarakat, lalu mengapa Umar (رضى الله عنه) harus melakukan hal itu, yaitu mendukung Ali (رضى الله عنه) jika ia benar-benar melawan dia atau jika “mawla” benar-benar berarti “pemimpin”? Umar (رضى الله عنه) menginterpretasikan “mawla” adalah “sahabat tercinta” dan bukan “pemimpin” dan ini adalah makna yang dipahami oleh orang-orang waktu itu.

The Thaqalayn Muslim Association says
“The Meaning of Mawla
The schools of thought differ on the interpretation of the word “Mawla.” In Arabic, the world “Mawla” has many meanings. It can mean master, friend, slave, or even client. If a word has more than one meaning, the best way to ascertain its true connotation is to look at the association (qarinah) and the context. There are scores of “associations” in this hadith which clearly show that the only meaning fitting the occasion can be “master”. Some of them are as follows.
source: http://www.utm.thaqalayn.org/files/ghadeer.pdf
Kami pasti setuju dengan penulis Syiah ini, bahwa ada banyak arti yang berbeda untuk kata “mawla” dan kami senang bahwa mereka setidaknya mengakui adanya banyak arti. Dari sinilah harapan kami bahwa Syiah awam setidaknya mengakui kenyataan ini dalam berdebat, bukannya keras kepala sehubungan dengan pandangan bahwa mawla hanya bisa berarti “pemimpin”. Meskipun yang kita kutip di atas dari sebuah artikel propaganda Syiah, setidaknya kami tanpa diragukan lagi setuju dengan statement pendahuluan tersebut, yaitu bahwa:

1) mawla memiliki banyak arti yang berbeda.

2) Kita harus melihat konteks dimana kata itu dikatakan/ digunakan untuk memastikan artinya.
Namun, kami tidak setuju dengan pasal yang menyatakan bahwa mawla di sini harus diterjemahkan sebagai „pemimpin“ atau „tuan“. Mari kita lihat artikel ini point demi pint, Insya-Allah:

SalamIran.org says
“In addition, there is also what (the Prophet), peace be on him and his family, said on the day of Ghadir Khumm. The community had gathered to listen to the sermon (in which he asked):
“Am I not more appropriate for authority (awla) over you than yourselves?”
“Yes”, they answered.
Then he spoke to them in an ordered manner without any interruption in his speech:
“Whomsoever I am the authority over (mawla), Ali is also the authority over.”
source: http://www.salamiran.org/Religion/Imam1/index.html
The Thaqalayn Muslim Association says
“First: The question which the Holy Prophet asked just before this declaration: “Do I not have more authority (awla) upon you than you have yourselves?” When they said: “Yes, surely,” then the Prophet proceeded to declare that: “Whoever whose mawla I am. ‘Ali is his mawla.” Without doubt, the word “mawla” in this declaration has the same meaning as “awla” (having more authority upon you).
source: http://www.utm.thaqalayn.org/files/ghadeer.pdf
Justru artinya tidak seperti itu. Awla dan mawla adalah dua kata yang berbeda!
Ketika menjelaskan dirinya, Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mengatakan:

“Apakah aku tidak lebih sesuai menjadi seorang Awla (otoritas) atas kamu dari pada dirimu sendiri?”
Dan ketika menggambarkan Ali (رضى الله عنه), tiba-tiba Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) beralih mengucapkan:
“Barangsiapa yang saya adalah mawla-nya, maka Ali ini juga mawla-nya.”

Apapun alasannya, dengan adanya perubahan kata tersebut (AULA vs MAWLA) justru sepenuhnya meniadakan klaim Syiah!

Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) semestinya hanya cukup mengatakan bahwa Ali (رضى الله عنه) adalah Awla atas orang-orang, tapi dia sebagai gantinya justru mengatakan mawla. Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) menyatakan pertama bahwa Allah memiliki kewenangan atas orang-orang, kemudian ia mengatakan bahwa ia sendiri memiliki kewenangan atas orang-orang, tapi kemudian tiba-tiba ia beralih dan menggunakan kata “mawla” untuk Ali (رضى الله عنه), meskipun dia telah menggunakan kata “Awla” untuk Allah dan dirinya sendiri.

Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) menyebutkan bahwa ia memiliki kewenangan atas orang-orang beriman sehingga mereka akan mendengarkan dia dan melakukan perintahnya untuk mencintai Ali (رضى الله عنه) seperti keinginannya. Kaum Muslimin di bawah komando Ali telah membenci dia, sehingga Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) menggunakan pengaruhnya/ kewenangannya untuk membuat mereka mencintai Ali (رضى عنه الله) dan menjadikan dia sebagai teman setianya.

Tampaknya Syiah sedang mencengkeram sedotan sambil mencoba menyuntikkan makna Imamah atau Khilafah ke dalam kata “mawla”. Dalam rangka membangun pernyataan mereka, mereka akan memanfaatkan ayat-ayat Al-quran yang sama sekali tidak ada relevansinya. Bagaimanapun kelihatan bagusnya hasil kerja Syiah, tidak ada kebenaran apapun di dalamnya, karena di sini, Syiah ingin agar kita percaya bahwa Awla sama dengan mawla. Syiah hanya perlu selangkah lagi untuk mengklaim bahwa Ali (رضى الله عنه) haruslah seorang Wali karena kata-kata “Ali” dan “Wali” begitu mirip.

The Thaqalayn Muslim Association says
“Second: The following prayer which the Holy Prophet uttered just after this declaration: “O Allah! Love him who loves ‘Ali, and be the enemy of the enemy of ‘Ali; help him who helps ‘Ali, and forsake him who forsakes ‘Ali.”
This prayer shows that ‘Ali, on that day, was entrusted with a responsibility which, by its very nature, would make some people his enemy; and in carrying out that responsibility he would need helpers and supporters. Are helpers ever needed to carry on a friendship?
source: http://www.utm.thaqalayn.org/files/ghadeer.pdf
Al-Islam.org says
“Glitters of Ahadith Relevant to the Ghadir Incident
“To whomsoever I have been a master, this `Ali is [henceforth] his master; O Lord! Befriend whoever befriends him, and be the enemy to whoever antagonizes him.”
source: http://al-islam1.org/murajaat/54.htm
Penulis Syiah dari artikel tersebut telah dengan jelas menyatakan bahwa dalam rangka untuk mencari tahu apa makna dari “mawla”, kita memerlukan petunjuk dari sisi konteks kalimatnya. Dan ia menunjukkan kepada kami kalimat berikutnya di mana Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mengatakan: “Ya Allah! Bertemanlah dengan siapa yang berteman dengan dia, dan menjadilah musuh kepada siapapun yang memusuhi dia. “.

Ini adalah hujjah (bukti) kuat terhadap klaim Syiah! Kata yang digunakan adalah “berteman” atau “mencintai” yang berarti bahwa mawla dalam konteks ini sedang digunakan untuk merujuk kepada “sahabat tercinta”. Adalah jelas dari sini bahwa “mawla” di sini menunjuk pada cinta dan kedekatan hubungan, bukan Khilafah dan Imamah. Muwalat (cinta) adalah lawan kata dari Mu`adat (permusuhan). Definisi kata “mawla” inilah yang paling masuk akal sesuai konteksnya, karena Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) segera mengatakan “Ya Allah, menjadilah teman dengan siapa saja yang berteman dengan dia dan menjadilah musuh dengan siapa saja yang memusuhi dia.”

Bagaimana bisa diterjemahkan dengan makna lain ketika kita harus mempertimbangkan bahwa tambahan kalimat berikutnya adalah tentang berteman dengan dia, bukan tentang diperintah oleh dia atau sesuatu yang seperti itu? Hal ini sebenarnya sulit dipercaya bahwa Syiah bisa menerjemahkan kata itu dengan makna Khilafah dan Imamah ketika konteksnya tidak ada hubungannya dengan itu.

Adapun bagian ini:

The Thaqalayn Muslim Association says
“This prayer shows that ‘Ali, on that day, was entrusted with a responsibility which, by its very nature, would make some people his enemy; and in carrying out that responsibility he would need helpers and supporters.
source: http://www.utm.thaqalayn.org/files/ghadeer.pdf
Hal di atas hanyalah semata-mata dugaan dan imajinasi Syiah saja. Imajinasi Syiah telah dikenal tidak mengenal batas dan dia (Syiah) dapat membaca (mereka-reka?) suatu teks sesuatu hal yang menakjubkan. Seolah-olah Syiah memiliki jenis kemampuan khusus atau kacamata super yang hanya dia yang dapat membaca apa yang manusia normal tidak bisa membacanya, dan ini adalah sepasang kacamata yang dia gunakan ketika membaca baik ayat-ayat Al-Quran maupuan Hadits. Mungkin alien dari Mars yang akan menyerang dan mereka membenci Ali (رضى الله عنه), jadi karena inilah Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mengatakan ini! Dan lihatlah, tulisan kata “alien” yang memiliki kata “Ali” di dalamnya! Syiah lupa pada fakta sebelumnya bahwa para sahabat yang menjadi pasukannya telah tunduk kepada komnado Ali ketika menyerang Yaman dan berhasil. Jadi tidak ada sama sekali kebencian terhadap kepemimpinannya, tetapi kebencian kepada Ali muncul akibat kebijakannya terhadap harta rampasan perang.

Tidak ada perlunya menanggapi tebakan dan dugaan Syiah tersebut ketika kita sudah tahu mengapa Ali (رضى الله عنه) memiliki banyak musuh. Ada beberapa riwayat tentang bagaimana Ali (رضى الله عنه) telah marahi tentaranya dengan mengambil kembali barang-barang rampasan perang mereka dan orang-orang ini mengeluhkan tentang Ali (رضى الله عنه). Dalam suasana seperti itulah Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) ingin membela Ali (رضى الله عنه) dan mendesak orang-orang untuk mencintai dan berteman dengan Ali (رضى الله عنه) karena Ali (رضى الله عنه) harus dicintai oleh seluruh umat Islam, dan memang semua Ahlus Sunnah mencintai Ali (رضى الله عنه) sampai hari ini.

Sejauh gagasan yang tidak masuk akal yang mengatakan bahwa teman itu bukanlah penolong, maka kami bertanya-tanya, teman seperti apa yang dipunyai oleh penulis Syiah ini? Bagian yang sangat penting dari persahabatan/ pertemanan adalah berkisar sekitar menolong, memberikan dukungan, dll. Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mengatakan dalam banyak hadits bahwa Muslim harus menolong saudara-saudara, teman, tetangga, mereka dll.

The Thaqalayn Muslim Association says
“Third: The declaration of the Holy Prophet that: “It seems imminent that I will be called away (by Allah) and I will answer that call.” This clearly shows that he was making arrangements for the leadership of the Muslims after his death.
source: http://www.utm.thaqalayn.org/files/ghadeer.pdf
Bagaimana bisa jelas? Hal itu tidak jelas sama sekali. Jika Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) bermaksud seperti itu, lalu kenapa dia tidak (صلى الله عليه وآله وسلم) mengatakan hal itu? Mengapa harus Syiah yang menjadi juru bicara Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) yang selalu mengatakan kepada kita bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) bermaksud begini dan begitu meskipun Nabi hanya berkata begini dan begitu? Tentunya, Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) bisa saja mengatakan “Saya akan mati dan karena itu saya khawatir tentang siapa yang akan menjadi penerus saya dan inilah sebabnya mengapa saya mencalonkan Ali untuk menjadi khalifah sesudah aku.” Namun sebaliknya, kita harus menebak dan percaya kepada Syiah bahwa inilah apa yang benar-benar Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) maksudkan, dan kita semua tahu bagaimana kreatifitas imajinasi Syiah ini.

Bantahan terhadap klaim Syiah ini adalah pada kenyataannya bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mengatakan sesuatu yang mirip di atas dalam Khotbah Perpisahan di puncak Gunung Arafat, yang memulai pidatonya dengan mengatakan:
“Wahai manusia, pinjamkan kepada saya telinga dengan penuh perhatian, karena saya tidak tahu apakah setelah tahun ini, saya masih akan ada di antara kalian lagi.” (Baihaqi)
Namun, setelah itu Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) sama sekali tidak menyebutkan kepemimpinan kaum muslimin dalam pidato tersebut. Jadi kami melihat bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) telah mengemukakan kata pendahuluan tersebut karena ia akan meninggal, dan ini tidak berarti bahwa ia sedang berbicara tentang kepemimpinan. Bahkan, Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) khawatir tentang keluarganya setelah kematiannya, ini adalah emosi dan kekhawatiran manusia normal. Setiap orang dari kita akan khawatir tentang apa yang akan terjadi pada anak-anak, istri atau kerabat dekat kita setelah kita mati. Ini adalah kekhawatiran umum ketika manusia di ranjang kematian mereka. Dan kekhawatiran dalam kasus Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) ini meningkat karena ada Muslim tertentu yang mengkritik dan (secara emosional) menyakiti sepupunya.

The Thaqalayn Muslim Association says
“Fourth: The congratulations of the Companions and their expressions of joy do not leave room for doubt concerning the meaning of this declaration.
source: http://www.utm.thaqalayn.org/files/ghadeer.pdf
Kami telah membahas hal ini sebelumnya. Syiah sebelumnya mengklaim bahwa Allah telah menurunkan ayat 5:67 untuk mendorong Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mencalonkan Ali (رضى الله عنه) tanpa rasa takut akan gangguan dari orang-orang:
”Hai Nabi! Wartakan pesan yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak, maka kamu tidak memenuhi dan menyatakan risalah-Nya. Allah akan melindungi kamu dari (gangguan) manusia. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir ” (Quran, 5:67).
Dan Syiah mengatakan bahwa para sahabat adalah orang-orang pertama-tama menentang pencalonan Ali (رضى الله عنه). Namun sekarang, artikel tersebut mengklaim bahwa para sahabat telah “mengekspresikan rasa sukacita”. Apakah ini tidak kontradiktif? Jika orang-orang dan para sahabat begitu menentang pencalonan Ali sehingga Allah telah menurunkan sebuah ayat Al-Quran mengenai hal ini, maka mengapa mereka
mengucapkan selamat kepada Ali (رضى عنه الله) dan dengan “ekspresi sukacita”? Ini sungguh kontradiksi yang sangat besar, tetapi tak diragukan lagi itu adalah hasil tak terelakkan untuk melanjutkan setiap argumen – tidak peduli seberapa palsunya – dalam rangka memperkuat argumen seseorang. Apa yang terjadi adalah bahwa propagandis Syiah melakukan hal seperti ini begitu sering, ia lupa argumen sebelumnya dan tanpa disengaja terdapat dua klaim yang saling bertentangan.

Sungguh aneh bagaimana Syiah mencoba untuk mengecilkan kebesaran dari pernyataan sebagai “sahabat tercinta”: kami sering melihat Syiah yang mengatakan hal-hal seperti “tentu tidak mungkin berarti ‘hanya sekedar teman’”. Kami tidak mengerti apa yang mereka maksudkan dengan “hanya sekedar“ teman. Pertama-tama, bukan teman lama, tetapi teman tercinta, menunjukkan kasih sayang dan cinta yang mendalam. Nabi Ibrahim (عليه السلام) disebut sebagai “Khaleel-Allah” yang berarti “sahabat Allah” dan julukan ini diberikan kepadanya oleh Allah. Ini adalah julukan istimewa besar, dan tak seorang pun akan berkata “hanya sekedar teman” di sini. Dinyatakan sebagai sahabat Allah bukanlah hal yang kecil, dan juga bukan suatu hal yang kecil/ remeh disebut sebagai “kekasih ummat”.

The Thaqalayn Muslim Association says
“…only to announce to them that ‘Ali ibn Abi Talib was his “friend.”
Such a claim is yet more absurd when one considers the fact that ‘Ali already had an exalted status in comparison with the other Muslims.
source: http://www.utm.thaqalayn.org/files/ghadeer.pdf
Benar, bahwa Ali (رضى الله عنه) telah memiliki status mulia, tetapi adalah hal yang konyol jika mengatakan bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) hanya dapat memuji seseorang sekali atau dua kali.

Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) meninggikan status Umar (رضى الله عنه) pada berbagai kesempatan, namun kita tidak akan pernah menemukan salah satu dari Sunni yang meragukan keaslian pujian Nabi hanya karena ia telah memuji sebelumnya. Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) sering memuji kepada orang-orang layak menerima pujian, dan Ali (رضى الله عنه) adalah salah satu individu tersebut. Dan meskipun Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) telah meninggikan Ali (رضى الله عنه) dalam berbagai cara dan kesempatan sebelumnya, maka di sini ia memberinya kehormatan menjadi dicintai umat.

Selain dari itu, kejadian ini harus dilihat dalam konteks yang sesuai. Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) menanggapi kelompok tertentu yang membenci Ali (رضى الله عنه) dan menjadi musuh-musuhnya. Menanggapi kejadian ini, Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mendesak umat Islam untuk mencintai Ali (رضى الله عنه). Oleh karena itu, apa yang dikatakan di Ghadir Khum harus diletakkan pada konteksnya: seandainya Sahabi lain telah dihina dan dibenci, maka kemungkinan Nabi akan memberikan pidato seperti itu juga untuk Sahabi tersebut. Hal ini tentu saja tidak dapat ditafsirkan sebagai bukti untuk Imamah atau Khilafah dari Sahabi tersebut.

Al-Islam.org says
“Number of Companions in Ghadir Khumm
Allah ordered His Prophet [s] to inform the people of this designation at a time of crowded populous so that all could become the narrators of the tradition, while they exceeded a hundred thousand.
Narrated by Zayd b. Arqam: Abu al-Tufayl said: “I heard it from the Messenger of Allah [s], and there was no one (there) except that he saw him with his eyes and heard him with his ears.”
source: http://al-islam1.org/murajaat/54.htm
Syiah sering membawa narasi ini untuk membuktikan entah bagaimana bahwa semua Muslim seolah-olah hadir di Ghadir Khum. Namun, kami mendesak para pembaca untuk tidak bias ketika melihat teks yang hanya mengatakan: “tidak ada seorangpun (di sana) kecuali bahwa ia melihat dia dengan matanya dan mendengarkan dia dengan telinganya.” Sederhananya adalah bahwa semua yang hadir di Ghadir Khum mendengar Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mengatakan apa yang ia katakan tentang Ali (رضى الله عنه). Kami sudah sepakat bahwa orang-orang di Ghadir Khum sedang diberi arahan oleh Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم), tetapi masalahnya adalah bahwa hanya sebagian kecil dari kaum muslimin yang melewati Ghadir Khum pada hari itu.



PENDIRIAN CUCU ALI, AL-HASAN BIN HASAN BIN ALI BIN ABI THALIB (رضى الله عنه)

Diriwayatkan dalam “Al-Tabaqat Al-Kubra” Ibnu Saad :

Seorang Rafidhi (orang yang menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar) berkata kepadanya (Al-Hasan bin Hasan), “Bukankah Rasulullah berkata kepada Ali:
‘Jika saya mawla seseorang, Ali adalah mawla-nya?” “

Dia (Al Hasan) menjawab, “Demi Allah, jika ia bermaksud bahwa hal itu adalah kepemimpinan dan pemerintahan, maka semestinya dia akan lebih eksplisit kepada kamu dalam menyatakan hal itu, sama seperti ketika ia secara eksplisit kepada kamu tentang Salat, zakat dan ibadah haji ke Rumah suci. Ia semestinya akan mengatakan kepada kamu, ‘Wahai manusia! Ini adalah pemimpin kamu setelah saya ‘Rasulullah memberikan nasihat terbaik kepada orang-orang (yaitu dengan arti yang jelas).. “
(Sumber: Al-Tabaqat Al-Kubra, Volume 5)



Pujian serupa untuk sahabat yang lain.

Fakta bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) menunjuk Ali (رضى الله عنه) sebagai “mawla” (teman tercinta) tidak dapat digunakan sebagai bukti pencalonan Ali (رضى الله عنه) oleh Nabi sebagai khalifah. Banyak sahabat lain yang dipuji dengan cara yang serupa, namun tidak seorang pun memahami kalimat tersebut bermakna bahwa sahabat lain ditetapkan secara ilahiah sebagai Imam yang tidak bersalah. Mari kita ambil contoh Hadis mengenai dengan Umar bin Al-Khattab (رضى الله عنه).

Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) berkata: “Kebenaran, setelah saya, adalah dengan Umar dimanapun dia berada” (HR. ibn Abbas)

Namun, tidak ada yang menggunakan hadits ini untuk mengatakan bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mencalonkan Umar (رضى الله عنه) sebagai penggantinya, bahkan Umar (رضى الله عنه) sendiri tidak menafsirkan seperti itu, dan dia sendiri yang dicalonkan oleh Abu Bakar (رضى الله عنه) untuk menjadi khalifah penggantinya. Dalam hadis lain, kami membaca:

Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) berkata: “Jika seorang Nabi menggantikan saya, maka itu adalah Umar ibn al-Khattab.” (Sunan al-Tirmidzi)

Jika seandainya hadis di atas tentang Ali (رضى الله عنه), tentu Syiah akan mengutipnya di kiri, kanan, dan tengah, tetapi pemahaman yang rasional Ahlus Sunnah tetap mempertimbangkan berbagai hadis lain di mana Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) memuji banyak sahabat dengan berbagai cara. Ini semua adalah bukti untuk meninggikan sahabat tetapi hadits-hadits tersebut tidak berarti pencalonan Nabi untuk kekhalifahan dan hadits-hadits tersebut tidak bermakna pengangkatan secara ilahiah oleh Allah. Dalam hadis lain, kami membaca:

Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) berkata: “Yang pertama yang padanya kebenaran akan berjabat tangan dengan Umar …” (diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’b)

Dan dalam hadis lain, kami membaca:

Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) berkata: “Terdapat bangsa-bangsa sebelum kamu yang terinspirasi, dan jika ada satu diantara umatku maka ia adalah Umar.” (Riwayat Abu Hurrairah)


Oleh karena itu, berdasarkan Hadis ini dan banyak Hadis serupa lainnya yang dikatakan kepada sahabat lain, kami melihat bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) memanggil Ali (رضى الله عنه) menjadi “mawla” (teman tercinta) bukan merupakan pencalonan Nabi untuk menjadi Khilafah, karena orang lain juga dipuji dengan cara serupa.

Nyatanya, apa yang Syiah lakukan adalah menolak semua Hadis yang terkait dengan orang-orang yang tidak mereka sukai dan hanya menerima hadits-hadits yang terkait dengan Ali (رضى الله عنه). Apa yang agak lucu dan aneh adalah bahwa Syiah tidak peduli untuk memeriksa Isnad, tetapi bagi Shia suatu Hadis akan otentik jika berisi pujian kepada Ali (رضى الله عنه) dan suatu hadits adalah palsu jika memuji sahabat lainnya. Ini adalah “ilmu” Hadits dari Syiah, dan memang tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Syiah akan menerima suatu hadits dengan perawi Mickey Mouse jika memuji Ali (رضى الله عنه), dan mereka akan menolak hadits yang diriwayat melalui Ali (رضى الله عنه) jika hadits itu memuji Abu Bakar (رضى الله عنه), Umar (رضى الله عنه), dll


Sekarang mari kita lihat kalimat selanjutnya pada Hadits tersebut, yaitu sebagai berikut:

Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) berkata: “Jadikan teman siapa saja yang berteman dengan dia (yaitu Ali), dan musuhi siapa saja yang berlawanan dengan dia.

Syiah akan menggunakan hadits ini untuk mengkritik para sahabat yang berbeda berpendapat dengan Ali (رضى الله عنه), namun apakah mereka tidak tahu bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) juga pernah mengatakan hal serupa kepada sahabat lainnya? Sebagai contoh, kami membaca Hadis berikut:

Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) berkata: “Siapa pun yang marah dengan Umar berarti marah dengan saya. Barangsiapa mengasihi Umar berarti mencintaiku” (At-Tabrani).


Bahkan, Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) mengatakan hal ini tidak hanya tentang Ali (رضى الله عنه) dan Umar (رضى الله عنه), tetapi tentang semua sahabatnya:

Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) berkata:
“Allah, Allah! Takut kepada-Nya sehubungan dengan sahabat saya! Jangan membuat mereka sebagai target setelah aku! Barangsiapa mencintai mereka (berarti) mengasihi mereka dengan cintanya bagi saya, dan barangsiapa membenci mereka (berarti) membenci mereka dengan kebenciannya bagi saya. Barangsiapa membawa permusuhan kepada mereka, (berarti) membawa permusuhan kepada saya, dan barangsiapa membawa permusuhan kepada saya, (berarti) membawa permusuhan kepada Allah. Barangsiapa membawa permusuhan kepada Allah akan binasa!”. (Diriwayatkan dari Abdallah ibn Mughaffal oleh Al-Tirmidzi, oleh Ahmad dengan tiga rantai baik dalam Musnad-nya, al-Bukhari dalam Tarikh-nya, al-Baihaqi dalam Shu`ab al-Iman dan lain-lain. Al-Suyuti menyatakan hadits tersebut hasan di Jami `al-Saghir # 1442).

Kata perpisahan

Syiah telah menjauhkan peristiwa Ghadir Khum dari konteksnya. Hadis Ghadir Khum tidak ada hubungannya sama sekali dengan Imamah atau Khilafah, dan jika tidak demikian, maka tidak ada yang menghalangi Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) untuk menyatakan dengan jelas dari pada menggunakan kata “mawla” yang dikenal oleh semua orang bermakna “sahabat tercinta”.

Lebih-lebih lagi, Ghadir Khum terletak 250 km dari Mekah: jika Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) bermaksud untuk mencalonkan Ali (رضى الله عنه) maka semestinya dia akan melakukan hal itu pada pertemuan yang lebih besar di puncak Gunung Arafat selama Khotbah Perpisahan di depan semua kaum muslimin dari setiap penjuru kota.

Paradigma Syiah secara keseluruhan didasarkan pada ide sekilas dan mudah disangkal bahwa Ghadir Khum adalah lokasi sentral di mana semua umat Islam akan berkumpul bersama sebelum berpisah dan pergi ke rumah masing-masing. Padahal, hanya Muslim yang menuju ke Madinah yang akan melewati Ghadir Khum, bukan Muslim yang tinggal di Mekah, Taif, Yaman, dll.

Ratusan tahun yang lalu, massa Syiah dengan mudah bisa saja disesatkan karena banyak dari mereka tidak mempunyai peta untuk memeriksa di mana Ghadir Khum ini dan mereka hanya akan menerima mitos umum bahwa Ghadir Khum adalah tempat pertemuan bagi umat Islam sebelum mereka berpisah. Namun pada hari ini, di era informasi dan teknologi, peta yang akurat ada kentikan jari kita dan tidak ada orang yang berakal bisa dibodohi oleh mitos Syiah.

Kami telah menunjukkan bahwa Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) tidak mencalonkan Ali (رضى الله عنه) di Ghadir Khum sebagaimana klaim Syiah. Ini adalah pondasi keyakinan Syi’ah, yang tanpanya iman mereka tidak memiliki dasar apapun: jika Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) tidak mencalonkan Ali (رضى الله عنه) menjadi khalifah, maka Syiah tidak bisa lagi mengklaim bahwa Abu Bakar (رضى الله عنه) atau Sunni merebut penunjukan ilahiah penugasan Ali (رضى الله عنه). Dan dengan itu, seluruh paham Syi’ah runtuh dengan sendirinya, karena jarak 250 km yang tidak diperhitungkan oleh Syiah yang memisahkan Ghadir Khum dari Mekah, telah memisahkan Syi’ah dari kebenaran.

Artikel ini saya terjemahan secara bebas dan ada yang diringkas dari artikel aslinya yang ditulis oleh: Ibn al-Hashimi, di www.ahlelbayt.com

http://muslimsaja.wordpress.com/2011/05/15/hadits-ghadir-khum/

sumber :Shi'ah Malaysia.blogspot


artikel berkaitan :

Syi'ah pembunuh Sayyidina Husain Di Karbala

kisah-sebenar-fatimah-dan-tuntuta-tanah fada.

Fitnah syi'ah terhadab Abu Bakar berkaitan dengan tuntutan tanah fada