Pages

Tuesday, October 30, 2012

SOLAT JUMAAT PADA HARI RAYA



SOLAT JUMAAT
PADA HARI RAYA

Jika Eid ( Hari Raya ) jatuh pada hari Jumaat, apakah hukumnya solat Jumaat ? Untuk menjawapnya saya bawakan pandangan Panitya Tetap Pembahasan Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia. (Ringasannya seperti berikut) :

Terdapat paling kurang lapan riwayat yang sahih tentang kedudukan solat Jumaat bagi sesiapa yang sudah melakukan solat Eid pada paginya. Jika disimpulkan maka dapatlah diambil kesimpulan seperti berikut :

1. Bagi sesiapa yang sudah melakukan solat Eid pada paginya tidak wajib melakukan solat Jumaat dan cukup baginya melakukan solat Zuhur jika masuk waktu Zuhur. Tetapi jika ia ingin juga melakukan Jumaat maka itu adalah lebih afdhal atau lebih baik.

2. Sesiapa yang tidak ikut solat Eid maka tiada rukhsah (keringanan) baginya meninggalkan solat Jumaat. Oleh itu ia wajib pergi segera melakukan solat Jumaat. Dan jika tiada solat Jumaat di kawasannya dan tidak mencukupi bilangan, maka barulah ia melakukan Zuhur.

3. Wajib ke atas imam menghadiri solat Jumaat untuk membolehkan solat Jumaat dilakukan bagi yang luput solat Eid. Kecuali jika bilangtan peserta jumaat tidak mencukupi bilangan maka ketika itu hanya perlu solat Zuhur.

4. Adapun pendapat yang mendakwa bagi sesiapa yang sudah solat Eid, maka TIDAK WAJIB baginya solat Jumaat dan juga tidak wajib baginya solat Zuhur adalah pandangan yang SALAH. Besar kemungkinan tidak sampai kepada mereka hadis dan athar yang sahih dari Nabi dan para sahabat.

Diantara lapan riwayat di atas ialah Hadis Abu Hurairah bahawa Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya telah berkumpul pada hari kamu ini, Dua Hari Raya (Hari Raya dalam seminggu yakni Jumaat dan Hari Raya dalam satu tahun yakni Eid Al-Fitriy / Eid Al-Adha), barangsiapa yang ingin melakukan solat Jumaat maka hendaklah ia melakukan solat Jumaat.

(HR Ahmad, Abu Daud, Al-Nasai, Ibnu Majah, Al-Daramiy, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak ; Katanya : Hadis Sahih ; Dipersetuji oleh Al-Dzahabiy dan Imam Al-Nawawiy berkata di dalam kitabnya Al-Majmu' : Sanad hadis ini jayyid (bagus).

Ungkapan : Barangsiapa dalam hadis di atas membawa makna ada rukhsah (kelonggaran) atau hukumnya tidak wajib.

Demikianlah pandangan Panitya Tetap Pembahasan Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia. Atas nama-nama berikut : Syeikh Bakar Bin Abdullah Abu Zaiyd ; Syeikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Bazz Ali Syeikh ; Syeikh Abdullah Bin Abdul Rahman Al-Ghayyan ; Syeih Saleh Fauzan Al-Fauzan.
-
  by Abdullah Yasin on Friday, October 26, 2012

Tanda Khusnul Khatimah



Meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan husnul khatimah merupakan dambaan setiap insan yang beriman, karena hal itu sebagai bisyarah, kabar gembira dengan kebaikan untuknya.

Al-Imam Al-Albani t menyebutkan beberapa tanda husnul khatimah dalam kitabnya yang sangat bernilai Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha. Berikut ini kami nukilkan secara ringkas untuk pembaca yang mulia, disertai harapan dan doa kepada Allah k agar kita termasuk orang-orang yang mendapatkan husnul khatimah dengan keutamaan dan kemurahan dari-Nya. Amin!

Pertama: mengucapkan syahadat ketika hendak meninggal, dengan dalil hadits Mu’adz bin Jabal z, ia menyampaikan dari Rasulullah n:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Siapa yang akhir ucapannya adalah kalimat ‘La ilaaha illallah’ ia akan masuk surga.” (HR. Al-Hakim dan selainnya dengan sanad yang hasan1)

Kedua: meninggal dengan keringat di dahi.

Buraidah ibnul Hushaib z ketika berada di Khurasan menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Didapatkannya saudaranya ini menjelang ajalnya dalam keadaan berkeringat di dahinya. Ia pun berkata, “Allahu Akbar! Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِيْنِ
“Meninggalnya seorang mukmin dengan keringat di dahi.” (HR. Ahmad, An-Nasa`i, dll. Sanad An-Nasa`i shahih di atas syarat Al-Bukhari)

Ketiga: meninggal pada malam atau siang hari Jum’at, dengan dalil hadits Abdullah bin ‘Amr c, beliau menyebutkan sabda Rasulullah n:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi. Hadits ini memiliki syahid dari hadits Anas, Jabir bin Abdillah g dan selain keduanya, maka hadits ini dengan seluruh jalannya hasan atau shahih)

Keempat: syahid di medan perang. Allah k berfirman:
“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171)

Dalam hal ini ada beberapa hadits:
1. Rasulullah n bersabda:
لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ
Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih)

2. Salah seorang sahabat Rasulullah n mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau n menjawab:
كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً
Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang
shahih)

Kelima: meninggal di jalan Allah k.
Abu Hurairah z menyampaikan sabda Rasulullah n:
مَا تَعُدُّوْنَ الشَّهِيْدَ فِيْكُمْ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ. قَالَ: إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيْلٌ. قَالُوْا: فَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فيِ الطَّاعُوْنَ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terhitung syahid menurut anggapan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Beliau menanggapi, “Kalau begitu, syuhada dari kalangan umatku hanya sedikit.” “Bila demikian, siapakah mereka yang dikatakan mati syahid, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit tha’un2 maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit perut maka ia syahid, dan siapa yang tenggelam ia syahid.” (HR. Muslim)

Keenam: meninggal karena penyakit tha’un. Selain disebutkan dalam hadits di atas juga ada hadits dari Anas bin Malik z, ia berkata, “Rasulullah n bersabda:
الطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
“Tha’un adalah syahadah bagi setiap muslim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Aisyah x pernah bertanya kepada Rasulullah n tentang tha’un, maka Rasulullah n mengabarkan kepadanya:
إِنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلىَ مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُوْنُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ
“Tha’un itu adalah adzab yang Allah kirimkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Maka Allah jadikan tha’un itu sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Siapa di antara hamba (muslim) yang terjadi wabah tha’un di tempatnya berada lalu ia tetap tinggal di negerinya tersebut dalam keadaan bersabar, dalam keadaan ia mengetahui tidak ada sesuatu yang menimpanya melainkan karena Allah telah menetapkan baginya, maka orang seperti ini tidak ada yang patut diterimanya kecuali mendapatkan semisal pahala syahid.” (HR. Al-Bukhari)

Ketujuh: meninggal karena penyakit perut, karena tenggelam, dan tertimpa reruntuhan, berdasarkan sabda Rasulullah n:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Syuhada itu ada lima, yaitu orang yang meninggal karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah z)

Kedelapan: meninggalnya seorang ibu dengan anak yang masih dalam kandungannya, berdasarkan hadits Ubadah ibnush Shamit z. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah n menyebutkan beberapa syuhada dari umatnya di antaranya:
الْمَرْأَةُ يَقْتُلُهَا وَلَدُهَا جَمْعَاءَ شَهَادَةٌ، يَجُرُّهَا وَلَدُهَا بِسَرَرِهِ إِلَى الْجَنَّةِ
“Wanita yang meninggal karena anaknya yang masih dalam kandungannya adalah mati syahid, anaknya akan menariknya dengan tali pusarnya ke surga.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, dan Ath-Thayalisi dan sanadnya shahih)
Kesembilan: meninggal dalam keadaan berjaga-jaga (ribath) fi sabilillah.
Salman Al-Farisi z menyebutkan hadits Rasulullah n:
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ، وَأًُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتّاَنَ
“Berjaga-jaga (di jalan Allah) sehari dan semalam lebih baik daripada puasa sebulan dan shalat sebulan. Bila ia meninggal, amalnya yang biasa ia lakukan ketika masih hidup terus dianggap berlangsung dan diberikan rizkinya serta aman dari fitnah (pertanyaan kubur).” (HR. Muslim)

Kesepuluh: meninggal dalam keadaan beramal shalih.
Hudzaifah z menyampaikan sabda Rasulullah n:
مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ الله ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Siapa yang mengucapkan La ilaaha illallah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang berpuasa sehari karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang bersedekah dengan satu sedekah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad, sanadnya shahih)
Kesebelas: meninggal karena mempertahankan hartanya yang ingin dirampas orang lain. Rasulullah n bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia syahid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr c)
Abu Hurairah z berkata: Datang seseorang kepada Rasulullah n, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu bila datang seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Ia bertanya lagi, “Apa pendapatmu jika orang itu menyerangku?” “Engkau melawannya,” jawab beliau. “Apa pendapatmu bila ia berhasil membunuhku?” tanya orang itu lagi. Beliau menjawab, “Kalau begitu engkau syahid.” “Apa pendapatmu jika aku yang membunuhnya?” tanya orang tersebut. “Ia di neraka,” jawab beliau. (HR. Muslim)

Keduabelas: meninggal karena membela agama dan mempertahankan jiwa/membela diri.
Rasulullah n pernah bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang meninggal karena mempertahankan hartanya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela keluarganya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela agamanya maka ia syahid, dan siapa yang meninggal karena mempertahankan darahnya maka ia syahid.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, dan At Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid z dan sanadnya shahih)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


1 Penghukuman hadits ini dari Asy-Syaikh Al-Albani t dalam kitab yang sama.
2 Satu pendapat menyebutkan bahwa tha’un adalah luka-luka semacam bisul bernanah yang biasa muncul di siku, ketiak, tangan, jari-jari dan seluruh tubuh, disertai dengan bengkak serta sakit yang sangat. Luka-luka itu keluar disertai rasa panas dan menghitam daerah sekitarnya, atau menghijau ataupun memerah dengan merah lembayung (ungu) yang suram. Penyakit ini membuat jantung berdebar-debar dan memicu muntah. (Lihat Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 14/425)
Penjelasan lain tentang tha’un bisa dilihat dalam Fathul Bari, 10/222,223) -pent.
 
 
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
 

Monday, October 29, 2012

MUKJIZAT AL-QUR’AN TENTANG SAKARATUL MAUT



 


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَاكُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ
” Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya.Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.” (QS. Qaaf: 19)

Sakaratul Maut Sebagai Sebuah Fakta Ilmiah

Para ilmuwan telah menemukan bahwa gejala kematian mirip dengan gejala orang yang mabuk, dan ini adalah suatu hal yang diungkapkan oleh Al-Quran, dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: سكرة الموت (sakaratul maut)

Para ilmuwan telah melakukan penelitian dalam waktu yang lama tentang misteri kematian dan keabadian. Akan tetapi mereka tidak mendapatkan hasil yang ilmiah hingga saat ini. Dan semua orang yang meninggal pun tidak kembali lagi ke dunia, sehingga mereka bisa memberitahu kepada kerabat dan teman-teman mereka tentang peristiwa yang mereka alami.

Akan tetapi Al-Qur’an al-Karim mengabarkan kepada kita dengan sangat terperinci (detail) tentang saat kematian dan apa yang terjadi berupa perubahan-perubahan dalam tubuh.

Namin, sebelum itu, biarkalah kami bertanya:”Apa yang diungkap oleh para ilmuwan baru-baru ini tentang rahasia saat kematian?"

Gejala Mendekati Saat Kematian

Ada sejumlah perubahan fisik yang terjadi pada seseorang di detik-detik terkahir kematiannya. Yaitu dinginnya ujung-ujung anggota badan, rasa lemah, kantuk dan kehilangan kesadaran, dan hampir tidak dapat membedakan sesuatu.

 Dan disebabkan kurangnya pasokan oksigen dan darah yang mencapai otak, ia menjadi bingung dan berada dalam keadaan delirium (delirium: gangguan mental yg ditandai oleh ilusi, halusinasi, ketegangan otak, dan kegelisahan fisik), dan menelan air liur menjadi lebih sulit, serta aktivitas bernafas lambat. Penurunan tekanan darah menyebabkan hilangnya kesadaran, yang mana seseorang merasa lelah dan kepayahan.


Gejala Mabuk

Sesungguhya minuman-minuman yang memabukkan (beralkohol) secara umum, seperti khomr (arak - minuman keras) menyebabkan perubahan kimia otak, sehingga manusia menjadi bingung dan tidak mampu membuat keputusan.

Dan ia juga mengalami dehidrasi dikarenakan hilangnya sejumlah besar cairan tubuh. Alkohol berpengaruh pada otak kecil (yang mengendalikan keseimbangan tubuh), sehingga menjadikan manusia (yang meminumnya) kehilangan kontrol terhadap gerakan mata. Konsumsi tinggi terhadap alkohol menyebabkan haus, kantuk, kehilangan kesadaran, pusing, bingung dan bahkan hilang ingatan sementara waktu.


Ketepatan  Permisalan (majas metafora) Yang Digunakan Al-Qur’an

Sesungguhnya perbandingan/penyerupaan antara kondisi orang yang berada di ambang kematian dengan orang yang mabuk berat sangat adalah tepat (akurat) sekali, yang mana masing-masing dari keduanya mendapatkan masalah dalam ingatannya (memori), ketidak jelasan dalam penglihatannya dan kurangnya keseimbangan dalam denyut jantung dan kondisi tubuh secara umum.

Maka apakah di dalam al-Qur’an ada sesuatu yang mengungkapkan fakta ini?

Al-Qur’an telah menggunakan ungkapan: “sakratul maut” (kata sakr dalam bahasa Arab berarti “mabuk karena minuman keras”) dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَاكُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ {19}
Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.” (QS. Qaaf: 19)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merasakan sakaratul maut ini pada detik-detik menjelang wafat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, dalam keadaan beliau berada di atas pembaringannya:
(إن للموت لسكرات)
”Sesungguhnya setiap kematian itu ada sekaratnya.” (HR. Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir)

Maka sakaratul maut (sakratul maut) adalah fakta ilmiah yang diungkap oleh para ilmuwan hari-hari ini.

Lantas siapakah yang memberi tahu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang fakta ilmiah ini?

 http://blog.bursamuslim.com/mukjizat-al-quran-tentang-sakaratul-maut/
 

Sumber : http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatmujizat&id=223

Malcolm X, his struggle...


 February 22, 2010

Today marks the 45th anniversary of the death of a great man. On February 21, 1965, El-Hajj Malik El-Shabazz, better known as Malcolm X was assassinated in New York. 


His death was a tremendous loss for many communities, especially the Muslim community in America & the West. 
  
 Although Malcolm died 45 years ago, his ideas, ideals, and inspirational struggle still impacts us all. May Allah shower him with mercy and be pleased with him.

 I will leave you with one of his quotes which I really love: 

"Nobody can give you freedom. Nobody can give you equality or justice or anything. If you're a man, you take it."


TAHLILAN, YASINAN DAN KENDURI ARWAH DAN BERSEDEKAHKAN AL FATIHAH KEPADA ORANG YANG TELAH MATI

TAHLILAN, YASINAN DAN KENDURI ARWAH DAN BERSEDEKAHKAN AL FATIHAH KEPADA ORANG YANG TELAH MATI
 
Saya perasan bahawa ramai di kalangan umat Islam di Singapura sering mengamalkan tahlilan , yasinan , kenduri arwah dan bersedekahkan al fatihah kepada orang
yang telah mati. Mereka membuat klaim bahawa mereka ini penganut madzhab Imam asy-Syafi'i rahimahullah . Ramai Ustadz Ustadz di Singapura ini juga yang membuat klaim bermadzhab Imam Syafi'i dan turut mengamalkan perkara perkara tersebut. Akan tetapi apa yang ada di dalam madzhab asy- Syafi'i tidak seperti apa yang dikatakan oleh mereka. Saya akan memberi bukti dan dalil dari perkataan Imam Syafi'i rahimahullah dan juga 'Ulama2 terbesar madzhab Asy Syafi'i yang membantah amalam amalan tersebut.
 
Di dalam kitab I’anatu at-Talibin juz 2. hlm. 146, Imam Syafi'i berkata : “Dan dilarang menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan”.
 
“Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul dirumah keluarga si Mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar”. (Lihat: I’anatu at-Talibin juz 2 hlm. 145)
 
Di dalam kitab I’anatu at-Talibin jld. 2. hlm. 146 dan di halaman 147, Imam Syafie berkata :'“Dibenci bertetamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah”.
 
“Antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat pulu harinya) pada hal semuanya ini adalah haram”.
 
Imam Asy-Syairaziy As-Syafie, beliau berkata: “Dibenci berkumpul (di rumah si Mati) dengan alasan untuk takziyah, kerana itu adalah mengada-adakan yang baru, sedangkan mengada-adakan yang baru itu adalah bid’ah”. (Al-Majmu Syarah Muhazzab, hlm. 305-306)
 
al-Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan menukil: “Tidak diragukan lagi bahawa mencegah manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah, membuka banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu keburukan, (jika dibiarkan bid’ah) setiap orang akan terdedah kepada kemungkaran sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram”. (I’anatu at-Talibin juz 2. hlm. 145-146)
 
Imam Nawawi, Imam Ibn Kathir, Imam ar-Ramli mereka menukil fatwa Imam as-Syafie: "Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan – makruh pada kalam as-Syafie adalah haram) makan, iaitu berkumpul di rumah (si Mati) walaupun bukan untuk tangisan (ratapan)".
 
Imam Ibn Hajar al-Asqalani(Penulis Fathul Bari): "Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si Mati dan berkumpul beramai-ramai di rumah (si Mati) tersebut maka itu adalah bid'ah bukan sunnah"
Dan lagi "Apa yang telah menjadi kebiasaan manusia menjemput orang dan menyediakan hidangan makanan oleh keluarga si Mati adalah bid’ah yang dibenci, termasuklah dalam hal ini berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga si Mati kerana terdapat hadis sahih dari Jarir bin Abdullah berkata: 
Kami menganggap berkumpul beramai-ramai (berkenduri arwah) di rumah si Mati dan menyiapkan makanan sebagai ratapan". H/R Ahmad 2/204 dan Ibn Majah 1612 dengan sanad yang sahih dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim. Lihat: I’anatu at-Talibin juz. 2 hlm. 146
 
Ada jugak Ustadz2 yang akan membawa hadith ini untuk membuktikan bahawa Yasinan itu Sunnah Rasulullah s.a.w. : 
“Barangsiapa yang menziarahi kubur orang tuanya atau salah seorang dari keduanya pada hari Jumaat, kemudian membacakan surah Yasin, maka akan diampunkan dosanya".
  
 Hadis ini batil, palsu dan tidak ada asal usulnya. Dalam sanadnya ada si 'Amar pemalsu hadis, yang mana banyak meriwayatkan hadis batil. 
Daraqutni berkata: "Amar adalah seorang pemalsu hadis". Lihat: Kitab Al-Maudu’at, Juz 3 hlm. 239. I’anatu at-Talibin. Juz 2. Hlm. 146.
 
Ibn Taimiyah juga menjelaskan: “Bukan menjadi suatu kebiasaan bagi para Salaf as-Soleh apabila mereka mengerjakan solat-solat sunnah, berpuasa, haji dan membaca al-Quran lalu pahalanya dihadiahkan kepada si Mati” Lihat kitab Ali Abdul al-Kafi as-Subki “Takmilatul Majmu”. Syarah Muhazzab jld. 10 hlm. 417.
Al-Haitami menjelaskan: “Mayat tidak boleh dibacakan al-Quran sebagaimana keterangan yang ditetapkan oleh orang-orang terdahulu, bacaan al-Quran pahalanya tidak sampai kepada si Mati, lantaran pahala bacaan hanya untuk si Pembaca. Pahala amalan tidak boleh dipindah-pindahkan dari si Pembuat berdasarkan firman Allah Ta’ala: 
Dan manusia tidak memperolehi pahala kecuali dari amalan yang dikerjakannya sendiri”. (al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah)
Ghuraba' Fi Zamani 
 Copy dari: Mohamed Haikal

Saturday, October 27, 2012

Amalan Korban; Hikmah, Hukum & Sunnah


Tajuk: Amalan Korban; Hikmah, Hukum & Sunnah
Oleh: Dr. Abdul Basit Abdul Rahman
بسم الله الرحمن الرحيم

Alhamdulillah segala puji bagi Allah swt yang telah mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya agar berkumpul pada musim haji di Arafah, dan menumpahkan darah haiwan korban (al-Hadyu). Ia adalah bulan penuh berkat kerana di dalamnya bergabung dua ibadat agung iaitu ibadat haji dan korban yang dimulakan sejak zaman Nabi Allah Ibrahim a.s. lagi.
Firman Allah SWT:

{وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}

Maksudnya: {Dan telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami telah menundukkan untu-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.} [Surah Al-Haj: 36]

Haji adalah rukun Islam yang wajib sekali seumur hidup bagi orang yang mampu menunaikannya di Makkah manakala ibadat korban pula boleh dilakukan di mana-mana saja bagi sesiapa yang mampu.

Ibadat korban yang dituntut Islam berbeza dengan konsep korban penganut agama lain. Korban dalam Islam bukan memohon perlindungan daripada mala-petaka atau amalan tolak bala. Sebaliknya ibadat korban adalah ibadat ikhlas sebagai lambang pengorbanan hamba kepada Allah.

Bagi sesiapa yang mampu untuk menunaikan ibadat korban, hendaklah melakukannya, kerana ia adalah sunnah yang sentiasa dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat selepasnya.

Untuk memahami ibadat ini kita perlu mengetahui beberapa perkara;

Pertama sekali kita lihat kepada pengertiannya:

Korban atau Udhiyyah dalam bahasa Arabnya, bermaksud menyembelih haiwan yang tertentu jenisnya daripada ternakan yang dikategorikan sebagai al-An’am iaitu unta, lembu (termasuk kerbau), biri-biri dan kambing pada Hari Nahar atau Hari Raya Haji pada 10hb Zulhijjah dan pada hari-hari Tasyrik (11,12 dan 13hb Zulhijjah) bertujuan untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.

Ianya telah disyariatkan melalui firman Allah SWT:

{فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ} [الكوثر:2]

Maksudnya: {Maka dirikanlah solat kerana Tuhanmu; dan berkorbanlah.}[Al-Kautsar: 2].
Firman Allah SWT lagi:

{وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ…}

Maksudnya: {Dan bagi tiap-tiap umat sudah Kami syariatkan penyembelihan (korban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternakan yang direzekikan Allah kepada mereka.} [Al-Hajj: 34].
Melalui hadis pula:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: ضَحَّى النَّبِيُّ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ،
وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا.

Daripada Anas ra, “Rasulullah SAW juga telah menyembelih dua ekor kibasy putih yang bertanduk besar sebagai korban dengan tangannya sendiri sambil menyebut nama nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki Baginda di tengkuk kibasy tersebut.” [HR Bukhari dan Muslim].

Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi tidak berkorban, maka janganlah ia menghampiri tempat solat kami.” [HR Ahmad dan Ibnu Majah daripada Abu Hurairah].

Kata ulama’ hadis ini merupakan satu teguran/ancaman kepada orang yang berkemampuan tetapi tidak mahu melakukan ibadat korban.

HIKMAH DAN FADHILAT
Antara hikmah pensyariatan korban adalah:
Korban ialah ibadat. Setiap korban yang dilakukan kerana ibadat mempunyai hikmah dan faedah selain daripada mengabdikan diri kepada Allah swt. Hal ini samalah dengan ibadat-ibadat yang lain. Ia juga sebagai melahirkan tanda bersyukur kepada Allah terhadap nikmat-nikmatnya yang melimpah-ruah.

Hikmah yang paling jelas dan tinggi nilainya ialah menghayati pengorbanan agung yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s yang sanggup menyahut perintah Allah swt untuk mengorbankan anaknya Nabi Ismail a.s.

Amalan ini adalah rentetan warisan daripada sejarah yang panjang, yang sentiasa diperbaharui setiap tahun dan insya’Allah akan berkekalan sehingga ke akhir zaman. Ia merupakan satu ingatan yang berkekalan tentang satu sikap yang unik dan terpuji yang mungkin tidak akan ditemui lagi di dalam dunia ini. Iaitu keutuhan iman Nabi Ibrahim as serta kepatuhan mutlaknya terhadap Tuhannya Yang Maha Agung.

Kedatangannya dulu ke Makkah, lembah gersang lagi kering, lalu meninggalkan keluarganya di situ kerana menurut perintah Tuhannya, telah mencipta satu sejarah agung.

Setelah anaknya meningkat dewasa dan dapat membantu bapanya untuk melakukan kerja-kerja, datang pula cubaan dan dugaan yang amat besar dalam hidup mereka sebagaimana yang diceritakan sendiri oleh Allah swt melalui firman-Nya ini:
Maksudnya: {(Kisah ini berlaku apabila Nabi Ibrahim as mahu meninggalkan kaumnya yang engkar dan tidak menerima dakwahnya) “Dan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. )Ibrahim ingin pergi ke suatu negeri yang dia dapatmenyembah Allah swt dan berdakwah). Wahai Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yangsoleh. Maka Kami sampaikan kepadanya khabar gembira dengan seorang anak yang amatsabar (Nabi Ismail as). Maka tatkala anak itu sudah dewasa dan mampu berusahabersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Wahai anakku,sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahawa aku menyembelihmu.Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”. Ismail menjawab: “Wahai bapaku,kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya’Allah kamu akan mendapati diriku termasuk di kalangan orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkananaknya di atas lambungnya, lalu Kami menyerunya: “Wahai Ibrahim! Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepadaorang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata”.Dan Kami tebuskan anak itu dengan seekor sembelihan yangbesar. (Setelah ternyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismailas. Maka Allah melarang menyembelih Ismail dan tidakmeneruskan korban. Allah swt menggantikannya dengan seekor kibasy yang besar. Peristiwa ini menjadi dasar pensyariatan korbanyang dilakukan pada hari Raya Haji). Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalanganorang-orang yang datang kemudian. (Iaitu) Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yangberbuat baik”.} [As-Saffat: 99-110].
[Lihat: Makkah al-Mukarramah: Kelebihan dan Sejarah, terbitan Telaga Biru].

Hikmah yang lain juga, ibadat korban menolong orang fakir dan mereka yang berhajat serta mengembirakan mereka, anak isteri dan keluarga pada hari raya. Ini dapat menanam perasaan kasih-sayang antara si kaya dengan si miskin. Seterusnya dapat mengeratkan hubungan persaudaraan antara anggota masyarakat Islam dan semangat berjemaah.

HUKUM:
Hukum korban dibahagi kepada dua;
Pertama: Sunat muakkad bagi orang yang cukup syarat-syaratnya ini: Islam, aqil baligh dan berkemampuan.
Kedua: Wajib kepada yang mewajibkan dirinya sendiri samada untuk berkorban kerana mendekatkan diri kepada Allah atau bernazar.

Tujuan korban adalah semata-mata mengagungkan syariat Allah dan merebut peluang mencapai ketakwaan di sisi-Nya. Setiap muslim, sangat dituntut (sunat muakkad) melakukan ibadat korban memadai menyembelih seekor kambing bagi dirinya dan keluarga.

Binatang Yang Disyariatkan Untuk Berkorban

Korban hanya sah dengan unta, lembu (kerbau), kambing dan biri-biri. Inilah binatang ternakan yang dimaksudkan berdasarkan firman Allah swt dalam surah [Al-Hajj: 34] di atas tadi.

Tidak terdapat hadis Nabi saw dan kata-kata sahabat yang menunjukkan terdapat binatang lain yang dijadikan korban selain daripada binatangn-binatang tersebut.

Yang paling afdhal ialah sembelih seekor unta, diikuti lembu dan kambing.

Harus berkorban dengan seekor unta atau lembu jantan atau betina untuk tujuh orang. Ini berdasarkan hadis daripada Jabir ra katanya:
“Kami berkorban bersama Rasulullah saw pada tahun Hudaibiyyah dengan seekor unta untuk tujuh orang dan seekor lembu untuk tujuh orang”. [HR Muslim].

Syarat Binatang Korban
Cukup Umur: Umur unta disyaratkan masuk tahun keenam. Umur lembu dan kambing telah masuk tahun ketiga, manakala biri-biri pula telah masuk tahun kedua atau telah tanggal gigi hadapannya sekalipun umurnya belum sampai setahun.
Tidak cacat: Ketiga-tiga jenis binatang korban tersebut tidak cacat yang menyebabkan kurang dagingnya. Juga tidak sah korban kambing yang terlalu kurus, sangat tempang, buta sebelah mata, berpenyakit atau putus sebahagian telinganya.
Setiap perkara yang menyebabkan binatang itu kurus dan kurang dagingnya hendaklah dikiaskan kepada keempat-empat kecacatan tersebut.

Waktu ibadah korban:
Ibadah korban mestilah dilaksanakan pada waktu-waktu khusus iaitu pada 10 Zulhijjah selepas solat sunat hari raya sehinggalah tenggelam matahari pada 13 Zulhijjah.


CARA PENGAGIHAN DAGING KORBAN:
Cara pengagihan daging korban, menurut kitab Fiqh Manhaji;
Jika melakukan korban sunat, harus bagi yang berkorban memakan sebahagian daging korban dengan syarat disedekahkan sebahagiannya. Tetapi yang afdhalnya ialah dia makan sedikit untuk mendapat keberkatan dan selebihnya disedekahkan.
Dia juga boleh memakan 1/3 bahagian, menyedekahkan 1/3 bahagian kepada fakir miskin dan 1/3 bahagian yang lagi dihadiahkan kepada sahabat handai dan jiran tetangganya sekalipun mereka kaya.


Korban Wajib / Nazar:
Jika ia korban wajib pula (nazar atau yang mewajibkan sendiri) Para ulama’ telah berbeza pendapat dalam masalah ini;
1. Pandangan ulama’ Mazhab Hanafi korban nazar iaitu korban wajib adalah dilarang untuk dimakan oleh orang yang berkorban sepertimana memakan anak yang lahir dari binatang sembelihan itu yang lahir sebelum disembelih.
2. Pandangan Mazhab Maliki dan Hanbali adalah harus daging sembelihan korban nazar dimakan oleh orang yang berkorban seperti daging sembelihan korban sunat. Namun, yang paling dituntut adalah dagingnya dimakan sebahagiannya, disedekahkan dan diberi makan kepada fakir miskin. Di sisi Mazhab Maliki dan Hanafi jika daging itu dimakan semuanya oleh orang yang berkorban atau disimpan selama 3 hari hukumnya adalah harus tetapi dibenci (makruh). Manakala Mazhab Hanbali mengharuskan untuk memakan sebahagian besar dagingnya. Pendapat ini disokong oleh sebahagian ulama’ mazhab Syafie. [Lihat: Kitab Al-Bayan, Karangan Al-‘Imrani 4/458]
3. Mazhab Syafi’e berpandangan bahawa korban wajib atau nazar atau yang telah dinyatakan tujuannya dengan lafaz seperti “ini adalah sembelihan korban” atau “aku menjadikannya sebagai sembelihan korban” maka tidak harus dimakan dagingnya oleh orang yang berkorban dan tanggungannya. Bahkan adalah wajib untuk disedahkan kesemuanya. [Lihat Khilaf Ulama’ ini dalam: Dr Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, jil. 3, ms. 627-630]

Hukum memberi daging korban kepada orang kafir:
1. Imam al-Nawawi menukilkan daripada Ibn Munzir Ijma‘ Ulama bahawa adalah harus memberi makan daging Korban kepada fakir miskin Muslim.
2. Mereka berselisih pendapat berkenaan memberi makan daging Korban kepada Ahli Zimmah (orang kafir yang tidak bermusuh dengan Orang Islam).
Imam Abu Hanifah, Al-Hasan al-Basri dan Abu Thaur membenarkannya. Imam Malik pula lebih suka mengutamakan Muslimin. Imam Malik mengaggap makruh memberikan kulit binatang Korban kepada orang Kristian.

Adapun pegangan mazhab Shafie, menurut Imam al-Nawawi, harus memberi makan kafir Zimmi daripada daging sembelihan Korban Sunat, bukan Korban wajib seperti nazar.

Mengikut pandangan Mazhab Hanbali adalah harus memberi daging kepada orang kafir jika ianya adalah korban Sunat. Adapun korban wajib maka tidak diharuskan.

Kesimpulannya, ulama’ berbeza pendapat dalam hal ini, sebahagian mazhab mengatakannya haram, ada yang mengatakannya makruh dan Mazhab Hanbali, Hanafi serta satu pandangan dalam mazhab Syafie pula mengatakannya harus kerana ia bukannya sedekah wajib.

Namun satu perkara yang tiada khilaf di kalangan ulama’ ialah mengutamakan umat Islam. Oleh itu dalam hal ini, umat Islam perlu didahulukan, tetapi tidak menjadi kesalahan memberikannya kepada orang bukan Islam yang tidak bermusuh dengan kita, Insya’Allah.
[Lihat: Imam an-Nawawi, al-Majmu‘ Sharh al-Muhazzab, Jilid 8, ms. 404 dan Al-Fiqh Al-Islami 3/629].


PERKARA-PERKARA SUNAT BAGI ORANG YANG INGIN MELAKUKAN KORBAN

1) Apabila menjelang 1hb Zulhijjah, seseorang yang telah berazam / berniat untuk melakukan ibadat korban, sunat baginya untuk tidak menghilangkan (memotong) bulunya seperti rambut, janggut, misai dan kukunya sehingga dilakukan penyembelihan korban. Oleh itu hendaklah menjaga kedua-duanya dengan baik.
Ini adalah berdasarkan kepada sabda Rasulullah saw:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ: ((إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا)) [رواه مسلم]ز

Maksudnya: “Apabila masuk sepuluh terawal bulan Zulhijjah dan seseorang itu telah berniat untuk menunaikan ibadat korban, maka janganlah dia membuang (memotong) bulu dan kukunya.”[HR Muslim].

شرح النووي على مسلم: قَوْله : (إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْر وَأَرَادَ أَحَدكُمْ أَنْ يُضَحِّي فَلا يَمَسّ مِنْ شَعْره وَبَشَره شَيْئًا)، وَفِي رِوَايَة: (فَلا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا، وَلا يُقَلِّمَنَّ ظُفْرًا). وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِيمَنْ دَخَلَتْ عَلَيْهِ عَشْر ذِي الْحِجَّة وَأَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَقَالَ سَعِيد بْن الْمُسَيِّب وَرَبِيعَة وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَدَاوُد وَبَعْض أَصْحَاب الشَّافِعِيّ: إِنَّهُ يَحْرُم عَلَيْهِ أَخْذ شَيْء مِنْ شَعْره وَأَظْفَاره حَتَّى يُضَحِّي فِي وَقْت الأُضْحِيَّة. وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه: هُوَ مَكْرُوه كَرَاهَة تَنْزِيه وَلَيْسَ بِحَرَامٍ. وَقَالَ أَبُو حَنِيفَة: لا يُكْرَه. وَقَالَ مَالِك فِي رِوَايَة: لا يُكْرَه، وَفِي رِوَايَة: يُكْرَه. وَفِي رِوَايَة: يَحْرُم فِي التَّطَوُّع دُون الْوَاجِب. وَاحْتَجَّ مَنْ حَرَّمَ بِهَذِهِ الأَحَادِيث. وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيّ وَالآخَرُونَ بِحَدِيثِ عَائِشَة -رَضِيَ اللَّه عَنْهَا- “قَالَتْ: كُنْت أَفْتِل قَلائِد هَدْي رَسُول اللَّه rثُمَّ يُقَلِّدهُ، وَيَبْعَث بِهِ وَلا يَحْرُم عَلَيْهِ شَيْء أَحَلَّهُ اللَّه حَتَّى يَنْحَر هَدْيه” رَوَاهُ الْبُخَارِيّ وَمُسْلِم. قَالَ الشَّافِعِيّ: الْبَعْث بِالْهَدْيِ أَكْثَر مِنْ إِرَادَة التَّضْحِيَة، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لا يَحْرُم ذَلِكَ، وَحَمَلَ أَحَادِيث النَّهْي عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه”.


Kata Imam Nawawi rahimahullahu ta’ala: “Para ulama’ berbeza pendapat tentang hukum hadis ini, Imam Ahmad dan sebahagian ulama’ Syafei mengatakan haram perbuatan menghilangkan bulu tadi, tetapi Imam Syafei dan ulama’nya yang lain mengatakan ia adalah makruh tanzih (iaitu makruh yang sangat besar dan hampir kepada haram).”[ Syarah Sahih Muslim].

Maka sebaik-baiknya bagi kita adalah mengelakkan perkara tersebut dan melakukan persedian pada awalnya lagi untuk menghadapi larangan yang besar ini.

2) Jika mampu secara fizikal, disunatkan kita menyembelih sendiri binatang korban itu. Jika tidak mampu disebabkan uzur atau lainnya, harus diwakilkan kepada orang lain. Jika berpeluang, eloklah menyaksikan binatang korban ketika disembelih.

3) Semasa menyembelih binatang korban disunatkan sebagaimana perbuatan Rasulullah saw: Menghadapkan binatang itu ke arah kiblat di atas rusuk kirinya lalu membaca:

بِسْمِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّي.

“Dengan nama Allah dan Allah Maha Besar. Ya Allah, binatang ini daripada Engkau dan akan kembali kepada Engkau. Ya Allah, terimalah daripadaku”. [Lihat Perisai Muslim: Bacaan ketika menyembelih haiwan].

PENUTUP:
Justeru, ibadat korban sangat dituntut kerana manfaatnya kepada orang yang berkorban. Bagi yang masih hidup, ia lebih baik daripada bersedekah dengan harga binatang korban itu. Sesungguhnya mengharapkan keampunan dosa adalah inti pati semua ibadat dalam Islam.

Selain daripada keampunan dosa, ibadat korban membuka ruang dan peluang meningkatkan sikap peka serta prihatin terhadap kebajikan sesama insan, terutama golongan fakir dan miskin. Ramai menganggap daging korban mesti diberikan kepada orang miskin saja dan mempertikai ada orang kaya yang dapat agihan daging korban.

Orang kaya juga diharuskan dihadiahkan daging korban bertujuan mengukuhkan hubungan silaturahimatau ukhuwwah. Rasulullah SAW sentiasa menghadiahkan sahabat Khadijah (kebanyakannya wanita kaya), setiap kali Baginda mengadakan korban sekalipun isterinya sudah wafat.

Ibadat korban mempunyai hikmah tersendiri. Ia bukan semata-mata ibadat untuk memberi makan kepada orang miskin, ia ibadat untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menumpahkan darah (binatang).
Hikmah ibadat korban ialah untuk menegakkan syiar agama berasaskan kepada pengorbanan. Agama ditegakkan dengan pengorbanan. Menumpahkan darah binatang simbolik kepada pengorbanan dilakukan.
Semoga syiar ibadat ini sentiasa subur dalam masyarakat Islam sekarang ditempat masing-masing, bukan hanya semata-mata mewakilkan kepada orang lain melakukannya tanpa tuannya merasai suasana berkorban. Wallahua’lam.
Sumber:
Imam an-Nawawi, al-Majmu‘ Sharh al-Muhazzab.
Al-Fiqh Al-Manhaji, Dr. Mustafha Al-Khin dan lain-lain.
Dr Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu.
Majalah Solusi, Isu 36, Ruang SYIAR.
www.abuanasmadani.com
www.abuanasmadani.blogspot.com
PSD, 22 Zulqa’dah 1432H.
Tambahan di: Makkah, 4 Zulhijjah 1433H, 20-10-2012. Hotel Zuwar Al-Haramain.


Posted by on 24 Oktober 2012

bacaan Sepenuhnya :http://www.abuanasmadani.com/?p=1720

Friday, October 26, 2012

Makbulnya Doa di Masjidil Haram


24 September 2012
Seorang umat Muslim membaca Alquran di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi. Foto: Antara.

REPUBLIKA.CO.ID, Berkunjung ke Baitullah merupakan berkah bagi umat muslim untuk beribadah, namun juga mengharapkan ridha Allah atas berbagai doa dan harapan mereka. Rasa ikhlas dan berharap dikabulkannya doa itu merupakan salah satu dari ibadah yang dijalankan Zainuddin, jamaah dari Embarkasi Surabaya yang berangkat ke Tanah Suci pada 2010
.
Di sana, dia menyaksikan jamaah berduyun-duyun menjalankan prosesi peribadatannya. Tidak terlupakan juga, mereka, termasuk Zainuddin memanjatkan doa pribadinya. “Kami sadar sepenuhnya dan mencoba untuk berdoa serta membuktikan kemakbulan salah satu doa kami di Masjidil Haram,” katanya mengenang perjalanan ibadah hajinya, beberapa waktu lalu.

Berbagi lantunan dzikir dan ayat suci dilantunkan serta ritual ibadah dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan kekhusyukan. Hal serupa dilakukan di Madinah, utamanya seperti di Masjid Nabawi dan Raudhah.

Setelah segala rangkaian ibadah dijalankannya, dia pun kembali ke Tanah Air dengan selamat dan dalam keadaan yang sehat.

Belum genap 40 hari kepulangannya dari ibadah haji, rupanya Allah telah mengabulkan salah satu dari berbagai doa yang telah dia panjatkan. Zainuddin menganggap, doanya yang satu itu justru yang paling berat dan sepertinya belum mungkin untuk terwujud saat itu.

Namun, rupanya kehendak Allah-lah yang terjadi. Dia mempu membeli mobil yang cukup pantas digunakan sekeluarga dan dapat mendaftar kembali untuk melaksanakan ibadah haji di tahun berikutnya sesuai porsi haji. Doa-doa tersebut dipanjatkannya saat di Makkah dan Madinah

“Menurut hitungan kami hal itu tidak mungkin, karena kami hanya seorang guru swasta di madrasah ibtidaiyah (MI) dan petani kecil yang berpenghasilan tidak seperti para pengusaha dan pedagang besar dan kami masih berusia 34 tahun yang belum begitu banyak punya kolega atau rekanan bisnis.

Rupanya Allah telah betul betul menunjukkan kepadanya bahwa doa yang menurut pikiran manusia itu adalah mustahil, justru itulah yang terjadi. Segala biaya yang telah dikeluarkannya untuk berhaji, diganti dengan hal yang lebih baik dan lebih banyak oleh Allah.

“Saat ini, rezeki yang kami terima melimpah dari berbagai hal yang tidak terduga dan tidak terpikirkan sebelumnya, sehingga kami tidak kekurangan apapun dalam keluarga dan mensekolahkan dua putri kami, subhanalllah,” ucapnya sambil bersyukur. Dia berharap, apa yang dialaminya ini bisa menjadi motivasi untuk seluruh umat muslim dalam menjalankan ibadah haji.
Editor: Dewi Mardiani
Sumber: Zainuddin
~ http://www.jurnalhaji.com/makbulnya-doa-di-masjidil-haram/

Nikmat Allah, Dikongsikan!


Nikmat Allah, Dikongsikan!

Apa suasana yang lebih membahagiak hati ibu-bapa ketika mendapati begitu cepat merespon apa yang didengar dari luar dan ternyata ia sudah dibekalkan di dalam. Ketika anak-anak sudah dibiasakan dengan hafazan [walau belum selesai membaca iqra'] dan mendengarkan kisah-kisah dalam al-Quran, hadis dan pengalaman spiritual ulama yang solih, maka ia akan mudah merespond dan menghubungkaitkan dengan apa yang sudah diperolehinya.

Contoh, ketika ananda sudah hafal beberapa surah pendek dalam juzuk Amma, maka ketika dalam perjalanan ia mendengar ada suara mengaji membacakan ayat yang sudah dihafaznya, maka ananda akan terus mengikuti dan menyambung bacaan tersebut. Misalnya di kereta, dipasang radio IKIM dan tengah membaca ayat "Idhhab Ila Fira'aun ....!" Maka ananda akan meneruskan bacaan, "Innahu Thagha, Faqul Hal Laka Ila An-Tazakka, Waahdiyaka Ila Rabbika Fatakhsha ... dan seterusnya hingga akhir ayat!"

Bagitu juga ketika tengah mengaji, bila dalam satu muka surat yang dibaca terdapat beberapa kata yang kata itu ada dalam memori hafazannya, maka ananda akan membacakannya sambungan kata tersebut. Wajar, bacaan iqranya sentiasa lama untuk satu muka surat disebabkan kebiasaan membacakan sambungan kata dalam bentuk ayat yang sudah dihafaznya. Contoh, ketika ada terjumpa kata Ghashiyah [Iqra' 3], maka ananda akan memperpanjang 'keadaan' dengan terus berkata, "Sama dengan ayat Hal Ata Hadithsu al-Ghashiyah, Wujuhu Yaumaidhin Khashi'ah, 'Amilatun Nasibah ... diteruskan hingga kahir ayat."

Masih banyak pengalaman lain yang boleh dikongsikan. Namun penekanan dari perkongsian ini adalah mari kita berusaha menjadi ibu-bapa yang berperanan sebagai pelukis terbaik untuk kanvas-kanvas putih yang sentiasa memerlukan sentuhan kepiawian dan polesan warna-warni yang bernilai, dunia dan akhirat.

Perjalanan masih panjang, tentu ini bukan akhir daripada tanggungjawab yang mesti diteruskan. Semoga Allah mudahkan kita membekalkan pengetahuan sebagai ibu-bapa dan memberikan penyelesaian terbajik dan terbijak terhadap setiap tahapan persoalan yang akan sentiasa hadir di setiap anjakan usia anak-anak!
Wallahu A'lam!
Nikmat Allah, Dikongsikan!

Apa suasana yang lebih membahagiak hati ibu-bapa ketika mendapati begitu cepat merespon apa yang didengar dari luar dan ternyata ia sudah dibekalkan di dalam. Ketika anak-anak sudah dibiasakan dengan hafazan [walau belum selesai membaca iqra'] dan mendengarkan kisah-kisah dalam al-Quran, hadis dan pengalaman spiritual ulama yang solih, maka ia akan mudah merespond dan menghubungkaitkan dengan apa yang sudah diperolehinya.

Contoh, ketika ananda sudah hafal beberapa surah pendek dalam juzuk Amma, maka ketika dalam perjalanan ia mendengar ada suara mengaji membacakan ayat yang sudah dihafaznya, maka ananda akan terus mengikuti dan menyambung bacaan tersebut. Misalnya di kereta, dipasang radio IKIM dan tengah membaca ayat "Idhhab Ila Fira'aun ....!" Maka ananda akan meneruskan bacaan, "Innahu Thagha, Faqul Hal Laka Ila An-Tazakka, Waahdiyaka Ila Rabbika Fatakhsha ... dan seterusnya hingga akhir ayat!"

Bagitu juga ketika tengah mengaji, bila dalam satu muka surat yang dibaca terdapat beberapa kata yang kata itu ada dalam memori hafazannya, maka ananda akan membacakannya sambungan kata tersebut. Wajar, bacaan iqranya sentiasa lama untuk satu muka surat disebabkan kebiasaan membacakan sambungan kata dalam bentuk ayat yang sudah dihafaznya. Contoh, ketika ada terjumpa kata Ghashiyah [Iqra' 3], maka ananda akan memperpanjang 'keadaan' dengan terus berkata, "Sama dengan ayat Hal Ata Hadithsu al-Ghashiyah, Wujuhu Yaumaidhin Khashi'ah, 'Amilatun Nasibah ... diteruskan hingga kahir ayat."

Masih banyak pengalaman lain yang boleh dikongsikan. Namun penekanan dari perkongsian ini adalah mari kita berusaha menjadi ibu-bapa yang berperanan sebagai pelukis terbaik untuk kanvas-kanvas putih yang sentiasa memerlukan sentuhan kepiawian dan polesan warna-warni yang bernilai, dunia dan akhirat.

Perjalanan masih panjang, tentu ini bukan akhir daripada tanggungjawab yang mesti diteruskan. Semoga Allah mudahkan kita membekalkan pengetahuan sebagai ibu-bapa dan memberikan penyelesaian terbajik dan terbijak terhadap setiap tahapan persoalan yang akan sentiasa hadir di setiap anjakan usia anak-anak!

Wallahu A'lam!

PAS MUNAFIK ... HUDUD Tidak Pernah DIWARTAKAN Sejak 1993 - Wan Mutalib Embong


Mesyuarat Lajnah Politik dan Pilihanraya PAS Kelantan pada 5 April 1993 telah memutuskan bahawa Hukum Hudud tidak akan diwartakan setelah diluluskan.



Ibrahim Ali menunjukkan dokumen-dokumen Lajnah Undang-Undang dan Guaman PAS Pusat yang memutuskan sejak dari 9 Oktober 1994, Hukum Hudud adalah undang-undang yang sah dan tidak bercanggah dengan Perlembagaan Persekutuan.













Ringkasan kemunafikan PAS ...

5 April 1993 - Mesyuarat Lajnah Politik dan Pilihanraya PAs Kelantan telah memutuskan bahawa Hukum Hudud tidak akan diwartakan.

25 November 1993 - Dewan Undangan Negeri Kelantan meluluskan Hukum Hudud namun masih belum diwartakan.

9 Oktober 1994 - Lajnah Undang-undang dan Guaman PAS Pusat telah memutuskan Hukum Hudud adakah satu undang-undang yang sah dan boleh dikuatkuasakan dan tidak bercanggah dengan Perlembagaan Persekutuan.

3 Oktober 1996 - Ahli Jawatankuasa PAS Pusat, Wan Abdul Mutalib Embong pertikai mengapa kerajaan Kelantan tidak bersungguh-sunguh mahu melaksanakan khususnya dalam bidang perundangan.

3 Oktober 1996 - Ahli Jawatankuasa PAS Pusat, Wan Abdul Mutalib Embong pertikai mengapa kerajaan Kelantan tidak pernah membuat permintaan kepada PAs Pusat untuk mendapatkan pandangan dalam Hukum Hudud.

3 Oktober 1996 - Ahli Jawatankuasa PAS Pusat, Wan Abdul Mutalib Embong pertikai mengapa kerajaan Kelantan tudak pernah mengemukakan rangka atau 'blue print' ke arah perlaksanaan syariat.

18 April 1998 - Ahli Jawatankuasa PAS Pusat, Wan Abdul Mutalib Embong persoal mengapa kerajaan Kelantan belum melaksanakan Hukum Hudud sedangkan mampu dan berkuasa melaksanakannya.



Mengapa PAS begitu munafik dan berbohong kepada umat Islam di Malaysia malah kepada rakyat Kelantan bahawa Kerajaan Pusat yang menghalang perlaksanaan Hukum Hudud ?

Selama 20 tahun PAS berbohong mengenai perlaksanaan Hukum Hudud.

Apa maksud PAS sebenarnya, Parti Islam Semalaysia atau Parti Anutan Syaitan?

Hanya Syaitan sahaja yang sentiasa menghasut untuk berbohong dan mengadu domba sesama umat Islam ...



  , October 26, 2012

Kisah mengenai Ulama Sunnah yang hampir diculik pasukan perisik Iran di Shah Alam




Oleh Ustaz Fauzan, pensyarah MEDIU
Saya ingin respon terhadap khabar yang tersebar dalam FB tentang kakitangan MEDIU baru-baru ini...

Akhuna Hamid Ali Muhammad, (gambar),individu yang diburu oleh skuad khas yang dihantar khas oleh Kedutaan Iran untuk membawa pulang Hamid ke Iran. Seorang individu yang aktif dalam dakwah sunnah, pernah di penjara di Iran sekitar 2006 kerana menubuhkan sekolah Imam Bukhari di Iran, beliau juga seorang yg aktif brdakwah kepada rakyat Iran melalui internet atas rasa tanggungjawab beliau menerangkan kesesatan agama Syiah di Iran. Atas sebab itulah dia diburu oleh pihak Iran.

Beliau telah diekori oleh perisik khas di Iran sejak minggu lepas sehingga dapat dikesan bertugas di MEDIU. Merupakan pelajar peringkat PHD di MEDIU. 
Kronologi:

17/10 : MEDIU mendapat panggilan dari seseorang yg mengaku dari Kedutaan Iran dan meminta maklumat tentang Hamid

18/10 : Meminta Hamid menghubungi kedutaan Iran. Hamid menghubungi individu itu dan meminta Hamid ke Kedutaan Iran atas dasar kerjasama untuk membawa pelajar Iran ke Msia.

20/10: Sepatutnya Hamid ke kedutaan tapi atas nasihat rakannya di UK, beliau membatalkan hasrat itu.

20/10 : Pada malam setelah Hamid tidak datang, sebuah kereta hitam lengkap dengan cermin hitam meronda-ronda di kawasn perumah Hamid yg lama. Mereka telah bertanya kepada jiran-jiran di mana Hamid tinggal dan maklumat yg lain turut ditanya..

22/10 : Mereka dihantar ke MEDIU, menunggu dan mengawal sehingga di pejabat Pentadbiran MEDIU. Seharian mereka menyiasat dan memantau pergerakan Hamid.

23/10: Sekumpulan perisik dihantar dipercayai 4 orang, utk membawa Hamid, dan mereka enggan berganjak dan beredar selagi tidak dapat berjumpa dengan Hamid. Lalu pihak pentadbiran MEDIU menghubungi pihak polis dari Bukit Aman, dan memberkas 2 dari mereka dan dibawa ke IPK Shah Alam.

Mereka kemudiaannya diikat jamin dari pihak kedutaan, memandangkan mereka tidak membawa segala jenis dokumen. setelah disiasat, pasport mereka tertulis " ASSIGNED TO A MISSION"..ditugaskan utk misi.,.misi memberkas dan membawa HAMID utk diadili...Kita doakan agar akhuna Hamid dilindungi Allah dalam usahanya membantu dan berjihad di agama Allah. Terima kasih kepada PDRM yang byk membantu dalam menyelesaikan usaha jahat mereka. Kini Hamid adalah pelarian Iran, dan berlindung di bawah UNHCR.

Doa keselamatan dan perlindungan dari kalian amat dperlukan. Semoga beliau sentiasa dilindungi oleh Allah dari TENTERA DAJJAL!
~

Thursday, October 25, 2012

Solat Jumaat Pada Hari Raya


بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد.

Soalan: “Apakah benar jika hari raya jatuh pada Hari Jumaat maka sesiapa yang telah menunaikan Solat Hari Raya tidak wajib lagi untuk menunaikan Solat Jumaat?


Dalam persolan ini terdapat beberapa hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw;

Pertama: Hadis Zaid bin Arqam

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ. فَقَالَ: ((مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ). رواه أبو داود (1590)،
Muawiah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam r.a: Pernahkah awak meyaksikan hari raya yang terkena pada hari Jumaat pada zaman Rasulullah SAW? Jawabnya: Ya! Kata Muawiah: Bagaimana Rasulullah melakukannya? Kata Zaid: Nabi SAW melaksanakan solat Eid (pada suatu hari Jumaat) kemudian Baginda memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam solat Jumaat dengan bersabda: “Barangsiapa yang mahu solat (Jumaat), hendaklah dia solat.” [HR. Al-Khamsah, kecuali At Tirmizi. Hadis ini ditashih oleh ramai ulama’].

Kedua: Hadis Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: ((قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ)) رواه أبو داود رقم: 1073.
Sabda Nabi saw: “Telah berkumpul pada hari kamu ini dua hari raya, sesiapa yang mahu memadailah baginya solat hari raya bagi solat Jumaat (tidak wajib Jumaat), adapun kami (Nabi SAW) akan menunaikan (juga) solat Jumaat” [Riwayat Abu Daud, Ahmad, Ibn Majah. Dinilai sahih oleh al-Hakim dan dipersetujui oleh al-Zahabi. Al-Albani juga menyatakan sahih].

Ketiga: Hadis Abdullah bin Abbas.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: ((اجْتَمَعَ عِيدَانِ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ، إِنْ شَاءَ اللَّهُ)). رواه ابن ماجة رقم: 1311.
Sabda Nabi Saw: “Telah berkumpul dua hari raya pada hari kamu ini, sesiapa yang mahu memadailah baginya solat hari raya bagi solat Jumaat (tidak wajib Jumaat), adapun kami (Nabi s.a.w) akan menunaikan (juga) solat Jumaat, Insya’Allah”. [HR: Ibnu Majah]

 Keempat : Hadis Abdullah bin Umar.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ، ثُمَّ قَالَ: ((مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا)) وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ)) رواه ابن ماجه رقم: 1313.
Katanya: “Telah berkumpul pada suatu ketika dua hari raya pada zaman Rasulullah saw, maka Baginda telah menunaikan solat hari raya bersama sahabat, kemudian bersabda: “Sesiapa yang mahu datang solat Jumaat, boleh datang dan sesiapa tak mahu pun boleh” [HR: Ibnu Majah]

Para ulama berbeza pendapat mengenai hukum solat Jumaat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, sama ada ‘Idul Fitri mahupun ‘Idul Adha.

Pertama, solat Jumaat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul Balad/ahlul madinah) yang di tempat mereka memang diadakan solat Jumaat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung yang jauh atau pendalaman (ahlul Qura / badawi), yang di tempat mereka itu tidak dilaksanakan solat Jumaat, gugur kewajiban solat Jumaatnya.

Jadi jika mereka –yakni orang yang datang dari kampung yang jauh- setelah solat hari raya, mereka boleh terus pulang, tanpa menunggu untuk mengikuti solat Jumaat pula.
Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini juga pendapat Usman dan Umar bin Abdul Aziz dan Jumhur Ulama’.

Secara dasarnya, Imam Shafie tetap mewajibkan solat Jumaat yang jatuh pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajipan tersebut terhadap penduduk kota (terdapat kemudahan masjid). Bagi penduduk desa atau kampung pendalaman yang berkunjung ke kota khas untuk solat hari raya (dan solat Jumaat), dan di tempat mereka tidak dilaksanakan solat Jumaat, maka mereka dibenarkan untuk tidak mengerjakan solat Jumaat. [Majmu’: 4/320]

Kedua, solat Jumaat tetap wajib ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang didirikan solat Jumaat mahupun oleh penduduk yang datang dari kampung.
Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, solat Jumaat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya solat hari raya.
Ketiga, tidak wajib solat Jumaat baik bagi orang yang datang dari kampung mahupun bagi orang bandar yang dekat dengan tempat solat Jumaat. Tetapi mereka wajib solat Zuhur, kecuali Imam (wajib ke atasnya mendirikan Jumaat). Demikian pendapat Imam Ahmad.

Keempat, Zuhur dan Jumaat sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah solat hari raya, tak ada lagi solat sesudahnya selain solat Asar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubair dan ‘Ali ra.

Dalil Mazhab Jumhur (kebanyakkan ulama’):
1- Umum Ayat Al-Quran: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diserukan azan untuk mengerjakan sembahyang pada hari Jumaat, maka segeralah kamu pergi (ke masjid) untuk mengingati Allah (dengan mengerjakan sembahyang Jumaat) dan tinggalkanlah berjual-beli (pada saat itu); yang demikian adalah baik bagi kamu, jika kamu mengetahui (hakikat yang sebenarnya)” [Al-Jumu’ah:9].
2- Demikian juga hadis-hadis yang menyuruh supaya bersolat Jumaat.
3- Jumaat dan Solat Eid adalah dua solat yang berasingan, maka tidak gugur dengan melakukan salah satu dari keduanya, seperti solat Eid dan Zuhur.
4- Sayyidina Osman ra dalam khutbah hari raya yang jatuh pada hari Jumaat …kepada penduduk ‘Aliyah (pendudut sebelah timur Madinah): “Sesiapa yang mahu tunggu solat Jumaat, boleh tunggu, sesiapa yang ingin balik, boleh balik..) [HR: Bukhari]

قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: ثُمَّ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ، ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدْ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ)) [رواه البخاري، بَاب مَا يُؤْكَلُ مِنْ لُحُومِ الأَضَاحِيِّ وَمَا يُتَزَوَّدُ مِنْهَا]

Dalil Mazhab Hanafi: Berpegang dengan kewajipan asal fardhu Solat Jumaat.
Dalil Mazhab Hambali: Hadis-hadis di atas.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahawa pendapat jumhur berpegang kepada dalil umum dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah adalah berpegang pada dalil yang khusus.

Perinciannya hukumnya adalah seperti berikut:

Hukum pertama, jika seseorang telah menunaikan solat hari raya – yang jatuh bertepatan dengan hari Jumaat – gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan solat Jumaat. Dia boleh melaksanakan solat Jumaat dan boleh juga tidak. [Pendapat Mazhab Hambali]

Hukum kedua, bagi mereka yang telah menunaikan solat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan solat Jumaat. Dalilnya adalah hadis Abu Hurairah r.a. bahawa Nabi SAW bersabda: “Innaa mujammi’uun” (Sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumaat). Ini menunjukkan bahawa walaupun Nabi SAW menjadikan solat Jumaat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan solat Jumaat.

Hukum ketiga, jika orang yang telah menunaikan solat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan solat Jumaat, wajib melaksanakan solat Zuhur, tidak boleh meninggalkan Zuhur.
Hukum keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan solat hari raya, wajib ke atasnya untuk menunaikan solat Jumaat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan solat Jumaat.

Kesimpulannya,
Pendapat jumhur yang membezakan antara warga bandar dengan orang yang jauh dari tempat solat Jumaat didirikan adalah wajar diambil kira, kerana ulama’ telah meletakkan suatu kaedah: “Keluar daripada khilaf (perselisihan pandangan) di kalangan ulama, adalah lebih afdhal” oleh itu bagi mereka yang tidak mempunyai sebarang kesukaran untuk hadir ke masjid hendaklah tetap menunaikan solat Jumaat pada hari tersebut, bagi sesiapa yang mempunyai masyaqqah (kesusahan) untuk kembali semula ke tempat Jumaat memadailah dengan melakukan solat Zuhur.

Demikian juga waqi’ atau realiti rakyat Malaysia yang berpegang dengan mazhab al-Syafie (secara resminya) adalah tidak gugur kefarduan Jumaat sekiranya hari raya jatuh pada hari Jumaat. Keizinan yang diberi oleh Imam al-Syafie kepada penduduk yang berjauhan dari masjid adalah dengan tujuan tidak membebankan mereka, sedangkan mereka terpaksa keluar dua kali untuk ke masjid. Di negara kita keadaannya sangat berlainan, kita tidak menghadapi kesukaran untuk ke masjid, manakala masjid pun tidak sejauh mana dari rumah.

Satu lagi yang perlu diperhatikan ialah, masyarakat yang tidak mengetahui hukum dan dalil dalam masalah ini akan memandang serong dan pelik jika ada sekumpulan kaum lelaki yang tidak pergi menunaikan solat Jumaat, ini akan menimbulkan kecelaruan dan salah faham.

Pengalaman ana berada di Tanah Haram, yang berpegang secara rasmi dengan mazhab Hambali, dua Masjid Haram tetap melakukan solat Jumaat, adapun masjid-masjid lain disekitarnya, (yang masyarakatnya sudah biasa dengan hukum itu) ada yang melakukan solat Zuhur berjamaah seperti biasa.

 Wallahu a’lam.

Rujukan:
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Imam An-Nawawi. 4/319-321, cet, Dar al-Ulum, Mesir.
Al-Mughi, Ibn Qudamah. 3/242. Cet, 5. 1426H. Dar Alam Al-Kutub, Riyadh.

Akhukum.

Abu Anas Madani, Pondok Sg Durian.
29 Ramadhan 1431H – 8 Sep 2010.
www.abuanasmadani.com

 by
http://www.abuanasmadani.com/?p=716