Pages

Friday, January 27, 2012

Empat Golongan Manusia yang Dilaknat oleh Allah




Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu mengatakan,

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan kepadaku empat kalimat, yaitu:

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ اْلأَرْضِ

“Allah melaknat orang yang menyembelih hewan untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat orang yang mengubah tanda-tanda di muka bumi ini.” (HR. Muslim)

Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas menyebutkan tentang empat golongan manusia yang dilaknat oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Orang yang dilaknat oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa maksudnya adalah dijauhkan dari rahmat (kasih sayang)-Nya. (Lihat Fathul Majid)


Pembaca yang semoga dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Kita semua berharap agar Allah subhaanahu wa ta’aalaa senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada kita. Kita tidak ingin rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa itu dicabut dari diri kita walaupun sesaat. Di samping rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa itu diraih dengan berusaha untuk bertakwa kepada-Nya sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Dan bertakwalah kepada Allah, supaya kalian mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)

Juga rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa itu diraih dengan menjauhi maksiat kepada-Nya, terutama kemaksiatan yang disebutkan secara tegas akan menjauhkan pelakunya dari rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa sebagaimana dalam hadits di atas.


Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui apa saja dan bagaimana bentuk perbuatan-perbuatan tersebut, bukan dalam rangka untuk dikerjakan, tetapi agar kita bisa menjauhinya.

Menyembelih Hewan untuk selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa

Makna menyembelih hewan untuk selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa adalah:

Pertama, menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa.

Kewajiban terbesar seorang hamba adalah mentauhidkan Allah subhaanahu wa ta’aalaa, yaitu dengan mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Menyembelih hewan merupakan salah satu bentuk ibadah yang apabila dipersembahkan kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa, maka pelakunya telah berbuat syirik. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman (artinya):

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya.” (Al-An’am: 162-163)

Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aalaa memerintahkan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengabarkan kepada kaum musyrikin bahwa beliau adalah orang yang mempersembahkan shalat dan sembelihannya hanya kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Ini sebagai upaya menyelisihi kaum musyrikin yang memiliki kebiasaan beribadah kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada selain-Nya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Sangat disayangkan, kebiasaan menyembelih untuk selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menjadi bagian dari ritual dan tradisi di sebagian masyarakat muslimin di negeri ini. Sebagai contoh, ritual untuk menolak bala yang dikhawatirkan menimpa daerah tertentu. Upacara ini diwujudkan dengan menyembelih seekor kerbau lalu mempersembahkan kepalanya kepada jin penguasa (menurut keyakinan mereka) di daerah itu

.

Kedua, menyembelih hewan dengan menyebut selain nama Allah subhaanahu wa ta’aalaa.


Al-Imam an-Nawawi rahimahullaahu telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menyembelih untuk selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa adalah menyembelih dengan menyebut selain nama Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Beliau juga menyebutkan bahwa tidak halal daging sembelihan tersebut. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Imam asy-Syafi’i rahimahullaahu. (Lihat Syarh Shahih Muslim)


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengabarkan bahwa ada seseorang yang dimasukkan ke dalam surga disebabkan seekor lalat, dan adapula orang yang dimasukkan ke dalam neraka juga disebabkan karena seekor lalat. Para sahabat pun bertanya-tanya, bagaimana bisa demikian?

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada dua orang yang melewati suatu perkampungan yang penduduknya memiliki sebuah berhala yang mereka ibadahi. Mereka tidak mengizinkan seorangpun melewati kampung tersebut sebelum dia mempersembahkan sesuatu (semacam sesajen) untuk berhala tadi.

Satu di antara dua orang tadi mengaku tidak memiliki sesuatu pun untuk dipersembahkan kepada berhala itu. Penduduk kampung itu tetap memaksanya, dan tidak mengapa walaupun hanya mempersembahkan seekor lalat. Akhirnya orang itu menuruti kemauan mereka, lalu dia membunuh seekor lalat dan mempersembahkannya kepada berhala tersebut. Dia pun diizinkan lewat. Namun akhirnya dia menjadi penghuni neraka.

Adapun orang yang satunya, dia tetap bersikeras tidak mau mempersembahkan sesuatu pun kepada berhala itu. Dia menegaskan bahwa dia tidak akan mempersembahkan sesuatu kepada siapapun selain Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Akhirnya penduduk kampung itupun membunuhnya, namun Allah subhaanahu wa ta’aalaa memberikan balasan kepadanya berupa surga. (HR. Ahmad)

Melaknat Kedua Orang Tua

Di dalam Al-Qur’an, perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua seringkali diletakkan beriringan dengan perintah untuk beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Setelah seseorang melaksanakan kewajiban terbesar (yaitu beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa), maka kewajiban besar berikutnya adalah berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ini menunjukkan bahwa kedua orang tua itu memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia di hadapan anak-anaknya.

Sebaliknya, durhaka kepada kedua orang tua merupakan dosa terbesar yang menduduki peringkat kedua setelah dosa menyekutukan Allah subhaanahu wa ta’aalaa (syirik).

Mencela kedua orang tua termasuk bagian dari perbuatan melaknat mereka. Juga termasuk salah satu bentuk sikap durhaka seorang anak kepada orang tuanya. Apakah mungkin ada seseorang yang tega mencela dan mencaci orang tuanya sendiri?

Mari kita perhatikan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut:

“Termasuk dosa besar adalah celaan seseorang kepada kedua orang tuanya. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang berani mencela kedua orang tuanya?’. Rasulullah menjawab, ‘Ya, yaitu ketika dia mencela ayah orang lain kemudian orang itu balas mencela ayahnya, dan atau ketika dia mencela ibu orang lain kemudian orang itu balas mencela ibunya.” (HR. Muslim)

Sehingga celaan seorang anak kepada orang tuanya itu tidak hanya sebatas celaan secara langsung di hadapan keduanya. Sikap seseorang yang mencela orang tua saudaranya, yang menyebabkan saudaranya itu membalas mencela orang tuanya, ini pun juga tergolong celaan kepada orang tua, walaupun itu terjadi secara tidak langsung.

Melindungi Pelaku Kejahatan

Islam adalah agama yang adil dan mendorong umatnya untuk berbuat adil. Setiap pelaku kejahatan sudah semestinya mendapatkan balasan dan hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang diperbuatnya. Ini semua telah diatur berdasarkan aturan syari’at yang mulia ini.

Oleh karena itulah orang yang melindungi pelaku kejahatan hingga akhirnya terbebas dari hukuman, atau mendapatkan hukuman yang lebih ringan (tidak setimpal) menurut hukum yang telah ditetapkan syari’at ini, maka berarti dia termasuk orang yang telah menghalangi diberlakukannya aturan syari’at yang wajib bagi umat Islam untuk menerapkannya.

Kalimat مُحْدِثًا آوَى (melindungi pelaku kejahatan) dalam hadits di atas, juga diriwayatkan dengan mem-fathah-kan huruf dal (مُحْدَثًا آوَى) yang berarti meridhai dan membela perbuatan مُحْدَثٌ (segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama ini (bid’ah) yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).

Dari makna inilah, sebagian ulama menyebutkan bahwa kejahatan itu tidak hanya dalam perkara fisik saja (pencurian, pembunuhan, dan sebagainya), namun juga termasuk kejahatan dalam masalah agama ini, yaitu dengan mengada-adakan syari’at baru dalam urusan agama yang tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Apapun bentuk kejahatan itu, ketika seseorang berupaya untuk melindungi pelakunya, maka dia terkenai ancaman akan dijauhkan dari rahmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa.

Mengubah Tanda di Muka Bumi

Islam sangat menjaga hak dan kehormatan umat manusia seluruhnya. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk berbuat zalim terhadap siapapun, baik terhadap orang kafir, terlebih lagi terhadap saudaranya sesama muslim. Seorang muslim juga dilarang mengganggu saudaranya, merugikan, menyusahkan, terlebih lagi mencelakakannya.

Perbuatan mengubah tanda-tanda di muka bumi, secara langsung maupun tidak, merupakan bentuk kezaliman kepada orang lain karena hal ini mengakibatkan orang tersebut mengalami kerugian dan kesusahan. Beberapa bentuk perbuatan yang digolongkan mengubah tanda-tanda di muka bumi antara lain:

Pertama, mengubah tanda (batas) tanah.

Contohnya seperti mengambil sebagian tanah tetangganya dengan cara menggeser tanda (semisal patok) batas tanah antara tanah miliknya dan milik tetangga. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang mengambil satu jengkal saja tanah (yang bukan miliknya) secara zhalim, maka akan dikalungkan padanya tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kedua, mengubah tanda, petunjuk, maupun rambu-rambu yang telah terpasang di suatu jalan. Misalnya ada sebuah rambu yang mencantumkan arah (ditandai dengan tanda panah) menuju kota tertentu, kemudian rambu tersebut dirubah sehingga menunjukkan arah yang salah. Hal ini mengakibatkan tersesatnya orang yang melakukan perjalanan menuju kota tersebut dengan bersandar pada rambu yang salah tadi.

Ketiga, memberikan petunjuk yang salah kepada orang yang bertanya tentang arah tempat tertentu kepadanya. Tentunya orang tersebut menjadi tersesat dan salah jalan karenanya.

Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepada kami, sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha Melimpahkan rahmat.

Wallahu a’lamu bish shawab.

Penulis: al-Ustadz Abu Abdillah Kediri hafizhahullaahu

BULETIN AL ILMU EDISI NO: 5/II/X/1433H

December 31, 2011

No comments:

Post a Comment