Pages

Friday, April 19, 2013

Kami Terpaksa menyertai pilihanraya dan parlimen..

bu Aisyah Muhammad Shukri's photo.
Bismillaah.

::: KAMI ‘TERPAKSA’ MENYERTAI PILIHAN RAYA & PARLIMEN! :::

Oleh: Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al-Imam

Al Ikrah atau “terpaksa” secara istilah berarti:
“Membawa seseorang untuk mengerjakan atau mengatakan sesuatu yang dia tidak ingin melakukannya”. 

Ini adalah definisi “terpaksa” menurut ilmu ushul fiqih.

Dengan pengertian ini berarti mesti ada pihak yang memaksa dan ada yang dipaksa. Dan mestinya orang yang memaksa mampu mengerjakan apa yang dikehendaki pada diri orang yang dipaksa. Itu karena lemahnya perlawanan orang yang dipaksa. 

Ini berdasarkan dalil dari Al Quran, Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa) akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An Nahl : 106)

Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Diangkat dari umatku (balasan) karena kesalahan, kelupaan dan yang dipaksa.” (HR. Thabrani dari Tsauban radliyallahu ‘anhu)

Ayat dan hadits tadi menunjukkan bahwa ada orang yang memaksa seorang Muslim untuk mengerjakan perbuatan haram atau perkataan yang haram.


Para ulama telah membagi keterpaksaan ini menjadi dua bagian:

[Pertama]
keterpaksaan orang yang mencari perlindungan.

Yaitu ketika seseorang diancam untuk dibunuh atau diancam dengan sesuatu yang dia tidak mampu untuk menanggungnya disertai sangkaan kuat bahwa ancaman tersebut sangat mungkin dilaksanakan. Maka pendapat para ulama dalam masalah ini nyaris sama karena inilah ulama belakangan melihat perlunya membagi masalah ini menjadi dua.

[Kedua]
Keterpaksaan orang yang tidak mencari perlindungan.

Batasannya ialah bila seseorang diancam dengan sesuatu yang tidak sampai menyebabkan binasa atau seorang yang memaksa tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk melakukan ancamannya.

~~~ Melakukan yang di-HARAM-kan dengan alasan terpaksa adalah boleh dengan syarat tadi. ~~~


»»»

Lantas kita tengok saudara-saudara kita ini. 

»» Kita katakan kepada mereka:

“Siapa yang telah memaksa kalian untuk berkecimpung melakukan kekufuran dalam pilihan raya?” 

»» Jika mereka katakan:

“Mereka telah memaksa kami.”

»» Kami jawab:

“Kenyataannya tidak ada paksaan terhadap kalian dan tidak terjadi satu jenis pun pemaksaan, tidak yang besar tidak pula yang kecil. Karena memang tidak ada orang yang memaksa. Justru kalianlah yang menyerukan pilihan raya (demokrasi, ed.) dan mencari-cari dalil (untuk membolehkannya) dan memerangi orang yang menyelisihi kalian dalam pemahaman tersebut.

Maka pernyataan bahwa kalian “dipaksa” adalah pengakuan yang batil.
Kalau pengakuan mereka terbukti batil lantas apa maksud dari segala publikasi dan propaganda kalian ini? (Yakni bahwa kalian terpaksa). 

Jawabnya adalah dalam rangka melegalkan sikap-sikap mereka dan memperdaya masyarakat umum. Sehingga bila gagal mereka pun “dimaafkan” oleh masyarakat.

Andai yang mereka maksud dengan kata “terpaksa” adalah: 
“Kami tidak menyukainya namun desakan situasilah yang menuntut kami untuk terjun ke dalam pemilu.”

Tentang ini, sebentar lagi akan ada jawabannya dengan rinci. Akan tetapi di sini ada satu pertanyaan, kenapa kalian menempatkan kaidah syar’i tidak pada tempatnya? 

Bukankah ini berarti mempermainkan kaidah-kaidah syar’i agar sebagiannya bercampur baur dengan yang lain? 

Jawabannya, begitulah keadaan mereka. 

Allah-lah tempat mengadu.


Dinukil dari buku:
| Menggugat Demokrasi dan Pemilu. 

Judul asli:
| Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat

Penerbit:
Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate.

Sumber:
| ulamasunnah(dot)wordpress(dot)com
Bismillaah.

::: KAMI ‘TERPAKSA’ MENYERTAI PILIHAN RAYA & PARLIMEN! :::

Oleh: Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al-Imam
Al Ikrah atau “terpaksa” secara istilah berarti:
“Membawa seseorang untuk mengerjakan atau mengatakan sesuatu yang dia tidak ingin melakukannya”.

Ini adalah definisi “terpaksa” menurut ilmu ushul fiqih.

Dengan pengertian ini berarti mesti ada pihak yang memaksa dan ada yang dipaksa. Dan mestinya orang yang memaksa mampu mengerjakan apa yang dikehendaki pada diri orang yang dipaksa. Itu karena lemahnya perlawanan orang yang dipaksa.

Ini berdasarkan dalil dari Al Quran, Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa) akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An Nahl : 106)

Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Diangkat dari umatku (balasan) karena kesalahan, kelupaan dan yang dipaksa.” (HR. Thabrani dari Tsauban radliyallahu ‘anhu)

Ayat dan hadits tadi menunjukkan bahwa ada orang yang memaksa seorang Muslim untuk mengerjakan perbuatan haram atau perkataan yang haram.


Para ulama telah membagi keterpaksaan ini menjadi dua bagian:

[Pertama]
keterpaksaan orang yang mencari perlindungan.

Yaitu ketika seseorang diancam untuk dibunuh atau diancam dengan sesuatu yang dia tidak mampu untuk menanggungnya disertai sangkaan kuat bahwa ancaman tersebut sangat mungkin dilaksanakan. Maka pendapat para ulama dalam masalah ini nyaris sama karena inilah ulama belakangan melihat perlunya membagi masalah ini menjadi dua.

[Kedua]
Keterpaksaan orang yang tidak mencari perlindungan.

Batasannya ialah bila seseorang diancam dengan sesuatu yang tidak sampai menyebabkan binasa atau seorang yang memaksa tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk melakukan ancamannya.

~~~ Melakukan yang di-HARAM-kan dengan alasan terpaksa adalah boleh dengan syarat tadi. ~~~


»»»

Lantas kita tengok saudara-saudara kita ini.

»» Kita katakan kepada mereka:

“Siapa yang telah memaksa kalian untuk berkecimpung melakukan kekufuran dalam pilihan raya?”

»» Jika mereka katakan:

“Mereka telah memaksa kami.”

»» Kami jawab:

“Kenyataannya tidak ada paksaan terhadap kalian dan tidak terjadi satu jenis pun pemaksaan, tidak yang besar tidak pula yang kecil. Karena memang tidak ada orang yang memaksa. Justru kalianlah yang menyerukan pilihan raya (demokrasi, ed.) dan mencari-cari dalil (untuk membolehkannya) dan memerangi orang yang menyelisihi kalian dalam pemahaman tersebut.

Maka pernyataan bahwa kalian “dipaksa” adalah pengakuan yang batil.
Kalau pengakuan mereka terbukti batil lantas apa maksud dari segala publikasi dan propaganda kalian ini? (Yakni bahwa kalian terpaksa).

Jawabnya adalah dalam rangka melegalkan sikap-sikap mereka dan memperdaya masyarakat umum. Sehingga bila gagal mereka pun “dimaafkan” oleh masyarakat.

Andai yang mereka maksud dengan kata “terpaksa” adalah:
“Kami tidak menyukainya namun desakan situasilah yang menuntut kami untuk terjun ke dalam pemilu.”

Tentang ini, sebentar lagi akan ada jawabannya dengan rinci. Akan tetapi di sini ada satu pertanyaan, kenapa kalian menempatkan kaidah syar’i tidak pada tempatnya?

Bukankah ini berarti mempermainkan kaidah-kaidah syar’i agar sebagiannya bercampur baur dengan yang lain?

Jawabannya, begitulah keadaan mereka.

Allah-lah tempat mengadu.


Dinukil dari buku:
| Menggugat Demokrasi dan Pemilu.

Judul asli:
| Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat

Penerbit:
Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate.

Sumber:
| ulamasunnah(dot)wordpress(dot)com

No comments:

Post a Comment