Ruju’ Kepada Kebenaran adalah Ciri Ahlus Sunnah
Dakwah Salafiyyah sejak dulu tidak pernah terikat dengan pribadi manapun kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam. Dakwah Salafiyyah juga tidak pernah terikat dengan organisasi apapun. Dakwah ini hanya terikat dengan Al Quran dan As Sunnah di atas pemahaman para shahabat radiyallahu ‘anhum dan seluruh Salafus Shalih yang dibawa para Ulama Ahlus Sunnah.
Pengikut dakwah Salaf Ahlussunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang paling bersemangat untuk mengkaji ilmu dan mengamalkannya di atas sumber-sumber tersebut. Karena itu, mereka senantiasa berjalan di atas ilmu dan bimbingan para ulama.
Namun para Salafiyyun (pengikut dakwah Salafiyah) bukanlah orang-orang yang ma’shum yang terbebas dari kesalahan. Mereka sangat mungkin untuk tergelincir dalam berbagai kesalahan dan penyimpangan Dan sebagai realisasi dari sikap tunduk mereka di hadapan kebenaran, setiap terjadi penyimpangan dari jalan yang lurus atau penentangan terhadap ulama, segeralah mereka saling mengingatkan dan meluruskannya. Sehingga kritik, koreksi, teguran, atau bantahan ilmiah adalah sesuatu yang sangat wajar dalam sejarah perjalanan dakwah ini. Sebaliknya sikap taqlid, membebek dan ikut-ikutan sama sekali tidak dikenal oleh Ahlussunnah dan Salafiyyun.
Hidupnya budaya kritik ilmiah akan memperlihatkan siapa yang benar-benar berdiri sebagai Ahlussunnah dan siapa yang hanya ikut-ikutan. Bagi mereka yang menolak kritik dan tidak mau rujuk pada kebenaran, maka mereka adalah pengikut hawa nafsu atau ahlul ahwa. Bagi Ahlus Sunnah, teguran dan kritik akan segera membawanya kembali kepada Al Haq. Sedangkan pengikut hawa nafsu, mereka akan menentang ilmu dan nasehat ulama dengan berbagai alasan. Mereka berani menarik-narik makna ayat dan hadits agar mencocoki hawa nafsu, bahkan berani mencela para ulama agar ditolak fatwanya.
Dengan prinsip ini, maka kami membuat pernyataan ruju kepada kebenaran dan kembali kepada prinsip dakwah Salafiyyah setelah kami mengalami berbagai ketergelinciran. Yakni saat kami menjalani jihad di Ambon (Maluku) dan Poso (Sulteng), karena dalam jihad tersebut kami banyak terjatuh pada penyimpangan-penyimpangan lain yang tidak sejalan dengan Manhaj Salaf.
Tanpa terasa kami terjerumus ke dalam berbagai penyimpangan yang bermuara pada satu titik yaitu politik massa atau penggunaan potensi massa dalam perjuangan. Sungguh kesesatan seperti inilah yang terjadi pada Ahlul bid’ah dan hizbiyyun dari kalangan Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyin (pengikut Sayyid Quthb) dan Sururiyyin (pengikut Muhammad Surur) dan lain-lain. Dengan penyimpangan yang kami jalani saat itu, muncullah tindakan-tindakan persis seperti yang dilakukan Ikhwanul Muslimin, diantaranya:
- Sistem komando yang meluas menjadi organisasi yang digerakkan dengan sistim imarah dan bai’at
- Lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas dalam organisasi
- Demonstrasi, unjuk rasa dan yang sejenisnya menjadi hal yang biasa
- Mencari dukungan politis dari berbagai kelompok dengan tidak memperhatikan apakah mereka Ahlus Sunnah, orang awam atau Ahlul Bid’ah
- Dari sinilah timbul ide untuk mengadakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) dengan mengundang tokoh-tokoh politik dan Ahlul Bid’ah
- Mulai menggampangkan dusta dengan dalih bahwa perang adalah tipu daya
- Bermudah-mudahan dalam maksiat seperti fotografi dan ikhtilath karena mengimbangi orang awam
- Mengingkari kemungkaran dengan menggunakan gerakan massa dan kekerasan dan seterusnya
Kemudian datanglah teguran dari para ulama dengan harapan agar kami kembali kepada Manhaj Salaf dalam dakwah dan jihad serta membubarkan diri dari Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama’ah (FKAWJ) dan Laskar Jihadnya (LJ). Maka karena kami memulai Jihad ini dengan bimbingan para ulama, maka bubarpun juga dengan bimbingan para ulama.
Tidak cukup hanya membubarkan diri dan meninggalkan penyimpangan-penyimpangan yang kami telah terjerumus padanya, namun kami mempunyai. kewajiban untuk menerangkan kepada masyarakat bahwa apa yang kami lakukan dahulu bukanlah dari Manhaj Salaf Karena ketika itu kita mengibarkan bendera Dakwah Salafiyyah dan Ahlus Sunnah, maka kami khawatir penyimpangan-penyimpangan tersebut dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai bagian dari Dakwah Salafiyyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Inilah sesungguhnya yang paling penting!
Untuk itulah saya (Muhammad Umar as Sewed) sebagai salah satu mantan dari Dewan Ustadz di FKAWJ yang membawahi LJ, menerjemahkan buku berjudul Al Wardul Maqtuf fi Wujubi Tha’ati Wulati Amril Muslimin Bil Ma’ruf, yang ditulis oleh Syaikh Abu Abdirrahman Fauzi al Atsari *), yang berisi tentang bagaimana seharusnya seorang Salafi Ahlussunnah bersikap kepada penguasanya.
Ini merupakan salah satu realisasi dari sikap rujuk kami.
Dalam buku ini dimuat prinsip-prinsip Ahlus SUnnah yang berkaitan dengan tatacara memberi nasihat dan beramar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Juga diterangkan tentang kewajiban taat kepada penguasa selama perintahnya bukan berupa kemaksiatan. Mudah-mudahan dengan ini kita telah melaksanakan kewajiban yang Allah perintahkan kepada orang yang terjatuh dalam kesalahan dan penyimpangan, sebagaimana firman Nya.
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَٰئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ ۚ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [QS Al Baqarah: 160]
Dengan demikian apa yang telah kami lakukan, yang bertentangan dengan prinsip-prinsi Manhaj Salaf, kami bertaubat kepada ALlah dan menyatakan dengan tegas bahwa itu bukan Manhaj Ahlus Sunnah, tetapi kekeliruan dan ketergelinciran kami. Hujjah tetap pada Al Quran dan As Sunnah, bukan pada apa yang dilakukan oleh FKAWJ atau LJ atau siapapun yang mengaku Ahlus Sunnah.
Akhirnya, kami – bersama segenap para ustadz yang dulu terlibat dalam FKAWJ/LJ – berharap kepada Allah agar mengampuni kita semua. menerima amal ibadah dan jihad kita dan membalasnya dengan kebaikan-kebaikan dan Jannah. Juga kami memohon maaf kepada semua pihak dari kaum muslimin umumnya dan Salafiyyin khususnya atas kesalahan kami pada masa lalu itu.
(Dikutip dari terjemahan Al Ward Al Maqtuf fi Wujubi Tha’ati Wulati Amri Al Muslimina bi Al Ma’ruf, penulisan Abu Abdirrahman Fauzi al Atsari. Pengantar oleh Asy Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan. Penerbit Maktabah Ahlul Hadtis 1419 H, Bahrain bekerjasama dengan Maktabah At Taubah, Riyadh.
Edisi Indonesia Meredam Amarah terhadap Pemerintah, Menyikapi Kejahatan Penguasa Menurut Al Quran dan As Sunnah. Penerjemah Al Ustadz Abu Ibrahim Muhammad Umar As Sewed. Penerbit Pustaka Sumayyah, Jl. Mangga Komplek Pasar Banjarsari Blok F Lantai 1 no 10-11 Pekalongan Tel (0285) 429410 HP/SMS 081 5872 1440. Email pustakasumayyah@plasa.com. Cetakan Pertama, Muharram 1427 H/Februari 2006)
Catatan Penting
Pernyataan taubat ini sesungguhnya telah lama saya tulis, namun sayang sekali karena satu dan lain hal buku yang memuat taubat tersebut tak kunjung diterbitkan oleh Maktabah Salafy Press, sampai dengan tutupnya penerbit Maktabah Salafy Press.
Alhamdulillah, buku tersebut akhirnya diterbitkan oleh Pustaka Sumayyah. Namun sangat disayangkan kembali terlambatnya penerbitan buku terjemah ini sampai pada waktu penulisnya (Syaikh Fauzi Al Atsary) mendapatkan teguran dari syaikh Rabi’ ibn Hadi al Madkhali, (dari Sahab.net).
Mengingat buku ini adalah buku yang bagus dan dipuji syaikh Shalih bin
Fauzan Al Fauzan dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat kaum muslimin secara umum dan khususnya orang-orang yang sedang berupaya menelusuri jejak Sunnah, maka saya menerjemahkannya sebagai teguran dan perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan yang pernah kami lakukan di masa Laskar Jihad, bahkan kami memuat waktu itu pujian-pujian para ulama pada penulis buku tersebut. Maka dengan catatan ini saya menyatakan berlepas diri dari kesalahan dan
penyimpangan Syaikh Fauzi Al Atsary yang terjadi kemudian.
Cirebon, 8 Mei 2006
Muhammad Umar As-Sewed
Sumber: http://www.salafy.or.id/2006/06/27/ruju/
No comments:
Post a Comment