[Diangkat dari tesis kami yang berjudul Mazhâhir al-Inhirâf fî Tauhîd al-’Ibâdah ladâ Ba’dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islam minhâ (hal. 974-990)]
“RIWAS (Ritual Ziarah Wali Songo)” sebuah istilah yang amat familiar di telinga sebagian kalangan. Mereka seakan mengharuskan diri untuk melakukannya, minimal sekali setahun. Apapun dilakukan demi mengumpulkan biaya perjalanan tersebut. Manakala ditanya, apa yang dilakukan di sana? Amat beragam jawaban mereka. Ada yang ingin shalat, berdoa untuk kenaikan pangkat, kelancaran rezeki atau agar dikaruniai keturunan dan lain-lain.
Kepada siapa meminta? Ada yang terang-terangan meminta kepada mbah wali. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa ia tetap meminta kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, tapi supaya cepat dikabulkan mereka sengaja memilih makam orang-orang ‘linuwih’ tersebut.
Yang akan dibahas dalam tulisan sederhana berikut bukan hukum ziarah kubur. Karena itu telah maklum disunnahkan dalam ajaran Islam, jika sesuai dengan adab-adab yang digariskan. Namun, yang akan dicermati di sini adalah: hukum shalat di kuburan dan berdoa di sana. Semoga paparan berikut bermanfaat!
PERTAMA: SHALAT DI KUBURAN
Shalat di kuburan hukumnya haram, bahkan sebagian ulama mengategorikannya dosa besar.[1] Praktik ini bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik dan tindakan menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena itulah, agama kita melarang praktik tersebut. Amat banyak nash dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan hal tersebut. Di antaranya:
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya. (H.R. Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad radhiallahu ‘anhu)
Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat menghadap ke arah kuburan. Imam Syâfi’i rahimahullah mengatakan, ‘Aku membenci tindakan pengagungan makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya.”[2]
Al-‘Allâmah al-Munawy rahimahullah (w. 1031 H) menambahkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan; dalam rangka mengingatkan umatnya agar tidak mengagungkan kuburannya, atau kuburan para wali selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, bisa jadi mereka akan berlebihan hingga menyembahnya.”[3]
Berdasarkan hukum asal, larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menunjukkan bahwa perbuatan yang dilarang hukumnya adalah haram. Demikian keterangan dari Imam ash-Shan’any rahimahullah (w. 1182 H).[4]
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan. (H.R. Bukhâri (I/528-529 no. 432) dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma)
Hadits ini menerangkan agar rumah jangan dikosongkan dari shalat, sebab rumah yang tidak dipakai untuk shalat, terutama shalat sunnah, bagaikan kuburan yang memang bukan tempat untuk shalat.
Imam al-Baghawy rahimahullah (w. 510 H), setelah membawakan hadits di atas, menyimpulkan, “Hadits ini menunjukkan, bahwa kuburan bukanlah tempat untuk shalat.”[5]
Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Ibn Batthal rahimahullah (w. 449 H)[6] dan Ibn Rajab rahimahullah (w. 795 H).[7]
Ibnu Hajar al-‘Asqalany rahimahullah (w. 852 H) menyimpulkan lebih luas lagi. Kata beliau rahimahullah, “Kuburan bukanlah tempat untuk beribadah.”[8]
Sabda Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
Bumi seluruhnya adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan kamar mandi. (H.R. Ahmad (XVIII/312 no. 11788) dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu. Sanadnya dinilai kuat oleh al-Hâkim[9], Ibnu Taimiyyah rahimahullah [10] dan al-Albâni.[11]
Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah (w. 620 H) menjelaskan, bahwa bumi secara keseluruhan bisa menjadi tempat shalat kecuali tempat-tempat yang terlarang untuk shalat di dalamnya, seperti kuburan. [12]
Keterangan serupa juga disampaikan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah[13] dan al-Hâfizh al-‘Iraqi rahimahullah (w. 806 H) [14].
4. Doa Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah. Allâh sangat murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka masjid. [15]
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah (w. 463 H) menerangkan, “Dahulu orang Arab shalat menghadap berhala dan menyembahnya. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa khawatir umatnya akan melakukan apa yang dilakukan umat sebelum mereka. Biasanya, jika nabi mereka wafat, mereka akan berdiam di sekeliling kuburannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap berhala. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah”, dengan bershalat menghadap kepadanya, sujud ke arahnya dan menyembah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala sangat murka atas orang yang melakukan hal itu.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan para sahabat dan umatnya agar tidak terjerumus kepada perilaku buruk kaum terdahulu. Mereka shalat menghadap kuburan para nabi dan menjadikannya sebagai kiblat dan masjid. Sebagaimana praktik para pemuja berhala terhadap berhala mereka. Ini merupakan syirik akbar!”[16]
5. Hadits-hadits yang berisikan larangan untuk menjadikan kuburan sebagai masjid. Di antaranya yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Semoga Allâh membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. (H.R. Bukhari (I/531 no. 437) dan Muslim (I/376 no. 530) dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menuturkan, bahwa hadits di atas mengandung “larangan untuk sujud di atas kuburan para nabi. Semakna dengan itu juga haramnya sujud kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Hadits ini juga bisa diartikan larangan untuk menjadikan kuburan para nabi sebagai kiblat shalat. Setiap makna dalam bahasa Arab yang terkandung dalam hadits ini; maka itu termasuk perbuatan yang terlarang.”[17]
Setelah membawakan salah satu hadits yang berisikan larangan membangun masjid di atas kuburan, Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah (w. 804 H) berkata, “Hadits ini dalil dibencinya shalat di kuburan … Baik shalat di atasnya, di sampingnya atau menghadap ke arahnya. Tidak ada bedanya, semuanya dibenci (agama).”[18]
Hikmah di balik terlarangnya shalat di kuburan.
Para ulama Islam sepakat, bahwa menyengaja shalat di kuburan adalah terlarang.[19] Tidak ada yang membolehkannya, apalagi menganjurkannya. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam menentukan ‘illah (sebab) terlarangnya perbuatan tersebut;[20]
Sebagian ulama memandang, bahwa sebabnya adalah karena kuburan identik dengan najis. Sebab tanahnya bercampur dengan nanah bangkai manusia.
Adapun ulama lainnya berpendapat, bahwa sebabnya adalah karena kekhawatiran akan terjerumusnya umat ini ke dalam kesyirikan.
Di antara yang memilih pendapat kedua ini: Abu Bakr al-Atsram (w. 273)[21], al-Mawardy (w. 450 H)[22], Ibn Qudamah[23], Ibn Taimiyyah (w. 728 H)[24], as-Suyuthy (w. 911 H)[25] dan yang lainnya.
Setelah menjelaskan bahwa maksud utama dilarangnya shalat di kuburan adalah karena dikhawatirkan akan mengakibatkan tindak menjadikan kuburan sebagai berhala, Imam as-Suyuthy memperjelas, “Inilah sebab mengapa syariat melarang perbuatan tersebut. Dan ini pula yang menjerumuskan banyak orang terdahulu ke dalam syirik akbar atau di bawahnya.
Tidak jarang engkau dapatkan banyak kalangan sesat yang amat merendahkan diri di kuburan orang salih, khusyu’, tunduk dan menyembah mereka dengan hati. Bentuk peribadahan yang tidak pernah mereka lakukan, sekalipun di rumah-rumah Allâh; masjid! …
Inilah mafsadah yang sumbernya dicegah oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Hingga beliau melarang secara mutlak shalat di kuburan, sekalipun tujuannya bukan untuk mencari berkah tempat tersebut. Demi menutup pintu yang menghantarkan kepada kerusakan pemicu disembahnya berhala.”[26]
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sebab larangan adalah karena kuburan tempat yang najis, maka ini kurang pas dan tidak didukung oleh nash. Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) telah berpanjang lebar dalam menjelaskan hal itu. Di antara argumen yang beliau paparkan:
Seluruh hadits yang berisikan larangan shalat di kuburan tidak membedakan antara kuburan yang baru maupun kuburan lama yang digali kembali.
Tempat masjid Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dahulunya adalah kuburan kaum musyrikin. Sebelum dibangun masjid di atasnya, beliau memerintahkan agar kuburan tersebut digali lalu tanahnya diratakan kembali. Dan beliau tidak menyuruh supaya tanahnya dipindahkan. Bahkan setelah diratakan, langsung dipakai untuk shalat.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan Nasrani lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid. Telah maklum dengan jelas bahwa larangan itu bukan karena najis, karena jika demikian niscaya larangan tersebut tidak khusus untuk kuburan para nabi. Apalagi kuburan mereka adalah tempat yang suci, dan tidak mungkin dianggap najis, karena Allâh melarang bumi untuk memakan jasad mereka.[27]
Berbagai jenis orang yang shalat di kuburan dan hukum masing-masing:
Pertama: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan mempersembahkan shalatnya untuk sahibul kubur.
Ini jelas masuk dalam kategori syirik akbar; karena ia telah mempersembahkan ibadah kepada selain Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala menegaskan,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Artinya: “Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allâh. Maka janganlah kalian menyembah apa pun selain Allâh.” Q.S. Al-Jinn: 18.
Kedua: Shalat di kuburan dengan tujuan ber-tabaruk dengan tempat tertentu darinya.
Ini termasuk bid’ah yang mungkar dan penyimpangan dari ajaran Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Baik kuburan tersebut berada di arah kiblatnya maupun tidak, karena itu termasuk mengada-ada dalam praktik beribadah.
As-Suyuthy menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan terkabulnya doa di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah dalam agama yang tidak dizinkan Allâh, Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, maupun para imam kaum muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.”[28]
Ibn Hajar al-Haitamy (w. 974 H)[29] , al-Munawy[30] dan ar-Rumy (w. 1043 H)[31] juga menyampaikan keterangan senada.
Ketiga: Shalat di kuburan tanpa di sengaja, hanya karena kebetulan bertepatan dengan masuknya waktu shalat. Tanpa ada tujuan ngalap berkah darinya atau mempersembahkan ibadah untuk selain Allâh.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.[32] Namun, yang lebih kuat adalah pendapat yang melarang, karena larangan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersifat umum serta demi menutup rapat pintu yang menghantar kepada kesyirikan. Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana dijelaskan Imam Ibn al-Mundzir (w. 319 H).[33]
Keempat: Shalat di kuburan dengan tujuan shalat jenazah.
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berikut menunjukkan bolehnya hal itu,
أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا، فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ، فَقَالُوا: “مَاتَ”. قَالَ: “أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي؟”. قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ. فَقَالَ: “دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ!”. فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَ: “إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ”.
“Dikisahkan seorang wanita hitam atau pemuda biasa menyapu masjid. Suatu hari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kehilangan dia, sehingga beliaupun menanyakannya.
‘Dia sudah meninggal’ jawab para sahabat.
‘Mengapa kalian tidak memberitahuku?’
Mereka seakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap orang tersebut.
Beliau berkata, ‘Tunjukkan padaku di mana kuburannya?’
Setelah ditunjukkan beliau shalat atasnya, lalu bersabda, ‘Sesungguhnya para penghuni kuburan ini diliputi kegelapan. Sekarang Allâh meneranginya lantaran aku shalat atas mereka.’” H.R. Bukhari (I/551 no. 438) dan Muslim (II/659 no. 956) dengan redaksi Muslim.
POIN KEDUA: BERDOA DI KUBURAN
Sebagaimana telah maklum bahwa doa merupakan salah satu ibadah yang amat agung dalam agama Islam. Allâh telah memotivasi umat manusia untuk memohon pada-Nya dan berjanji untuk mengabulkan permohonan mereka. Namun di lain sisi, Dia telah mensyariatkan berbagai adab dalam berdoa. Di antaranya: menentukan tempat dan waktu pilihan, yang lebih mustajab.
Namun, setan berusaha menyesatkan para hamba dengan mengiming-imingi mereka tempat dan waktu yang diklaim mustajab, padahal tak ada petunjuk agama tentangnya. Tidak sedikit manusia yang terjerat ranjau tersebut. Sehingga mereka lebih memilih berdoa di kuburan dan tempat-tempat keramat, dibanding berdoa di masjid. Lebih parah lagi, ada yang begitu khusyu’ menghiba dan memohon kepada sahibul kubur! Alih-alih mendoakan si mayit, malah berdoa kepadanya!
Dalil yang menunjukkan bid’ahnya menyengaja berdoa di kuburan untuk diri peziarah:
Pertama: Doa merupakan salah satu ibadah mulia, dan sebagaimana telah maklum bahwa ibadah apapun tidak akan diterima Allâh kecuali jika memenuhi dua syarat; ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.
Andaikan berdoa di kuburan merupakan ibadah, mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengajarkannya kepada umat? Kenapa pula para salafus salih tidak mempraktikkannya? Tidak ada dalil dari Alquran, maupun hadits sahih yang menunjukkan bahwa kuburan merupakan tempat favorit untuk berdoa. Ditambah dengan begitu banyaknya kitab yang ditulis para ulama guna menjelaskan adab berdoa, tidak ada satupun di antara salafus salih dan ulama yang mu’tabar yang mengatakan disyariatkannya berdoa di kuburan.
Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut adalah bid’ah. Andaikan itu baik, niscaya mereka ada di garda terdepan dalam mempraktikkannya.
Kedua: Usaha para sahabat untuk melarang praktik doa di kuburan dan segala sesuatu yang bisa mengantarkan ke sana. Berikut fakta nyatanya:
a. Para sahabat “ketika menaklukkan negeri Syam, Irak dan yang lainnya, jika menemukan kuburan yang dituju orang-orang untuk berdoa di situ, mereka akan menutupnya.”[34]
b. Para sahabat ketika menaklukkan Baitul Maqdis, mereka tidak bergegas untuk menuju makam Nabi Ibrahim ‘alaihiwssalam atau nabi lainnya, guna berdoa atau shalat di situ. Begitu pula para ulama salaf sesudah mereka berbuat. Imam Ibn Waddhah (w. 286 H) menerangkan, Sufyan ats-Tsaury (w. 161 H) jika masuk masjid Baitul Maqdis, beliau shalat di dalamnya. Dan beliau tidak menuju situs-situs itu ataupun shalat di sana. Begitu pula praktik para imam panutan selain beliau. Waki’ (w. 197 H) juga pernah mendatangi Masjid Baitul Maqdis, dan yang dilakukannya tidak lebih dari apa yang dilakukan Sufyan. Hendaklah kalian mengikuti para imam yang telah makruf. Orang terdahulu bertutur, “Betapa banyak praktik yang hari ini dianggap biasa, padahal dahulu dinilai mungkar. Disukai, padahal dulu dibenci. Dianggap taqarrub, padahal justru sejatinya menjauhkan (pelakunya dari Allâh). Setiap bid’ah selalu ada yang menghiasinya.”[35]
c. Para sahabat ketika menaklukkan kota Tustur dan mendapatkan jasad Nabi Danial ‘alaihissalam, mereka menggali tiga belas liang kubur di berbagai tempat, lalu memakamkan Danial di salah satunya di malam hari. Setelah itu seluruh kuburan tersebut disamakan, agar orang-orang tidak tahu manakah makam beliau.[36]
Ketiga: Para ulama salaf membenci tindak menyengaja berdoa di kuburan dan menilainya sebagai bentuk bid’ah. Berikut buktinya:
a. Diriwayatkan bahwa suatu hari Zainal Abidin (w. 93 H) melihat seseorang masuk ke salah satu pojok di makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam lalu berdoa di situ. Zainal Abidin pun memanggilnya seraya berkata, “Maukah kuberitahukan padamu suatu hadits yang aku dengar dari bapakku, dari kakekku, dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam? Beliau bersabda, “Janganlah kalian jadikan kuburanku ‘ied (tempat yang dikunjungi rutin secara berkala) dan rumah kalian kuburan. Bershalawatlah untukku, sesungguhnya shalawat dan salam kalian akan sampai padaku di manapun kalian berada”.[37]
b. Suhail bercerita bahwa di suatu kesempatan ia datang ke makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam untuk mengucapkan salam pada beliau. Saat itu al-Hasan bin al-Hasan (w. 97 H) sedang makan di salah satu rumah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau memanggilku dan menawariku makan. Namun aku tidak makan. Beliau bertanya, “Mengapa aku tadi melihatmu berdiri?”. “Aku berdiri untuk mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam” jawabku. Beliau menimpali, “Jika engkau masuk masjid, ucapkanlah salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Sesungguhnya beliau telah bersabda, “Shalatlah di rumah dan jangan kalian jadikan rumah seperti kuburan. Allâh melaknat kaum Yahudi, lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi mereka menjadi masjid. Bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai padaku di manapun kalian berada.”[38]
Dua atsar di atas menunjukkan bahwa menyengaja memilih makam Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sebagai tempat berdoa, termasuk tindak menjadikannya sebagai ‘ied. Dan ini terlarang. Cermatilah bagaimana tabi’in paling afdhal dari kalangan Ahlul Bait; Zainal Abidin, melarang orang yang menyengaja berdoa di makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam, dan berdalil dengan hadits yang ia dengar dari bapaknya dari kakeknya. Beliau tentu lebih paham akan makna hadits tersebut, dibanding orang lain. Begitu pula keponakannya; al-Hasan bin al-Hasan; salah satu pemuka Ahlul Bait memahami hal serupa.
Keterangan di atas bersumber dari Ahlul Bait dan penduduk kota Madinah. Nasab dan tempat tinggal mereka lebih dekat dengan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Mereka jelas lebih cermat dalam memahami permasalahan ini, karena mereka lebih membutuhkan ilmu tentang itu dibanding yang lainnya.[39]
c. Di antara fakta yang menunjukkan bahwa ulama salaf menilai tindak menyengaja berdoa di kuburan termasuk bid’ah, mereka telah menyatakan bahwa jika seseorang telah mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di makamnya lalu ingin untuk berdoa untuk dirinya sendiri, hendaklah ia berpaling dan menghadap kiblat serta tidak menghadap makam beliau. Dan ini merupakan pendapat empat imam mazhab dan ulama Islam lainnya.[40]
Padahal Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling mulia. Bagaimana halnya dengan makam selain beliau yang kemuliaannya jauh di bawah beliau??!
Abul Hasan az-Za’farany (w. 517 H) menerangkan, “Barangsiapa bermaksud mengucapkan salam kepada mayit, hendaklah ia mengucapkannya sambil menghadap ke kuburan. Jika ia ingin berdoa hedaklah berpindah dari tempatnya dan menghadap kiblat.”[41]
Keempat: Sebagaimana telah dijelaskan di depan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melarang shalat di kuburan atau menghadap ke arahnya. Hikmahnya agar orang tidak terfitnah dengan kuburan. Doa di kuburan lebih pantas untuk dilarang, sebab peluang untuk menimbulkan fitnahnya lebih besar.
Orang yang berdoa di kuburan dalam keadaan terpepet karena dililit masalah besar dan begitu berharap untuk dikabulkan, lebih besar peluangnya untuk terfitnah kuburan, dibanding orang yang shalat di situ dalam keadaan sehat wal afiat. Karena itu harus lebih dilarang agar orang tidak terjerumus ke dalam penyimpangan.[42]
Kelima: Di antara kaidah syariat yang telah disepakati para ulama; kaidah saddu adz-dzarâ’i’ (mencegah timbulnya kerusakan dengan menutup pintu yang menghantarkan kepadanya). Dan berdoa di kuburan sebagaimana telah maklum bisa mengantarkan kepada tindak memohon kepada sahibul kubur, dan ini merupakan kesyirikan. Jadi pintu yang menghantarkan ke sana harus ditutup rapat-rapat.[43]
Berbagai jenis orang yang berdoa di kuburan dan hukum masing-masing:
Doa di kuburan ada beberapa jenis:
Pertama: Doa untuk meminta hajat kepada sahibul kubur, entah itu nabi, wali atau yang lainnya. Ini jelas syirik akbar. Allâh Ta’ala memerintahkan,
وَاسْأَلُواْ اللّهَ مِن فَضْلِهِ
Artinya: “Mohonlah pada Allâh sebagian dari karunia-Nya.” Q.S. An-Nisa’: 32.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mewanti-wanti,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allâh. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allâh.” H.R. Tirmidzi (hal. 566 no. 2514 dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”.
Imam Ibn Abdil Hadi (w. 744 H) menerangkan bahwa berdoa memohon kepada selain Allâh hukumnya adalah haram dan dikategorikan syirik, berdasarkan ijma’ para ulama.[44]
Kedua: Menyengaja datang ke kuburan hanya untuk berdoa di situ, atau untuk ziarah kubur plus berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di situ lebih mustajab, karena keistimewaan yang dimiliki tempat tersebut. Berdoa di situ lebih afdal dibanding berdoa di masjid atau rumah.
Potret ini mengandung unsur kesengajaan memilih kuburan sebagai tempat untuk berdoa. Dan ini tidak akan dilakukan melainkan karena dorongan keyakinan akan keistimewaan tempat tersebut dan keyakinan bahwa tempat itu memiliki peran dalam menjadikan doa lebih mustajab. Karena itulah jenis kedua ini menjadi terlarang dan dikategorikan bid’ah.
Tatkala berbicara tentang hukum shalat di kuburan, Imam as-Suyuthy menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan terkabulnya doa di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah dalam agama yang tidak diizinkan Allâh, Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, maupun para imam kaum muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.”[45]
Ketiga: Berdoa di kuburan karena kebetulan, tanpa menyengaja. Seperti orang yang berdoa kepada Allâh di perjalanannya dan kebetulan melewati kuburan. Atau orang yang berziarah kubur terus mengucapkan salam kepada sahibul kubur, meminta keselamatan untuk dirinya dan para penghuni kubur, sebagaimana disebutkan dalam hadits.
Jenis doa seperti ini diperbolehkan. Hadits yang memotivasi untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur menunjukkan bolehnya hal itu.
Dalam hadits Buraidah bin al-Hushaib radhiyallahu ’anhu disebutkan,
أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ
“Aku memohon pada Allâh keselamatan untuk kami dan kalian.” H.R. Muslim (II/671 no. 975).
Dalam hadits Aisyah radhiyallahu ’anha disebutkan,
وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ
“Semoga Allâh merahmati orang-orang terdahulu kami dan yang akan datang.” H.R. Muslim (II/671 no. 974).
Doa yang tidak ada unsur kesengajaan biasanya pendek, sebagaimana disebutkan dalam dua hadits di atas.
Jika ada yang ingin mempraktikkan doa jenis ketiga ini, sebaiknya ia mencukupkan diri dengan doa dan salam yang diajarkan dalam sunnah dan tidak menambah-nambahinya. Karena para ulama salaf membenci berdiam lama di kuburan.
Imam Malik (w. 179 H) berkata, “Aku memandang tidak boleh berdiri untuk berdoa di kuburan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun cukup mengucapkan salam lalu berlalu.”[46]
Wallahu ta’ala a’lam.
Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, Rabu, 25 Mei 2011.
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/aqidah/shalat-dan-berdoa-di-kuburan.html
[1] Lihat: Az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâ’ir karya Ibn Hajar al-Haitamy (I/148).
[2] Syarh Shahîh Muslim (VII/42).
[3] Faidh al-Qadîr (VI/318).
[4] Lihat: Subul as-Salâm (I/403).
[5] Syarh as-Sunnah (II/411).
[6] Lihat: Syarh Shahih al-Bukhary (II/86).
[7] Lihat: Fath al-Bary karya Ibn Rajab (III/232).
[8] Fathul Bâri karya beliau (I/528).
[9] Al-Mustadrak (I/251).
[10] Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/189).
[11] Irwâ’ al-Ghalîl (I/320).
[12] Lihat: Al-Mughny (II/472).
[13] Cermati: Syarah Shahîh Muslim (V/5).
[14] Sebagaimana dinukil oleh al-Munawy dalam Faidh al-Qadîr (III/349).
[15] H.R. Malik dalam al-Muwattha’ (II/72 no. 452) dari ‘Atha’ bin Yasar rahimahullah. Hadits ini mursal sahih. Dalam Musnadnya (I/220 no. 440 –Kasyf al-Astâr) al-Bazzar menyambung sanad hadits ini hingga menjadi marfû’. Begitu pula Ibn ‘Abd al-Barr dalam at-Tamhîd (V/42-43) menyambungnya dari jalan al-Bazzar. Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini sahih dalam Tahdzîr as-Sâjid (hal. 25 no. 11) dan Ahkâm al-Janâ’iz (hal. 217).
[18] Al-I’lâm bi Fawâ’id ‘Umdah al-Ahkâm (IV/502).
[19] Cermati: Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488).
[20] Lihat: Al-Hâwiy al-Kabîr karya al-Mawardy (III/60), Radd al-Muhtâr karya Ibn ‘Abidin (II/42-43) dan Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/190).
[21] Sebagaimana dinukil Ibn al-Qayyim dalam Ighâtsah al-Lahfân (I/357).
[22] Periksa: Al-Hâwiy al-Kabîr (III/60).
[23] Cermati: Al-Mughny (II/473-474 dan III/441).
[24] Lihat: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/190-191).
[25] Baca: Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 136-139).
[26] Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 136-139).
[27] Lihat: Ighâtsah al-Lahfân (II/353-356). Masih ada argumen lain, bisa dibaca di Mujânabah Ahl ats-Tsubûr al-Mushallîn fî al-Masyâhid wa ‘inda al-Qubûr karya Abdul Aziz ar-Rajihy (hal. 28-30).
[28] Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193).
[29] Cermati: Az-Zawâjir (I/148).
[30] Periksa: Faidh al-Qadîr (VI/407).
[31] Lihat: Majâlis al-Abrâr (hal. 126, 358-359, 364-365) sebagaimana dalam Juhûd ‘Ulamâ’ al-Hanafiyyah fî Ibthâl ‘Aqâ’id al-Quburiyyah karya Syamsuddin al-Afghany (III/1593-1594).
[32] Untuk mengetahui pendapat mereka, baca; untuk referensi Madzhab Hanafi: Al-Ikhtiyâr li Ta’lîl al-Mukhtâr karya al-Mushily (I/97), Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (I/380), Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kasany (I/335-336) dan al-Mabsûth karya as-Sarkhasy (I/206-207). Madzhab Maliki: Al-Mudawwanah karya Abu al-Walid Ibn Rusyd (I/182) dan Mawâhib al-Jalîl karya al-Hathab (II/63-64). Madzhab Syafi’i: Al-Umm karya Imam Syafi’i (II/632), al-Muhadzab karya asy-Syirazy (I/215-216) dan al-Majmû’ karya an-Nawawy (III/163-165). Madzhab Hambali: Al-Mughny karya Ibn Qudamah (II/473-474), al-Inshâf karya al-Mardawy (I/489) dan ar-Raudh al-Murbi’ karya Ibn al-Qasim (I/537). Madzhab Dzahiri: Al-Muhallâ karya Ibn Hazm (IV/27-33).
[33] Cermati: Al-Ausath (V/185).
[34] Minhâj as-Sunnah karya Ibn Taimiyyah (II/438). Lihat: Ibid (I/480-481).
[35] Al-Bida’ wa an-Nahy ‘anhâ (hal. 50).
[36] Kisah tersebut disebutkan oleh Ishaq dalam Sirahnya riwayat Yunus bin Bukair (hal. 49). Juga disebutkan Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah dan beliau menyatakan bahwa sanadnya hingga Abu al-‘Aliyah sahih. Lalu beliau menyebutkan jalur-jalur periwayatan lain yang mengindikasikan bahwa kejadian tersebut benar adanya. Periksa: Al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/376-379), Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/199-200) dan Ighâtsah al-Lahfân (I/377).
[37] Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (V/177-178 no. 7624) dan ini adalah redaksi beliau. Juga diriwayatkan oleh Isma’il al-Qadhy dalam Fadhl ash-Shalat (hal. 35 no. 20) dan Abu Ya’la dalam Musnadnya (I/361 no. 469). Ibn Abdil Hadi dalam ash-Shârim al-Munky (hal. 468) berkata, “Kisah tersebut diriwayatkan Abu Ya’la dan al-Hafizh Abu Abdillah al-Maqdisy dalam al-Ahadîts al-Mukhtârah. Ini merupakan hadits yang mahfûzh dari Ali bin al-Husain Zainal Abidin dan memilik banyak syawâhid (riwayat penguat)”. Syaikh al-Albany menilainya sahih. Lihat: Fadhl ash-Shalat (hal. 36).
[38] Diriwayatkan oleh Isma’il al-Qadhy dalam Fadhl ash-Shalat (hal. 40 no. 30) dan ini adalah redaksi beliau. Diriwayatkan pula oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya (III/577 no. 6726) dan Ibn Abi Syaibah al-Mushannaf (V/178 no. 7625). Dua atsar di atas memiliki syâhid dari hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Abu Dawud (II/366 no. 2042) dan Ahmad (XIV/403 no. 8804). Dalam al-Adzkâr (hal. 173) Imam Nawawy menilai sanad hadits Abu Hurairah sahih dan diamini as-Sakhawy dalam al-Qaul al-Badî’ (hal. 312). Ibn Taimiyyah dalam ar-Radd ‘alâ al-Akhnâ’iy (hal. 92) dan Ibn Hajar sebagaimana dalam al-Futûhât ar-Rabbâniyyah (III/313) menyatakannya hasan. Adapun Ibn Abdil Hadi dan al-Albany menilainya sahih. Lihat: Ash-Shârim al-Munky (hal. 490) dan Shahîh al-Jâmi’ (II/706 no. 3785).
[39] Periksa: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/245) dan Ighâtsah al-Lahfân (I/362).
[40] Cermati: Al-Majmû’ (V/286), Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/239), Ighâtsah al-Lahfân (I/374) dan ad-Du’â’ wa Manzilatuh min al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah karya Jailan al-‘Arusy (II/614-616).
[41] Sebagaimana dinukil an-Nawawy dalam al-Majmû’ (V/286).
[42] Lihat: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/196-197).
[43] Baca: Minhâj as-Sunnah (II/439-440), Ighâtsah al-Lahfân (I/396, 398) dan ad-Du’â’ wa Manzilatuh (II/483-484).
[44] Cermati: Ash-Shârim al-Munky (hal. 543) dan Shiyânah al-Insân karya as-Sahsawany (hal. 234).
[45] Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193).
[46] Asy-Syifâ’ karya al-Qadhi ‘Iyadh (II/85).118
09-07-201