DARI status sosial, pemuda itu bukan lah dari golongan kolomerat, atau tokoh dari kaumnya. Dia tak ubahnya pemuda biasa, yang tidak memiliki sesuatu yang pantas dibanggakan dari segi materi. Masa kecilnya, ia lalui sebagai tukang pengembala kambing. Dan sejak di dalam kandungan, dia telah ditinggal mati bapaknya. Ketika menginjak usia anak-anak, giliran sang-bunda yang pergi meninggalkannya. Jadi, sejak berusia dini, dia telah memegang status yatim piatu.
Sekali pun demikian, ketika anak tersebut beranjak dewasa, ia sangat dikagumi oleh masyarakat sekitar. Dia sangat dipercaya oleh kaumnya, sebagai sosok yang amanah. Tidak sedikit orang, yang menitipkan barang-barang berharga ke padanya. Bahkan, terhadap perkara yang nyaris menumpahkan darah antar mereka (kaumnya), mereka percayakan kepada pemuda tersebut untuk menengahinya.
Karena begitu percayanya mereka ke pada pemuda ini, gelar sebagai orang yang amanah ‘al-Amiin’ pun mereka sematkan ke padanya. Ini lah satu-satunya gelar yang paling mulia yang pernah direngguh oleh salah satu anak Adam, dan tidak pernah disandang oleh orang-orang sebelumnya atau pun sesudahnya.
Siapakah pemuda tersebut?, beliau tidak lain adalah Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Lalu, pertanyaan selanjutnya, rahasia apakah yang membuat posisi beliau begitu agung di hadapan kaumnya?
Modalnya Akhlak
Akhlak merupakan modal utama Nabi Muhammad menarik perhatian kaumnya. Akhlak yang beliau tunjukkan, bukan lah lahir dari tindakkan yang diada-adakan agar orang lain menilai bahwa beliau sosok yang luhur budi pekertinya, namun, akhlak tersebut benar-benar menjadi karakter hidupnya.
Di mana pun dia berada, beliau tetap menjunjung tinggi akhlak mulia ini. Sikap jujur, amanah, yang menjadi simbol kenyamanan seseorang dalam bergaul, benar-benar telah terpatri dalam dirinya. Sebab itu, dalam segala hal, sikap macam ini selalu beliau kedepankan, termasuk dalam dunia bisnis.
Dalam berbisnis, beliau tidak hanya mengejar keuntungan. Akan tetapi lebih dari itu, beliau menanamkan nilai-nilai kejujuran. Ketika didapatkan kecacatan pada barang yang dijualnya, maka dengan lapang dada, beliau akan mnjelaskannya dengan jujur tentang aib yang tesembunyi dalam barangnya tersebut. Terbukti dengan digenggamnya gelar ‘al-Amiin’ dari kaumnya, termasuk terpincutnya Khadijah, yang notabene ‘bos’ beliau dalam berbisnis, untuk melamarnya menjadi bakal suami, adalah di antara bukti keberkahan tersebut.
Jadi, Khadijah menyukai Muhammad, bukan semata beliau pemuda yang tampan, gagah, golongan bangsawan, atau sebagainya. Namun, lebih karena Muhammad memiliki budi pekerti yang luhur, sebagaimana yang diberitakan oleh salah satu budaknya, yang mendampingi Muhammad dalam ber-tijarah.
Hiasan Paling Mulia Lagi Murah
Akhlak bagi manusia bagaikan hiasan. Siapapun yang ‘mengenakan’nya pasti akan disenangi dan disegani oleh orang lain. Untuk menjadi pribadi yang terhormat dan bermartabat, sejatinya tidak membutuhkan modal besar. Dengan berperilaku luhur, berbuat baik pada orang lain, maka orang lain pun akan berbuat demikian.
Dalam pribahasa Arab dikatakan “Laisa al-jamaalu bi atswaabin tuzaiyunaa inna al-jamaala jamaalu al-ilmi wa al-adabi”. Artinya, bukanlah kebaikkan/ketampanan itu terletak pada baju-baju yang menghiasi kita. akan tetapi kebaikkan itu terletak pada ilmu dan budi pekerti.
Terhadap permasalahan ini ada sutu kisah tentang prilaku umar yang menolak mengganti pakaiaannya yang telah lusuh dengan yang lebih baik, agar lebih bermartabat dengan memimpin-pemimpin yang lain.
Kisahnya, pada suatu hari Umar akan mengadakan jamuan dengan salah satu raja. Karena yang akan dijamu adalah raja, ada beberapa orang mengusulkan agar Umar berkenan untuk mengganti pakaiannya yang lebih baik dari apa dikenakannya, guna membangun kewibawaan di hadapan raja tersebut. Dengan tegas kemudian Umar menolak gagasan itu, seraya berujar, “Cukup lah dengan Islam aku menjadi mulia.”
Ya, hanya dengan ber-akhlaku al-islamiyah lah kita akan hidup mulia. Dan kemuliaan yang digapai dengan demikian adalah kemuliaan sejati, yang tidak akan pernah usang dimakan waktu, atau dikarenakan turun jabatan. Semakin kita berakhlak mulia, maka sepakin kuat lah pesona kita di hadapan orang-orang di sekitar kita. “Kullu syai’in idza katsuraa rakhushaa illaa al-adabi” (Setiap sesuatu apa bila jumlahnya melimpah akan menjadi murah harganya, kecuali budi pekerti).
Lalu kenapa acuannya adalah akhlak Islami?, hal itu tidak lain karena Islam telah menepatkan posisinya sebagai agama yang mulia dan tidak ada yang mampu mengalahkan kemuliaannya. Selain itu, Akhlak yang diajarkan Islam sudah sangat sempurna. Ia tidak hanya mengatur tentang tata-cara bergaul dengan Tuhan dan sesama manusia, bahkan dengan makhluk-makhluk hidup yang lain pun, binatang-binatang/tumbuhan-tumbuhan telah diatur sedemikian rupa.
Dalam salah satu sabdanya, Rosulullah menjelaskan, bahwa tidak lah dia diutus di muka bumi ini, kecuali untuk menyempurnakan akhlak. (Wamaa bu’itstu liutammimaa makaarima al-akhlaaki).
Dalam al-Quran, Allah memuji akhlaq yang dibawa Muhammad sebagai budi pekerti agung.
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS; Al-Qalam:4)
Dari Anas ra berkata: Aku telah berkhidmah kepada Nabi saw selama sepuluh tahun, maka belia tidak pernah mengatakan kata "cih" kepadaku, beliau tidak pernah mengatakan "mengapa kamu melakukan ini" terhadap apa yang aku telah perbuat, dan mengecam dengan mengatakan: "Kenapa engkau meninggalkan ini", terhadap apa yang aku tinggalkan.” (Sunan Tirmidzi: no: 2015)
Berakhlak yang baik harus meliputi berbagai aspek kehidupan seorang Muslim baik dalam perkataan, perbuatan dan ibadahnya kepada Tuahannya dan m'amalahnya dengan sesama makhluk.
Firman Allah Ta'ala:
وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُواْ الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنْسَانِ عَدُوّاً مُّبِين
"Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia." (QS: al-Isra’:53)
Hadits dan ayat ini menunjukkan, bahwa masalah akhlak adalah masalah ushul/pokok yang memang harus diindahkan oleh setiap orang yang mengaku sebagai Muslim. Di mana pun kita berada, dan dengan siapa pun kita bergaul, Islam telah mengajarkan kita untuk senantiasa bermu’amalah dan mengedepankan sikap yang baik.
Yakin lah, dengan ber-akhlaku al-karimah wa al-islamiyah, kita akan menjadi pribadi-pribadi yang mulia, yang dihormati, dimuliakan kedudukkannya oleh orang-orang lain. Kenapa demikian? Jawabnya adalah karena “Al-Adabu asaasun al-najaahi” (Adab adalah pondasi kesuksesan).
Wallahu ‘alam bish-shawaab.*/ Khairul Hibri, penulis aktif di Asosiasi Penulis Islam (API)
Rabu, 04 Januari 2012
No comments:
Post a Comment