09 Januari 07
Lahirnya istilah Salafiyah sebenarnya merupakan sebuah tuntutan keadaan keasan dari munculnya berbagai firqah atau kelompok baru dalam tubuh umat Islam. Jadi pada dasarnya sebutan salafiyah, ahlussunnah dan yang semisal itu tidak akan ada kalau saja dalam tubuh umat Islam tidak muncul berbagai aliran dan kelompok yang menyimpang dari jalan Nabi dan para shahabat.
Disebabkan umat Islam terpecah, maka istilah Salafiyah/ahlusssunnah tersebut keberadaannya justru menjadi sebuah keharusan, sebab tanpa dimunculkannya nama ini, kaum muslimin tidak dapat membedakan mana kelompok yang paling sesuai dengan jalan para pendahulunya: Nabi, shahabat dan tabi'in. Banyak dalil shahih yang menunjukkan bahwa ummat Islam ini akan terpecah belah dan mengalami banyak perselisihan seperti disebutkan dalam hadits iftiraq atau hadits Al-Irbadh bin Sariyah.
Dan fakta juga membuktikan bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah tersebut benar-benar terjadi. Belum selesai masa Khulafa' ur Rasyidin umat Islam sudah mulai berpecah belah dan bahkan hingga saling bunuh, yakni dengan munculnya firqah khawarij. Dan seterusnya muncul berbagai kelompok aliran seperti syi'ah, murji'ah, qadariyah, jabbariyah, shufiyah dan lain-lain. Maka dalam kondisi demikian ahlussunnah atau salafiyah menjadi sesuatu yang mau tidak mau pasti ada atau tidak bisa tidak.
Mungkin akan timbul pertanyaan, "Bukankah dengan memunculkan nama salafiyah, ahlussunnah justru akan menambah perpecahan dan memperparah keadaan?" Mengapa kita tidak mengembalikannya sebagaimana pada masa Nabi dan shahabat yaitu Islam atau Muslimin?
Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita harus mendudukkan beberapa masalah, yaitu:
Pertama; Sebutan Islam atau muslim secara mutlak itu berlaku ketika kaum muslimin dalam keadaan bersatu, sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi dan generasi terbaik setelah beliau.
Ke Dua; Ajaran salafiyah atau ahlussunnah itu adalah ajaran kaum muslimin atau Islam sebelum mereka berpecah. Dan dalam keadaan umat terpecah, terbukti ahlussunnah tetap komitmen dengan para pendahulunya. Jadi esensi ajaran mereka sama sekali tidak berubah atau menyelisihi apa yang dipegang oleh Rasulullah dan para shahabat.
Ke Tiga; Apabila ahlussunnah hanya menggunakan nama Islam secara mutlak, maka tidak ada yang dapat dibedakan antara mereka dengan kelompok-kelompok lainnya yang menyimpang dari al-haq, sebab mereka yang menyimpang dari manhaj nabawi pun mengatasnamakan Islam.
Ke Empat; Penyebutan salafiyah atau ahlusssunnah ini justru untuk mempertahankan identitas dan memberikan tekanan bahwa mereka adalah kaum muslimin yang benar-benar konsisten dengan jalan Islam yang ditempuh Nabi dan para shahabat.
Ke Lima; Salafiyah atau ahlussunnah tidak berintima' atau dinisbatkan kepada seseorang, tetapi berintima’ kepada Nabi dan para shahabat. Salafiyah atau ahlussunnah bukan kelompoknya Imam Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Imam Ibnul Qayyim, bukan pula kelompoknya Syaikh Bin Baz, Syaikh Nashiruddin al-Albani, Syaikh Utsaimin.
Karena itu tidak pernah ada yang namanya amir salafiyah, musyrif 'aam atau sekjen salafiyah. Ini menunjukkan bahwa salafiyah bukanlah firqah yang ta'ashub kepada seseorang, sebagaimana terjadi pada aliran-aliran sesat atau thariqah shufiyah dan selainnya. Mereka menjadikan syaikh mereka sebagai figur sentral dan berta'ashub buta kepada masyayikhnya. Sementara ahlussunnah mengikuti masyayikh dan para ulama semata-mata karena kesesuaian dan komitmen mereka kepada sunnah Nabi.
Ke Enam; Penggunaan istilah ahlussunnah wal jama'ah, al jama'ah, salafiyah, ahlul hadits dan semisalnya adalah sah-sah saja. Sebab itu tidak menghilangkan eksistensi dan identitas keislaman, bahkan memperjelas identitas pada masa perpecahan. Dalil yang paling jelas adalah hadits Nabi, yang merangkan tentang iftiraq (perpecahan ummat). Nabi bersabda,
"Umat yahudi telah terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, umat nashrani telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Seluruh golongan itu masuk neraka kecuali hanya satu kelompok saja. Para shahabat bertanya, "Siapakah mereka itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab, "Mereka adalah al-Jama'ah" (HR. Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad, al-Hakim, berkata al-Hakim "Sanad-sanadnya dapat menjadi pegangan untuk menshahihkan hadits ini," disetu-jui oleh adz-Dzahabi. Al Hafidz berkata, "Sanadnya hasan, Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Ini adalah hadist shahih masyhur". Dishahihkan oleh asy-Syathibi dalam al-I'tisham, dan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah, no 204).
Perhatikan jawaban Nabi ketika para shahabat bertanya, "Siapakah mereka itu wahai Rasulullah? Yaitu siapakah satu golongan yang akan selamat itu. Maka beliau menjawab, "Mereka adalah al-Jama'ah". Rasulullah tidak mengatakan bahwa mereka adalah al Islam atau Muslimin.
Apakah kita berpikiran bahwa Nabi akan mengganti agama Islam pada saat terjadi perpecahan dengan nama baru yaitu al-Jama'ah? Tidak sama sekali, sebab al Jama'ah yang dimaksudkan Nabi ini tidak lain juga Islam yang beliau praktekkan bersama para shahabat. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah sabda beliau dalam riwayat lain ketika para shahabat bertanya dengan pertanyaan serupa, beliau menjawab, "Man kaana 'ala mitsli maa ana 'alaihil yauma wa ash-habii." Yaitu siapa saja yang seperti aku dan para shahabatku saat ini."
Kalau kita menggunakan nama Islam dalam menyifati satu golongan yang selamat ini, maka jelas tidak akan nyambung. Bagaimanakah kita akan memahami kalimat berikut ini, "Ummat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya di neraka, kecuali hanya satu golongan saja yang selamat, yaitu Islam." Dalam kalimat ini tidak ada yang spesifik, sehingga membutuhkan penekanan bahwa di antara mereka yang menisbatkan diri dalam Islam yang selamat adalah yang Islamnya sesuai dengan Islamnya Nabi dan para shahabat atau jama'ah (kelompok) mereka, yakni Islam ahlussunnah wal jama'ah, salafiyah, ahlul hadist, ahlul atsar dan semisalnya.
Kasus ini mirip dengan yang terjadi pada masa Imam Ahmad bin Hanbal, yakni ketika ada seseorang bertanya kepada beliau, "Apakah tidak cukup kita mengatakan bahwa al-Qur'an kalamullah, tanpa tambahan bukan makhluk? Maka beliau menjawab, "Kalimat itu (Al-Qur'an kalamullah) tidak ada masalah jika diucapkan pada masa shahabat, tetapi untuk saat ini maka harus ditambah dengan kalimat "bukan makhluk" karena kondisinya berbeda." Ucapan beliau ini sangat beralasan, karena pada saat itu menyebar di kalangan kaum muslimin paham mu'tazilah yang berpendapat bahwa al-Qur'an adalah makhluk. Bahkan paham ini menjadi madzhab resmi pemerintahan kala itu.
Karena perlunya spesifikasi inilah, seorang pemimpin partai politik di Indonesia menambahkan kata "perjuangan" *) pada nama partai yang dia pimpin. Sebabnya adalah karena ada pihak lain yang mengklaim punya partai dengan identitas yang sama. Nah untuk membedakan antara partainya dengan partai lain yang serupa, serta untuk memperjelas identitas bahwa visinya adalah visi yang semula ketika partai belum pecah, maka dia menambahkan kata perjuangan tersebut. Padahal partai tersebut hanya terpecah menjadi dua kubu saja, lalu bagaimana dengan ummat Islam yang oleh Rasulullah sudah dipastikan akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan?
Maka sangat beralasan dan bahkan merupakan keharusan jika kita menambahkan kalimat ahlussunnah (sunni), salafi pada identitas keislaman kita, pada saat kondisi kaum muslimin sedang terpecah belah. Jadi kesimpulan-nya tidak ada yang perlu dikhawatirkan atau ditakutkan dengan sebutan salafiyah, ahlussunnah atau al jama'ah. (Kholif Muttaqin)
*) Ini hanya sebagai misal dalam hal perpecahan.
No comments:
Post a Comment