Monday, February 28, 2011

Tingkatkan Keikhlasan Dan Perbaiki Niat




Ikhlas dalam amalan merupakan tonggak asasi dalam setiap amalan sholeh. Disamping itu, juga tingkatkan unsur mutaba'ah (mengikuti) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah. Dua perkara ini merupakan syarat diterimanya amalan seseorang. Dalilnya, Allah berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya". [Al Kahfi:110]

Ibnu Katsir berkata: ‘(Yaitu orang yang ) mengharapkan pahala, dan ganjaran dariNya, [فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا / hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh ] yaitu amalan yang bertepatan dengan petunjuk syariat, [ وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا / dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya ] yaitu amalan yang ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dua hal ini adalah dua syarat diterimanya amalan. Mesti murni kerana Allah, lagi sesuai dengan aturan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam". [Tafsir Ibnu Katsir]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ

"Dan Allah melipatgandakan (pahala) bagi yang Dia kehendaki" [Al Baqarah : 2613].

Ibnu Katsir menjelaskan : "Berdasarkan keikhlasannya dalam beramal". [Tafsir Ibnu Katsir]

Syaikh As Sa'di berkata: "Itu bergantung pada kekuatan iman dan kesempurnaan ikhlas yang terdapat pada orang yang berinfak"[Tafsir As Sa'di]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ وَكُلُّ سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِمِثْلِهَا

"Jika salah seorang dari kalian telah memperindah Islamnya, maka setiap kebaikan yang diamalkannya akan dicatat baginya dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat. Dan setiap keburukan yang ia kerjakan akan dicatat baginya satu keburukan semisalnya". [Shahih Bukhari dan Muslim]

Ibnu Rajab berkata tentang hadits di atas : "Pelipatgandaan kebaikan dengan sepuluh kali lipat pasti terjadi. Sedangkan tambahan yang lebih dari itu tergantung pada kebaikan nilai Islam seseorang, dan keikhlasan niatnya, serta keutamaan amalan tersebut"[Jami’ul Ulumi Wal Hikam].

Sebagai pelengkap dalam menetapkan naiknya tingkatan amalan yang diringi kekuatan ikhlas, adanya beberapa nash yang menyatakan keutamaan amalan yang dilakukan secara tersembunyi dibandingkan amalan yang dilakukan di hadapan khalayak. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman:

إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ

"Jika kalian memperlihatkan sedekah maka itu baik. Dan jika kalian menyembunyikan sedekah dan memberikannya kepada orang-orang fakir, niscaya lebih baik …" [Al Baqarah 271].

Ibnu Katsir berkata: "Dalam ayat ini terkandung petunjuk bahwa menyembunyikan sedekah lebih baik daripada memperlihatkannya. Sebab lebih jauh dari noda riya`. Kecuali bila dengan memperlihatkan saat mengeluarkan sedekah ada unsur maslahat yang pasti"[Tafsir Ibnu Katsir].

Ibnul Qayyim menjelaskan rahsia mengapa sedekah yang dilakukan dengan sembunyi lebih baik dengan berkata: "Adapun memberikannya kepada orang-orang fakir, jika dilakukan dengan cara tersembunyi mengandungi beberapa manfaat, menutupi jati dirinya (pemberi sedekah) , dan tidak membuat malu si penerima di hadapan orang banyak, tidak menempatkan dirinya sebagai orang yang sedang direndahkan kehormatannya, dan supaya orang tidak melihat bahwa tangannya suka meminta-minta, juga agar orang tidak berkomentar dirinya (sang penerima) tidak ada harganya sama sekali sehingga mereka enggan untuk berinteraksi dan melakukan tukar-menukar dengannya. Ini adalah manfaat tambahan selain berbuat baik kepadanya dengan memberi sedekah, di samping penjagaan aspek ikhlas.

Hal ini berlaku pada ibadah yang sifatnya tathawu' (sunnah).

Dari Bustham bin Huraits, ia berkata: ‘Adalah Ayyub pernah terharu (kerana takut kepada Allah), sehingga air matanya keluar. Namun ia ingin menyembunyikannya. Maka ia memegangi hidungnya, bersikap seolah-oleh orang yang sedang mengalami influenza. Jika ia khuatir , air matanya semakin deras, maka ia beranjak pergi"[Dzammu Ar Riya`]

Wallahu a'lam...

by Abdul Aziz Ismail Nuh March 1, 2011

No comments:

Post a Comment