Islam di bangun di atas ittiba' (mencontoh) bukan ibtida' (menyelisihi) Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak memerintahkan kita untuk fanatik
terhadap madzhab, akan tetapi Allah 'Azza wa Jalla memerintahkan kita
untuk taat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan."
(QS. An-Nisaa' [4] : 13 - 14)
"Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu
akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu)
para nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."
(QS. An-Nisaa' [4] : 69)
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Nama Allah."
(QS. Al-Ahzaab : 21)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang meneladani
Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam
berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya. Untuk itu, Allah Tabaroka
wa Ta'ala memerintahkan manusia untuk meneladani sifat sabar,
keteguhan, kepahlawanan, perjuangan dan kesabaran Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya 'Azza wa
Jalla. Semoga Allah Jalla Jalaaluh senantiasa mencurahkan shalawat dan
salam kepada beliau hingga hari Kiamat."
(Tafsiir Ibni Katsir, VI/391)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mencintai kita jika kita
mendengar dan taat kepada Rasulullah Muhammad 'alaihi shallaatu wa
sallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Katakanlah : 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."
(QS. Ali 'Imran [3] : 31)
Imam Ibnu Katsir rahimahullaahu ta'ala berkata ketika menafsirkan ayat diatas,
"Ayat yang mulia ini merupakan hakim atau pemutus bagi orang-orang yang
mengaku cinta Allah dan rasul-Nya tetapi dia tidak mengikuti jalan yang
ditempuh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, dia dusta dalam
pengakuannya sehingga dia mengikuti syari'at (ajaran) dan agama Nabi
Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam setiap ucapan, perbuatan
dan keadaannya."
(Tafsir Ibnu Katsir, I/477)
Seperti yang
telah saya jelaskan di atas kewajiban kita hanya untuk mendengar kepada
Allah dan Rasul-Nya, bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam
bagi siapa saja yang menyelisihi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam akan diberikan adzab yang pedih.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Maka hendaklah (berhati-hati) orang-orang yang menyalahi perintah
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa adzab yang pedih."
(QS. An-Nuur [24] : 63)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaahu ta'ala ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata,
"Menyalahi perintah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, yaitu
menyalahi jalan hidup beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam, menyalahi
manhaj (cara beragama), Sunnah, dan syari'at beliau. Maka seluruh
perkataan dan seluruh amal, harus ditimbang dengan perkataan dan
perbuatan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Apa yang sesuai
dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
maka akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan apa yang tidak
sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam maka akan ditolak oleh Allah Ta'ala. Siapa pun yang melakukan
perkataan dan perbuatan itu serta apapun perkataan dan perbuatan itu.
Meskipun ia seorang ulama, atau seorang yang 'alim, jika perkataan dan
perbuatannya menyelisihi perkataan dan perbuatan Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam, maka ia wajib ditolak dengan dasar hadits,
bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak."
(HR. Al-Bukhari, no. 2697, Muslim, no. 1718, Ahmad, VI/146, 180, 256, Abu Dawud, no. 4606, dan Ibnu Majah, no. 14)
Bahkan para ulama mujtahiddin pun melarang kaum muslimin taklid buta
kepadanya setelah datang nash al-Qur-an dan As-Sunnah yang Shahiih.
Imam Abu Hanifah rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Tidak halal bagi seseorang mengambil perkataan kami selama ia belum mengetahui dari mana kami mengambilnya."
(I'laamul Muwaqqi'iin, III/488)
Beliau rahimahullaahu ta'ala juga berkata,
"Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku."
(Iiqaazhul Himam, hal. 62)
Imam Malik rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Sesungguhnya aku hanya seorang manusia, terkadang aku benar dan
terkadang salah. Maka lihatlah pendapatku, setiap pendapatku yang sesuai
dengan Al-Kitab (baca : al-Qur'an) dan As-Sunnah (baca : hadits) maka
ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah
maka tinggalkanlah."
(Jaami' Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlihi, I/775, no. 1435, 1436)
Imam asy-Syafi'iy rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Setiap orang pasti terlewat dan luput darinya salah satu Sunnah (baca :
hadits) Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Apa pun pendapat
yang aku katakan atau prinsip yang aku tetapkan (baca : katakan)
kemudian ada hadits dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, yang
ternyata bertentangan dengan pendapatku, maka apa yang disabdakan
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam itulah yang diambil. Dan
itulah yang menjadi pendapatku."
(Manaaqib al-Imam asy-Syafi'i, I/475, dan I'laamul Muwaqqi'iin, IV/46 - 47)
Beliau rahimahullaahu ta'ala juga berkata,
"Setiap yang aku ucapkan, namun ada hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa
sallam yang shahih menyelisihi pendapatku, maka hadits Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam itulah yang lebih patut diikuti. Maka
janganlah kalian taklid kepadaku."
(Manaaqib al-Imam asy-Syafi'i, I/473, dan I'laamul Muwaqqi'iin, IV/45 - 46)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Kalian tidak boleh taklid kepadaku, tidak boleh juga taklid kepada
Malik, Syafi'i, al-Auza'i, dan ats-Tsauri, tetapi ambillah darimana
mereka mengambil."
(I'laamul Muwaqqi'iin, III/469)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Tidak diwajibkan atasnya (menganut satu madzhab), dan inilah pendapat
yang benar dan pasti. Sebab, tidak ada kewajiban kecuali yang diwajibkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Dan Allah 'Azza wa Jalla
dan Rasul-Nya tidak mewajibkan atas seseorang untuk bermadzhab dengan
madzhab salah seorang dari para imam sehingga ia taklid kepadanya dan
tidak kepada yang lainnya."
(I'laamul Muwaqqi'iin, VI/203)
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak memerintahkan kita untuk fanatik terhadap madzhab, akan tetapi Allah 'Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk taat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan."
(QS. An-Nisaa' [4] : 13 - 14)
"Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."
(QS. An-Nisaa' [4] : 69)
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Nama Allah."
(QS. Al-Ahzaab : 21)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang meneladani Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya. Untuk itu, Allah Tabaroka wa Ta'ala memerintahkan manusia untuk meneladani sifat sabar, keteguhan, kepahlawanan, perjuangan dan kesabaran Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya 'Azza wa Jalla. Semoga Allah Jalla Jalaaluh senantiasa mencurahkan shalawat dan salam kepada beliau hingga hari Kiamat."
(Tafsiir Ibni Katsir, VI/391)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mencintai kita jika kita mendengar dan taat kepada Rasulullah Muhammad 'alaihi shallaatu wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Katakanlah : 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."
(QS. Ali 'Imran [3] : 31)
Imam Ibnu Katsir rahimahullaahu ta'ala berkata ketika menafsirkan ayat diatas,
"Ayat yang mulia ini merupakan hakim atau pemutus bagi orang-orang yang mengaku cinta Allah dan rasul-Nya tetapi dia tidak mengikuti jalan yang ditempuh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, dia dusta dalam pengakuannya sehingga dia mengikuti syari'at (ajaran) dan agama Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam setiap ucapan, perbuatan dan keadaannya."
(Tafsir Ibnu Katsir, I/477)
Seperti yang telah saya jelaskan di atas kewajiban kita hanya untuk mendengar kepada Allah dan Rasul-Nya, bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancam bagi siapa saja yang menyelisihi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam akan diberikan adzab yang pedih.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Maka hendaklah (berhati-hati) orang-orang yang menyalahi perintah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih."
(QS. An-Nuur [24] : 63)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaahu ta'ala ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata,
"Menyalahi perintah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, yaitu menyalahi jalan hidup beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam, menyalahi manhaj (cara beragama), Sunnah, dan syari'at beliau. Maka seluruh perkataan dan seluruh amal, harus ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Apa yang sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam maka akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan apa yang tidak sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam maka akan ditolak oleh Allah Ta'ala. Siapa pun yang melakukan perkataan dan perbuatan itu serta apapun perkataan dan perbuatan itu. Meskipun ia seorang ulama, atau seorang yang 'alim, jika perkataan dan perbuatannya menyelisihi perkataan dan perbuatan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka ia wajib ditolak dengan dasar hadits, bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak."
(HR. Al-Bukhari, no. 2697, Muslim, no. 1718, Ahmad, VI/146, 180, 256, Abu Dawud, no. 4606, dan Ibnu Majah, no. 14)
Bahkan para ulama mujtahiddin pun melarang kaum muslimin taklid buta kepadanya setelah datang nash al-Qur-an dan As-Sunnah yang Shahiih.
Imam Abu Hanifah rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Tidak halal bagi seseorang mengambil perkataan kami selama ia belum mengetahui dari mana kami mengambilnya."
(I'laamul Muwaqqi'iin, III/488)
Beliau rahimahullaahu ta'ala juga berkata,
"Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku."
(Iiqaazhul Himam, hal. 62)
Imam Malik rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Sesungguhnya aku hanya seorang manusia, terkadang aku benar dan terkadang salah. Maka lihatlah pendapatku, setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Kitab (baca : al-Qur'an) dan As-Sunnah (baca : hadits) maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah maka tinggalkanlah."
(Jaami' Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlihi, I/775, no. 1435, 1436)
Imam asy-Syafi'iy rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Setiap orang pasti terlewat dan luput darinya salah satu Sunnah (baca : hadits) Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Apa pun pendapat yang aku katakan atau prinsip yang aku tetapkan (baca : katakan) kemudian ada hadits dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, yang ternyata bertentangan dengan pendapatku, maka apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam itulah yang diambil. Dan itulah yang menjadi pendapatku."
(Manaaqib al-Imam asy-Syafi'i, I/475, dan I'laamul Muwaqqi'iin, IV/46 - 47)
Beliau rahimahullaahu ta'ala juga berkata,
"Setiap yang aku ucapkan, namun ada hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam yang shahih menyelisihi pendapatku, maka hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam itulah yang lebih patut diikuti. Maka janganlah kalian taklid kepadaku."
(Manaaqib al-Imam asy-Syafi'i, I/473, dan I'laamul Muwaqqi'iin, IV/45 - 46)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Kalian tidak boleh taklid kepadaku, tidak boleh juga taklid kepada Malik, Syafi'i, al-Auza'i, dan ats-Tsauri, tetapi ambillah darimana mereka mengambil."
(I'laamul Muwaqqi'iin, III/469)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Tidak diwajibkan atasnya (menganut satu madzhab), dan inilah pendapat yang benar dan pasti. Sebab, tidak ada kewajiban kecuali yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Dan Allah 'Azza wa Jalla dan Rasul-Nya tidak mewajibkan atas seseorang untuk bermadzhab dengan madzhab salah seorang dari para imam sehingga ia taklid kepadanya dan tidak kepada yang lainnya."
(I'laamul Muwaqqi'iin, VI/203)
No comments:
Post a Comment