Syiah selalu menukil hadits tsaqalain, demi menegaskan wajibnya mengikuti ahlulbait. Tapi apakah syiah konsekuen dengan ucapannya sendiri? Ini yang perlu kita teliti.
Mengikuti Al Qur’an adalah dengan mengikuti perintah yang ada di dalamnya, dan menjauhi larangannya. Itulah mengikuti. Begitu juga dengan mengikuti ahlulbait, dengan mengikuti perintah mereka, dan menjauhi apa yang mereka larang.
Al Qur’an ada di depan kita, dapat kita baca setiap hari. Dengan mudah kita mengakses perintah dan larangan. Tetapi ahlulbait, mereka telah pergi meninggalkan kita. 11 imam telah pergi menghadap Allah, sementara yang ke 12 malah pergi bersembunyi, meninggalkan tugasnya untuk menjaga syareat, meninggalkan fungsinya sebagai penerus Nabi Muhammad SAWW. Bagaimana caranya mengakses perintah ahlulbait?
Kitab syiah memiliki kitab-kitab yang memuat riwayat dari para imam mereka. Dengan kitab-kitab itulah mereka bisa mengikuti ahlulbait.
Tentunya tidak semua riwayat bisa diterima begitu saja, tapi harus ada proses penelitian mengenai validitas perawi, apakah cacat atau valid. Dari situ bisa diketahui mana riwayat yang shahih maupun yang dhaif.
Jika sebuah riwayat dari seorang imam terbukti shahih, maka harus diikuti, karena riwayat itu memuat sabda imam yang maksum –menurut syiah-, imam yang terbebas dari salah dan lupa. Sabdanya memiliki kekuatan hukum yaitu wajib diikuti. Inilah inti hadits tsaqalain, yaitu perintah untuk mengikuti ahlulbait.
Tetapi apa yang terjadi?
Ketika sebuah riwayat shahih dari imam maksum menyelisihi pendapat ulama syiah, mereka mengambil pendapat ulama syiah dan meninggalkan riwayat dari imam maksum. Seolah-oleh yang maksum di sini adalah para ulama syiah, bukan 12 imam ahlulbait. Ahlulbait tidak lagi maksum ketika ada sabdanya yang menyelisihi ulama syiah.
Al Isytahardi menyatakan dalam Taqrirat Fi Ushulil Fiqh- Taqrir Bahts Al Burjuwardi, hal 296 : Dari sini terkenal sebuah kaedah, bahwa ketika sebuah riwayat semakin shahih, maka derajatnya semakin dhaif dan meragukan ketika riwayat itu ditinggalkan oleh ulama kami, dan sebaliknya, ketika riwayat semakin dhaif tapi diamalkan oleh ulama kami, maka akan semakin kuat, seperti dalam masalah yang ditunjukkan…
Kesimpulannya, ucapan para imam ditentukan oleh sikap ulama syiah terhadap riwayat itu. Ketika sabda para imam menyelisihi keinginan ulama syiah, maka yang harus diikuti adalah keinginan ulama syiah, bukan lagi sabda imam ahlulbait. Apakah berarti ahlulbait sudah keluar dari tsaqalain yang harus diikuti, dan digantikan oleh ulama syiah?
Mirza Al Qummi dalam Ghana’imul Ayyam jilid 1 hal 414 menyatakan :
Riwayat-riwayat ini, ketika semakin banyak jumlah, sanad dan dilalahnya, ketika ditinggalkan oleh kebanyakan ulama kami, maka akan semakin bertambah dhaif (lemah), apalagi ketika para ulama malah mengamalkan hadits yang jumlahnya lebih sedikit, sanadnya dan dilalahnya lebih sedikit.
Sementara Sayyid Al Kalbaikani dalam Durr al Mandhud jilid 1 hal 330-331 mengatakan:
Tetapi pendapat yang dikenal dan digunakan oleh kebanyakan ulama, dan kami pun memegang pendapat itu, yaitu sebuah riwayat tidak lagi digunakan karena hal tadi, dan telah masyhur bahwa ketika hadits semakin shahih sanadnya, maka akan bertambah lemah karena tidak digunakan oleh kebanyakan ulama, semakin sebuah hadits lemah sanadnya, maka akan semakin kuat karena diamalkan oleh kebanyakan ulama
Dalam Kitab At Thaharah jilid 3 hal 597, Sayyid Al Khomeini menyatakan: Mencegah kita untuk memaksakan pendapat karena terpesona oleh riwayat yang shahih lagi banyak, dalam konteks ini dikatakan: semakin riwayat itu banyak dan shahih, maka semakin lemah Dalam Muntahal Ushul jilid 2 hal 154, Hasan bin Ali Asghar Al Musawi Al Bajnawardi menyatakan:
Dan begitu juga, ketika ulama mengabaikan dan tidak mengamalkan riwayat, maka ini membuat dalil itu tidak lagi dijadikan hujjah, meski riwayat itu shahih, sampai ulama syiah mengatakan : semakin riwayat itu shahih, maka semakin lemah, inilah maksud ucapan para ulama: ketika ulama meninggalkan sebuah riwayat, itu membuat sanad riwayat itu tidak dipercaya, dan mematahkan riwayat itu, meski riwayat itu sanadnya kuat.
Begitu pula dalam Al Yanabi’ Al Fiqhiyyah jilid 35 hal 441, Ali Asghar Marwarid mengatakan : Al Murtadha mengatakan : riwayat ini shahih, tetapi ketenaran itu sendiri adalah riwayat dan fatwa, bahkan ijma’ pun menentang riwayat itu.
Lalu apa lagi gunanya adanya penelitian hadits, jika hadits yang shahih bisa digugurkan oleh ulama?
Sebenarnya siapa yang menjadi panutan syiah? Imam maksum atau ulama syiah yang tidak maksum?
Apa gunanya imam maksum jika ucapannya dapat digugurkan oleh ulama-ulama syiah yang tidak maksum?
Syiah selalu berdalil dengan hadits tsaqalain, namun di saat yang sama syiah membuangnya jauh-jauh.
|
No comments:
Post a Comment