Wednesday, August 10, 2011

JANGAN MENGAMBIL ILMU AGAMA DARI AHLI BID’AH !




Orang yang berniat mencari ilmu yang haq harus memperhatikan dari siapa dia mengambil ilmu. Jangan sampai mengambil ilmu agama dari ahli bid’ah, karena mereka akan menyesatkan, baik disadari atau tanpa disadari. Sehingga hal ini akan mengantarkannya kepada jurang kehancuran.

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, bahwa untuk meraih ilmu ada dua jalan.

Pertama : Ilmu diambil dari kitab-kitab terpercaya, yang ditulis oleh para ulama yang telah dikenal tingkat keilmuan mereka, amanah, dan aqidah mereka bersih dari berbagai macam bid’ah dan khurafat (dongeng; kebodohan). Mengambil ilmu dari isi kitab-kitab, pasti seseorang akan sampai kepada derajat tertentu, tetapi pada jalan ini ada dua halangan. Halangan pertama, membutuhkan waktu yang lama dan penderitaan yang berat. Halangan kedua, ilmunya lemah, karena tidak dibangun di atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip.

Kedua : Ilmu diambil dari seorang guru yang terpercaya di dalam ilmunya dan agamanya. Jalan ini lebih cepat dan lebih kokoh untuk meraih ilmu.[1]

Akan tetapi pantas disayangkan, pada zaman ini kita melihat fenomena pengambilan ilmu dari para ahli bid’ah marak di mana-mana, padahal perbuatan tersebut sangat ditentang oleh para ulama Salaf. Maka benarlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah memberitakan bahwa hal itu merupakan salah satu di antara tanda-tanda dekatnya kiamat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ مِنْ أَشْرِاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ

“Sesungguhnya di antara tanda hari Kiamat adalah, ilmu diambil dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)” [2].


Imam Ibnul Mubarak rahimahullah ditanya : “Siapakah orang-orang kecil itu?”

Beliau menjawab :

“Orang-orang yang berbicara dengan fikiran mereka. Adapun shaghir (anak kecil) yang meriwayatkan dari kabir (orang tua, Ahlus Sunnah), maka dia bukan shaghir (ahli bid’ah).[3]

Di dalam riwayat lain, Imam Ibnul Mubarak juga mengatakan:

“Orang-orang kecil dari kalangan ahli bid’ah”. (Riwayat al Lalikai, 1/85).

Syaikh Bakar Abu Zaid –seorang ulama Saudi, anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia- berkata :

“Waspadalah terhadap Abu Jahal (bapak kebodohan), yaitu ahli bid’ah, yang tertimpa penyimpangan aqidah, diselimuti oleh awan khurafat; dia menjadikan hawa nafsu sebagai hakim (penentu keputusan) dengan menyebutnya dengan kataakal; dia menyimpang dari nash (wahyu), padahal bukankah akal itu hanya ada dalam nash? Dia memegangi yang dha’if (lemah) dan menjauhi yang shahih. Mereka juga dinamakan ahlusy syubuhat (orang-orang yang memiliki dan menebar kerancauan pemikiran) dan ahlul ahwa’ (orang-orang yang mengikuti kemauan hawa nafsu). Oleh karena itulah Ibnul Mubarak menamakan ahli bid’ah dengan ash shaghir (anak-anak kecil).[4]

Dan tanda hari Kiamat, yaitu “mengambil ilmu dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)” pada zaman ini benar-benar sudah terjadi dan terus berjalan. Sungguh telah terbukti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Bahkan sesuatu yang lebih besar dari itu, yaitu mengambil ilmu agama Islam dari orang-orang kafir, yakni para dosen yang mengajarkan pengetahuan tentang Islam di berbagai perguruan tinggi di negara Barat.


Maka apakah kira-kira komentar para ulama Salaf, jika mereka mengalami zaman kita ini? Sedangkan mereka adalah orang-orang yang sangat tulus dalam memberikan nasihat, dan tegas menghadapi berbagai penyimpangan?

Marilah kita renungkan perkataan Imam adz Dzahabi rahimahullah tentang ahli bid’ah pada zaman beliau.

Beliau mengatakan: “Jika engkau melihat seorang mutakallim (seorang yang zhahirnya muslim tetapi menggeluti ilmu kalam, mantiq, filsafat, Pen), ahli bid’ah, berkata,’Tinggalkan kami dari al Kitab (al Qur`an) dan hadits-hadits, dan datangkanlah akal,maka ketahuilah bahwa dia Abu Jahal.

Dan jika engkau melihat seorang salik tauhidi (seorang shufi, Pen) berkata,’Tinggalkan kami dari naql (wahyu) dan akal, dan datangkanlah perasaan dan rasa,’ maka ketahuilah bahwa dia adalah iblis yang telah muncul dengan bentuk manusia, atau iblis telah merasuk padanya. Jika kamu merasa takut padanya, maka larilah. Jika tidak takut, maka bantinglah dia, dan tindihlah dadanya, dan bacakan ayat kursi kepadanya, dan cekiklah dia”.[5]


PERINGATAN PARA ULAMA


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan sifat ulama yang akan selalu ada sepanjang zaman, sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah, yaitu di dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ

“Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang lurus pada setiap generasi; mereka akan menolak tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas; ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan” [6]

Hadits ini jelas dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengembang ilmu agama, yaitu ‘adalah (lurus, istiqamah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil dari mereka. Oleh karena itu, banyak peringatan ulama tentang memilih guru agama yang tepat di dalam mengambil ilmu. Berikut ini di antara perkataan ulama berkaitan dengan hal tersebut.

1). Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata :

اُنْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ هَذَا الْعِلْمَ فَإِنَّمَا هُوَ دِينٌ

“Perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena sesungguhnya ia adalah agama” [7]

Perkataan ini juga diriwayatkan dari sejumlah Salafush Shalih, seperti Muhammad bin Siirin, adh Dhahhak bin Muzahim, dan lain-lain (Lihat muqaddimah Shahih Muslim).

2). Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مِنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ , وَ تَفَرَّقَتْ أَهْوَاءُهُمْ , هَلَكُوْا

“Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari para sahabat Nabi Muhammad n dan dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika ilmu datang dari arah orang-orang kecil (ahli bid’ah) mereka, dan hawa-nafsu mereka bercerai-berai, mereka pasti binasa” [8].

Dalam riwayat lain disebutkan :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوْا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَخَذُوْهُ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ وَ شِرَارِهِمْ هَلَكُوْا

Manusia selalu berada pada kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika mereka mengambil ilmu dari orang-orang kecil (ahli bid’ah) dan orang-orang buruk (orang fasik) di antara mereka, maka mereka pasti binasa” [9]

3). Imam Malik rahimahullah berkata :

لاَ يُؤْخَذُ الْعِِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُو إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ

“Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang : (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa` (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya, (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan.[10]

4). Imam Nawawi rahimahullah berkata menjelaskan ghibah yang dibolehkan :
“Di antaranya, jika seseorang melihat pencari ilmu sering mengambil ilmu dari ahli bid’ah atau orang fasik, dan dia khawatir hal itu akan membahayakan pencari ilmu tersebut, maka dia wajib menasihatinya, dengan menjelaskan keadaan (guru)nya, dengan syarat dia berniat menasihati”. [Riyadhush Shalihin, al Adzkar, Syarah Muslim].


5). Disebutkan di dalam kitab Fatawa Aimmatil Muslimin, hlm. 131, susunan Mahmud Muhammad Khithab as Subki yang berisikan fatwa-fatwa sebagian ulama Mesir, Syam dan Maghrib mutaqaddimin : “Seluruh imam mujtahidin telah sepakat, bahwa tidak boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah”.


TUJUAN PERINGATAN ULAMA


Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili –hafizhahullah- berkata,

”Sesungguhnya para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in sesudah mereka telah memberikan bimbingan untuk mengambil ilmu dari orang yang ‘adil dan istiqamah. Mereka telah melarang mengambil ilmu dari orang yang zhalim dan menyimpang. Dan di antara orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah. Sesungguhnya mereka telah menyimpang dan menyeleweng dari agama dengan sebab bid’ah-bid’ah itu, maka tidah boleh mengambil ilmu dari mereka. Karena ilmu merupakan agama, dipelajari untuk diamalkan. Maka jika ilmu diambil dari ahli bid’ah, sedangkan ahli bid’ah tidak mendasarkan dan menetapkan masalah-masalah kecuali dengan bid’ah-bid’ah yang dia jadikan agama, sehingga ahli bid’ah itu akan mempengaruhi murid-muridnya secara ilmu dan amalan. Sehingga murid-murid itu akan tumbuh di atas bid’ah dan susah meninggalkan kebid’ahan setelah itu. Apalagi jika belajar dari ahli bid’ah itu pada masa kecil, maka pengaruhnya akan tetap dan tidak akan hilang selama hidupnya.”[11]

Syaikh juga menjelaskan, maksud peringatan para ulama ini ada dua.

Pertama. Menjaga orang-orang yang belajar dari kerusakan aqidah, karena terpengaruh oleh perkataan dan perbuatan ahli bid’ah.

Kedua. Memboikot (mengisolir) ahli bid’ah yang menyerukan bid’ahnya, dengan niat mencegah dan menghentikan mereka dari bid’ah.[12]


Larangan ini berlaku saat situasi memungkinkan. Adapun dalam keadaan terpaksa, boleh belajar kepada ahli bid’ah, dengan tetap waspada dari kesesatan mereka.[13]


Syaikh Bakar Abu Zaid berkata,

”Wahai, penuntut ilmu. Jika engkau berada dalam kelonggaran dan memiliki pilihan, janganlah engkau mengambil (ilmu) dari ahli bid’ah, (yaitu) : seorang Rafidhah (Syi’ah), seorang Khawarij, seorang Murji’ah, seorang qadari (orang yang mengingkari takdir), seorang quburi (orang yang berlebihan mengagungkan kuburan), dan seterusnya, karena engkau tidak akan mencapai derajat orang yang benar aqidah agamanya, kokoh hubungannya dengan Allah, benar pandangannya, mengikuti atsar (jejak Salaf), kecuali dengan meninggalkan ahli bid’ah dan bid’ah mereka”.[14]

PERINGATAN BELAJAR AGAMA KEPADA ORANG KAFIR!


Setelah kita mengetahui keterangan di atas, maka sudah selayaknya umat Islam agar senantiasa jeli dan berhati-hati dalam mengambil ilmu. Sehingga pantas untuk diperingatkan, yaitu adanya fenomena pada zaman ini dan sebelumnya, berupa pengambilan ilmu dari orang-orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah, bahkan dari orang-orang kafir! Tidakkah orang-orang yang mengambil ilmu dari orang-orang kafir itu pernah membaca atau mendengar firman Allah k tentang usaha orang-orang musyrik untuk memurtadkan umat Islam? Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرُُ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {217}

“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” [al Baqarah : 217]
.

Tidakkah mereka juga pernah mendengar firman Allah Azza wa Jalla tentang keinginan orang-orang Ahli Kitab yang selalu berkeinginan memurtadkan umat Islam?

وَدَّكَثِيرُُ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ {109}

“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran” [al Baqarah : 109]

Apakah mereka mengira, bahwa keinginan dan usaha orang-orang kafir untuk memurtadkan umat Islam itu hanyalah pada zaman turunnya ayat-ayat al Qur`an itu?

Anggapan seperti itu adalah perkiraan yang salah, karena ayat-ayat itu berasal dari Allah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Seluruh berita dariNya adalah haq, baik saat turunnya ayat maupun setelahnya. Maka, hendaklah mereka memperhatikan sejarah umat Islam, memperhatikan kejadian-kejadian umat Islam, dahulu dan sekarang. Dengan demikian, mereka akan mengetahui kebenaran firman Allah tersebut.


Inilah sedikit keterangan sekitar jalan mengambil ilmu. Semoga Allah selalu membimbing kita kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa dan Bijaksana. Al hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] Dipublikasikan kembali oleh http://www.almanhaj.or.id/content/2602/slash/0
________
Footnote
[1]. Diringkas dari Kitabul Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 68-69.
[2]. Riwayat Ibnul Mubarak, al Lalikai, dan al Khaththib al Baghdadi. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam Shahih al Jami’ ash Shaghir, no. 2203, dan Syaikh Salim al Hilali dalam kitab Hilyatul ‘Alim, hlm. 81.
[3]. Lihat Jami’ Bayanil ‘ilmi, hlm. 246.
[4]. Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39, karya Syaikh Bakar Abu Zaid.
[5]. Siyar A’lamin Nubala, 4/472, dinukil dari Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39.
[6]. HR Ibnu ‘Adi di dalam al Kamil, al Baihaqi di dalam Sunan Kubra, Ibnu ‘Asakir di dalam Tarikh Dimsyaq, Ibnu Hibban di dalam ats Tsiqat, Abu Nu’aim di dalam Ma’rifatush Shahabat, Ibnu Abdil Barr di dalam at Tamhid, al Khath-thib di dalam Syaraf Ash-habul Hadits, dan lain-lain. Hadits ini diriwayatkan lebih dari 10 sanad, sehingga saling menguatkan. Dishahihkan oleh Imam Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Hilyatul ‘Alim al Mu’allim, hlm. 77, juga oleh Syaikh Ali bin Hasan di dalam Tashfiyah wat Tarbiyyah.
[7]. Riwayat al Khaththib al Baghdadi di dalam al Kifayah, hlm. 121. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 686, karya Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili.
[8]. Riwayat Imam Ibnul Mubarak di dalam az Zuhud, hlm. 281, hadits 815. Dinukil dari kitab Asy-rathus Sa’ah, hlm. 184, karya Syaikh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al Wabil.
[9]. Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 248. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 687.
[10]. Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 348. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 688.
[11]. Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 686, karya Syaikh Ibrahim ar Ruhaili.
[12]. Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 693.
[13]. Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 685-695.
[14]. Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 40.


No comments:

Post a Comment