Tuesday, July 5, 2011

Beberapa Kaidah Dalam Manhaj Salaf



1)Kaidah : Dalam Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar



Pengertian dari ma’ruf adalah semua bentuk ketaatan dan yang paling utama adalah beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, mengikhlaskan ibadah kepada-Nya serta meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kemudian setelahnya adalah seluruh ketaatan berupa perkara-perkara yang wajib dan mustahab. [lihat kitab Al Amru bil Ma'rufi wa Nahyu 'Anil Mungkar oleh Syaikh Al Allamah Shalih Al Fauzan hal. 6]

Sedangkan Mungkar adalah semua perkara yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka semua bentuk kemaksiatan dan kebid’ahan adalah termasuk perkara Mungkar dan Kemungkaran yang paling besar adalah Syirik kepada Allah Azza wajalla. [Ibid hal. 6-7]

Mengajak kepada yang Ma’ruf dan mencegah perbuatan mungkar adalah wajib kifayah hukumnya atas ummat ini dan bukan wajib ‘ain, jika telah ditegakkan oleh sebagian orang yang mencukupi maka gugurlah dosanya atas yang lain. Tetapi jika tidak ada satupun yang melaksanakannya, maka berdosalah seluruhnya. [lihat kitab Al Amru bil Ma'rufi wa Nahyu 'Anil Mungkar oleh Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah hal. 14]

Allah Ta’ala berfirman,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan ummat yang menyerukan kepada kebaikan dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali Imran 104)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Siapa saja yang menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar maka hendaknya dia memiliki ilmu tentang apa yang dia perintahkan dan apa yang dia larang, lembut dan santunlah ketika memerintah dan melarang.

Hendaknya ilmu didahulukan sebelum memerintah sedangkan sikap lembut dan santun harus selalu menyertai perintah. Jika tidak berilmu, maka ia tidak boleh mengerjakan apa yang dia tidak memiliki ilmu tentangnya. Apabila ia berilmu tetapi tidak memiliki kelembutan, maka ibarat dokter yang tidak memiliki kelembutan, kasar terhadap pasiennya, niscaya ia tidak akan diterima. Dan ibarat pendidik yang kasar yang tidak disukai oleh anak didiknya.

Sungguh Allah Ta’ala telah berkata kepada Musa dan Harun Alaihimussalam,

فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha :44)


Kemudian siapa saja yang memerintah kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar biasanya disakiti, maka wajib baginya bersabar dan tetap santun.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ

“Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

Beliau (Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah) mengatakan pula,

"Dan adalah wajib bagi siapa saja yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, untuk melakukannya dengan ikhlas karena Allah dengan maksud taat kepada Allah. Dan hendaknya tujuannya adalah untuk memperbaiki orang yang diperintah, menegakkan hujjah kepadanya, dan jangan bertujuan untuk mencari kedudukan bagi dirinya, kelompoknya, atau melecehkan orang lain.

Dan Asas Agama ini adalah cinta karena Allah, benci karena Allah, setia karena Allah, bermusuhan karena Allah; ibadah karena Allah, meminta pertolongan hanya kepada Allah, takut hanya kepada Allah, berharap hanya kepada Allah, memberi hanya karena Allah dan mencegah hanya karena Allah.

Hal ini akan tercapai hanya dengan Mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang perintahnya adalah juga perintah Allah dan larangannya adalah juga larangan Allah, memusuhinya adalah memusuhi Allah, taat kepadanya adalah taat juga kepada Allah dan maksiat kepadanya adalah maksiat kepada Allah.”

[ berakhir :Ringkasan Perkataan Syaikh Ibn Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala]



2)Kaidah :dalam Ibadah

Ibadah pada dasarnya adalah Tauqif (Tidak dikerjakan kecuali ada dalilnya). Dan Allah memerintahkan untuk ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah (Muhammad), Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran: 31)

Allah juga berfirman,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisaa: 13)

Dalam Shahihain dari Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia mencium hajar Aswad seraya berkata,

إني لأعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولو لا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم قبلك ما قبلتك

“Sungguh aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak memberikan mudharat ataupun manfaat, seandainya aku tidak melihat Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu tentu aku tidak akan mencium kamu”

Dan telah disebutkan sebelumnya ucapan sebagian salaf,

اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتم

“Ikutilah dan jangan membuat kebid’ahan, sungguhnya kalian telah tercukupi.”

Sebagaimana telah lalu bahwa di antara syarat diterimanya amalan adalah memurnikan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.


Sungguh telah datang nash yang banyak dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang memerintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta melarang perbuatan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka tidaklah dibolehkan seseorangpun keluar dari apa yang telah ditetapkan oleh As-Sunnah, dan ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah serta apa yang ditempuh oleh Salaful Ummah.


3)Kaidah : Sesungguhnya Poros Agama Ini Ialah Ilmu Yang Bermanfaat dan Amal Shalih

Sesungguhnya Islam, porosnya adalah pada ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala berkata,

"Kebaikan itu terbatas pada dua hal, yakni ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Dan sesungguhnya Allah mengutus Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam dengan yang paling utama dari dua hal yaitu Al-Huda (petunjuk) dan agama yang haq, untuk dimenangkan diatas seluruh agama. Adapun Al-Huda (petunjuk) yaitu ilmu yang bermanfaat dan Agama yang haq adalah amal yang shalih”

Beliau Rahimahullahu Ta’ala juga berkata,

"Adapun Ahlussunnah wal Jamaah yang mengikuti salafus shalih tidak berbicara sedikitpun tentang masalah agama kecuali sejalan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai bentuk ittiba’ kepada Al Kitab (Al Quran) dan As Sunnah. Sedangkan Ahli Bid’ah tidaklah bersandarkan kepada Al Kitab (Al Quran) dan As Sunnah serta atsar Salafus Shalih melainkan bersandarkan kepada Akal, bahasa, dan Filsafat.”

[Ringkasan Perkataan Syaikh Ibn Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala]


4)Kaidah: Menolak Mafsadat (Keburukan) didahulukan daripada Mengambil Manfaat

Dalil dari kaidah ini adalah :

1. Firman Allah Ta’ala,

وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Alloh karena mereka nanti akan memaki Alloh dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am: 108)

Allah mengharamkan mencela sesembahan kaum musyrikin. Padahal celaan tersebut merupakan kemarahan dan kecemburuan karena Allah dan sebagai bentuk penghinaan kepada sesembahan mereka. Sebab celaan tersebut merupakan penghantar munculnya celaan mereka kepada Allah dan mashlahat tidak dicelanya Allah Ta’ala itu lebih esar daripada mashlahat celaan kita pada sesembahan mereka.

2. Dan telah datang hadits dari Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda ;

يا عائشة لو لاأن قومك حديثوا عهد بجاهلية لأمرت بالبيت فهدم فأدخلت فيه ما أخرج منه وألزقته بالأرض…

“Wahai Aisyah, seandainya kaummu bukan orang-orang yang baru meninggalkan jahiliyyah, tentu aku perintahkan baitulloh untuk dirombak. Kemudian aku bangun dan aku masukkan apa yang dikeluarkan darinya, dan niscaya aku turunkan sejajar dengan tanah…..” (Hadits Muttafaq Alaihi)

Dalam hadits ini terkandung indikasi[petunjuk ] yang jelas atas makna qaidah ini. Yakni ketika Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam meninggalkan mashlahat membangun baitullah al-Atiq diatas asas Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam demi menolak mafsadat yang dikhawatirkan terjadi apabila beliau meruntuhkan ka’bah kemudian membangun kembali, yaitu larinya manusia dari Islam atau murtadnya mereka disebabkan perbuatan tersebut. Maka Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam mendahulukan menolak mafsadat ini daripada mengejar mashlahat tersebut.


3. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menahan diri dari memerangi orang-orang munafiq. Padahal itu mengandung kemashlahatan. ini dimaksudkan agar tidak menjadi penyebab larinya manusia dan menimbulkan penilaian mereka bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam membunuh sahabatnya.


4. Larangan Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam dari memerangi para pemimpin dan memberontak kepada imam (penguasa) walaupun mereka berbuat dzalim, selama mereka melaksanakan shalat demi menutup pintu-pintu yang dapat menghantarkan kepada kerusakan yang besar dan kejelekan yang banyak.


Karena memerangi dan memberontak kepada penguasa menyebabkan munculnya kemungkaran yang berlipat ganda daripada kemungkaran-kemungkaran yang sudah ada, sementara umat tetap berada dalam akibat-akibat kejelekan itu sampai sekarang.

Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda ;

إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما

“Jika dibaiat dua khalifah, maka bunuhlah yang terakhir.”

Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghindaran dari fitnah.[ Diringkas dari perkataan Syaikhul islam Ibnu Taimiyah Rahimahullohu Ta’ala ‘anhu.]

[Dinukil dari kitab Kun Salafiyyan Alal Jaadah, Penulis Abdussalam bin Salim As-Suhaimi, Edisi Indonesia Jadilah Salafy Sejati]

Syaikh Abdussalam bin Salim As Suhaimi

sumber :Sunniy Salafy



No comments:

Post a Comment