Seumpama Nabi Sulaimankah kita ; atau seperti Qarunkah kita.
Nabi Sulaiman: Seorang hamba Allah yang bersyukur.. Qarun: Seorang hamba Allah yang kufur...
Seumpama Nabi Sulaimankah kita ; atau seperti Qarunkah kita.
Nabi Sulaiman: Seorang hamba Allah yang bersyukur.. Qarun: Seorang hamba Allah yang kufur...
Sebaliknya, tatkala berhasil mendapatkan kembali nikmat dunia yang sebelumnya hilang darinya, mereka merasa seolah-olah dirinyalah orang yang paling berhak menikmatinya. Mereka juga meremehkan dan melecehkan orang lain yang ada di sekitarnya kerana tidak memiliki ‘kemuliaan’ seperti yang didapatkannya. Mereka pun ternyata tidak dapat menjadi seorang hamba yang pandai bersyukur kepada Rabbnya atas nikmat yang telah dilimpahkan oleh-Nya.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian (rahmat itu) Kami cabut kembali, pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. Dan jika Kami berikan kebahagiaan kepadanya setelah ditimpa bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata; ‘Telah hilang bencana itu dariku.’ Sesungguhnya dia (merasa) sangat gembira dan bangga, kecuali orang-orang yang sabar, dan mengerjakan kebajikan, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Hud: 9-11).
dalam ayat yang mulia ini, Allah menceritakan tentang sifat buruk manusia yang bodoh lagi suka melakukan kezaliman.
Tatkala Allah menganugerahkan kepadanya sebahagian dari rahmat-Nya berupa kesihatan, rezeki yang melimpah atau anak-anak yang menyenangkan hati dan semacamnya lalu Allah pun mencabut hal itu darinya, dia bersikap putus asa tidak tidak redha atas musibah yang berlaku. Dia tidak melihat hikmah di sebalik apa yang berlaku dan sisi baik ( dan balasan baik ) dari Allah lalu tidak bersikap redha dan bersabar menerima ketentuan Ilahi.Dia juga tidak mengharapkan pahala dari Allah (atas musibahnya). Tidak pernah terlintas dalam fikirannya (mengharapkan ) bahwa kelak Allah akan mengembalikan sesuatu yang hilang itu kepada dirinya, menggantikannya dengan yang serupa atau bahkan sesuatu yang lebih baik darinya (apabila dia bersabar ).
Demikian pula, apabila Allah melimpahkan kepadanya rahmat/kemudahan setelah dirundung kesulitan maka diapun terlalu gembira dan berbangga diri. Dia mengira bahwa keadaan itu akan terus-menerus dialaminya, sehingga dia berkata, “Semua bencana telah hilang dariku.” Ini menunjukkan dirinya terlalu gembira dan berbangga-bangga. Dia merasa senang dengan suatu kurniaan/nikmat yang sesuai dengan hawa nafsunya. Dia merasa angkuh dengan kenikmatan yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Itulah yang membuatnya semakin congkak, sombong, ujub akan diri sendiri dan angkuh kepada orang lain, suka merendahkan dan melecehkan mereka. Aib manakah yang lebih parah daripada sifat semacam ini?
Inilah karakter yang melekat pada jiwa manusia kecuali orang-orang yang diberi taufik oleh Allah untuk bersabar ketika mendapatkan musibah -sehingga tidak berputus asa- dan bersyukur ketika mendapatkan nikmat -sehingga dia tidak bersikap angkuh- dan dia pun mengerjakan amal-amal salih yang wajib mahupun yang sunnah.
Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan mendapatkan balasan pahala yang sangat besar berupa syurga beserta segala macam kenikmatan yang diinginkan jiwa manusia (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 396. cet. Dar al-Hadits)
Contoh peribadi manusia yang larut dengan ‘keberhasilan’nya dan angkuh dengan kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya adalah Qarun. Dia berkata dengan nada sombong dan angkuh, sebagaimana diceritakan dalam ayat (yang artinya),
“Dia (Qarun) berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata kerana ilmu yang ada padaku.’…” (QS. al-Qashash: 78).
Dia mengira bahwa dirinya memang orang yang berhak dan paling layak untuk mendapatkan itu semua. Sehingga dia pun menolak mentah-mentah nasihat dari kaumnya untuk tidak dihanyutkan oleh kesenangan dunia sehingga melupakan urusan akhirat.
Dalam pandangannya, kekayaan materi (perhiasan dunia ) itulah bukti pemuliaan dan kecintaan Allah kepada dirinya. Allah tidak tinggal diam dan tidak membiarkan-sehingga menyesatkan orang lain juga - terhadap hal ini. Allah membantah persangkaan Qarun ini dengan firman-Nya (yang artinya),
“Tidakkah dia (Qarun) tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta…” (QS. al-Qashash: 78).
(lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 684. cet. Dar al-Hadits)
Berbeza halnya dengan peribadi yang mengerti akan dirinya dan memahami keagungan Rabbnya. Maka dia akan mengakui bahwa nikmat yang dia peroleh adalah sebagai ujian dari Rabbnya. Sehingga dia pun merasa khuatir jika dia tidak dapat menunaikan syukur kepada-Nya dengan sebaik-baiknya.
Inilah keteladanan yang dicontohkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, sebagaimana disebutkan dalam ayat (yang artinya),
“Maka ketika dia (Sulaiman) melihat Singgahsana (Ratu Balqis) itu terletak di hadapannya, dia pun berkata; ‘Ini termasuk kurniaan Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya Mahamulia.’.” (QS. an-Naml: 40). (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 662.)
Sekarang, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita termasuk pengikut keteladanan Sulaiman ‘alaihis salam ataukah pengikut kesesatan Qarun dan orang-orang yang sejalan dengannya. Wallahul muwaffiq. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
sumber : ustaz Abdul Aziz Ismail Nuh, 28/4/ 2011
No comments:
Post a Comment