(Andalusia)
Shalih bin Ahmad menuturkan bahwa ayahnya (Imam Ahmad) pernah bercerita kepadanya. Disebutkan bahwa Imam Ahmad pernah berkata kepada dua orang utusan Khalifah (Ibnul Kalbi dan al-Muzhaffar, keduanya menggeledah rumah Imam Ahmad ketika dia dituduh telah menyembunyikan seorang ‘Alawi. Khalifah mengutus pasukan untuk menggeledah rumah Imam Ahmad di malam hari, namun dia tetap ridha dan memuji khalifahnya. Lihat Siyar A’laam an-Nubalaa’ (XI/266).
“Aku berpendapat untuk tetap mentaati Khalifah, baik ketika susah maupun senang, dalam kondisi semangat maupun terpaksa, bahkan ketika Khalifah lebih mementingkan dirinya sendiri sekalipun. Namun yang membuatku sedih adalah aku tidak diizinkan untuk mengikuti shalat berjamaah, menghadiri shalat jum’at, dan berdakwah kepada kaum Muslimin.”
[Diriwayatkan oleh al-Khallal dalam as-Sunnah (I/82, no. 13)].
Dalam riwayat Hanbal disebutkan tambahan lafazh:
“Dan sungguh aku selalu mendo’akan agar khalifah selalu diberikan bimbingan dan taufik, baik pada malam maupun siang hari, dan juga dianugerahi kekuatan. Menurutku, hal itu adalah kewajibanku.”
Apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad rahimahullah ini merupakan hakikat dari madzhab Salaf, sebagaimana pernyataan Imam ath-Thahawi rahimahullah yang lalu. Sebab, salah satu hak seorang pemimpin adalah dido’akan oleh rakyatnya—baik dengan sepengetahuannya ataupun tidak—untuk mendapatkan kebaikan, taufik, dan bimbingan Allah. Juga tidak menyebutkan sesuatu tentang dirinya, kecuali kebaikan. Tentunya, semua itu diiringi dengan upaya untuk menasihatinya sedapat mungkin. Dan perlu diingat bahwa pemimpin hanya boleh ditaati dalam hal kebaikan (ma’ruf). Jika dia memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan, maka tidak boleh mentaati sesama makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Dan semua itu dilakukan dengan tetap memelihara hak Sang Khalifah dalam permasalahan yang lain.
Karena itulah, Imam Ahmad tetap memelihara hak khalifah ketika itu. Dia tidak menyebutkan tentangnya kecuali kebaikan; dia juga tidak menggunjing ataupun mengumpatnya. Sikap Imam Ahmad ini sangat bertolak belakang dengan sikap kebanyakan kaum Muslimin yang tidak memahami kemaslahatan dan kerusakan yang lahir dari gunjingan terhadap pemimpin; atau mereka yang mengambil pendapat dari sumber bid’ah, atau berjalan di atas selain manhaj Salaf.
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata:
“Menyebarkan aib para penguasa dan menyebutkannya di atas mimbar bukanlah manhaj ulama Salaf. Karena hal itu dapat menyebabkan terjadinya kudeta, ketidakpatuhan, dan ketidaktaatan dalam hal yang ma’ruf. Perbuatan itu juga dapat menyebabkan terjadinya pemberontakan yang membahayakan dan tidak bermanfaat sama sekali. Cara yang menjadi panutan dari ulama Salaf adalah saling menasihati, baik terhadap sesama maupun terhadap penguasa; menulis surat kepadanya atau menjalin hubungan dengan para ulama yang memiliki kedekatan terhadap penguasa, agar dia bisa mengarahkannya kepada kebaikan.”
Syaikh Muhammad ash-Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Berpeganglah kepada manhaj Salafush Shalih dalam bermuamalah terhadap pemerintah. Kekeliruan pemerintah tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk membangkitkan amarah umat. Tidak mentaati pemerintah merupakan awal terjadinya kerusakan dan munculnya fitnah di tengah masyarakat. Menyibukkan hati untuk mencari-cari kesalahan pemerintah hanya akan menimbulkan kejahatan, fitnah, dan kekacauan. Sama halnya ketika seseorang menyibukkan hatinya untuk mencari-cari kekurangan para ulama, niscaya perbuatan itu akan menimbulkan sikap meremehkan terhadap mereka, yang selanjutnya akan meremehkan syari’at yang mereka emban. Maka yang wajib kita dilakukan adalah memperhatikan apa yang menjadi manhaj ulama Salaf dalam bermuamalat dengan pemerintah. Setiap orang harus mampu mengendalikan dirinya dan mempertimbangkan baik-baik akibat yang akan ditimbulkan oleh perbuatannya.
Ketahuilah bahwa orang yang melakukan pemberontakan itu sesungguhnya sedang membantu musuh-musuh Islam. Karena solusi yang tepat tidak terletak pada pemberontakan dan tidak pula dengan luapan emosi, melainkan solusi yang tepat adalah dengan cara hikmah (bijaksana). Namun yang dimaksud dengan hikmah di sini bukanlah berdiam diri dari kesalahan. Akan tetapi, membetulkan kekeliruan agar kita dapat memperbaiki keadaan, bukan untuk mengubah keadaan. Sesungguhnya yang dianggap sebagai seorang penasihat itu adalah orang yang berbicara demi memperbaiki keadaan, bukan mengubahnya.”
Semoga Allah merahmati kedua imam tersebut. Melalui pernyataan penting dari mereka berdua, menjadi jelaslah bagi kita bagaimana sesungguhnya manhaj ulama Salaf dalam bermuamalah dengan pemimpin (pemerintah). Ironisnya, hal ini tidak diketahui oleh kebanyakan da’i yang justru mengusung tata cara baru dalam berdakwah.
Perhatikan sikap Imam Ahmad rahimahullah yang telah diuji untuk membenarkan bahwa al-Qur-an itu makhluk. Dia dipenjara, dipukul, dan disiksa; serta dilarang meriwayatkan hadits, berfatwa, dan shalat Jum’at, bahkan shalat berjamaah. Namun dia tetap bersabar menghadapi kelaliman dan kezhaliman tersebut demi mengharap ridha Allah. Dan dia tetap mendo’akan dan menjaga hak-hak mereka.
Bandingkanlah sikap di atas dengan manhaj-manhaj sesat yang menyebabkan semakin bermunculannya fitnah di tengah-tengah umat. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui adanya hak orang lain, baik ulama maupun pemimpin, dengan dalih untuk mengingkari kemunkaran.
Dinukil dari buku Fitnah Akhir Zaman hlm. 223-226
Penulis : Dr. Muhammad bin A.W. al-'Aqil
by Pustaka Imam Asy-Syafi'i April 8, 2011
No comments:
Post a Comment