Nikah
mut'ah sepertinya tidak bisa dipisahkan dari sekte Syi'ah Itsna
'Asyariyah yang pada tanggal 2-4 Maret 2010 kemarin mengadakan Silatnas
Ahlul Bait Indonesia ke-5 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. Sekte
Syi'ah sangat mengagungkan nikah mut'ah ini dengan keyakinan mendapat
pahala yang besar.
Disebutkan
dalam Minhajul Qashidin (kitab Syi'ah), karya Fathullah al Kasyani (hal
356), dari imam al Shadiq, "bahwa mut'ah adalah bagian dari agamaku dan
agama nenek moyangku. Barangsiapa yang mengamalkannya berarti berarti
ia mengamalkan agama kami, dan yang mengingkarinya berarti mengingkati
agama kami, bahkan dia bisa dianggap beragama dengan selain agama kami.
Anak yang dilahirkan dari perkawinan mut'ahlebih utama daripada anak
yang dilahirkan melalui nikah yang tetap. Dan orang yang mengingkari
nikah Mut'ah ia kafir dan murtad."
Bahkan
As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin
2/493 menyebutkan hadits, "Barangsiapa melakukan nikah mut'ah satu kali
maka derajatnya seperti Al-Husain, barangsiapa melakukannya dua kali
maka derajatnya seperti Al-Hasan, barangsiapa melakukannya tiga kali
maka derajatnya seperti Ali radhiyallahu 'anhu, dan barangsiapa
melakukannya sebanyak empat kali maka derajatnya seperti aku."
Apa sebenarnya nikah mut'ah itu dan bagaimana hukumnya dalam Islam berdasarkan hadits-hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? akan dijelaskan berikut ini, Insya Allah.
Pengertian Nikah Mut'ah
Mut'ah
secara bahasa berasal dari kata "Tamattu" yang berarti bersenang-senang
atau menikmati. Adapun secara istilah, nikah mut'ah adalah sebuah bentuk
pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu
tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi
perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum
perceraian dan warisan. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya
An-Nawawi dengan beberapa tambahan)
Nikah
mut'ah yang disyari'atkan agama Syi'ah ini sangat mirip dengan zina
yaitu kawin untuk melakukan hubungan seks dengan berdasarkan mahar
tertentu. Masa berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu hari,
satu minggu, satu bulan dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di
kedua belah pihak tergantung kesanggupan membayarnya. (Catatan atas
jawaban lengkap Dr. Hasan terhadap seminar sehari tentang Syiah, hal.
46.)
Al-Kulaini
dalam Al-Furu' min al-Kaafi, 5/489, meriwayatkan bahwa Zurarah pernah
bertanya kepada Abul-Hasan Ar-Ridla, "apakah boleh masa mut'ah sesaat
atau dua saat (yaitu ukuran waktu yang pendek)? Maka dijawab: "Yang
boleh bukan sesaat atau dua saat, tetapi perjanjian mut'ahnya adalah
sekali jima' atau dua kali atau sehari atau dua hari, semalam atau dua
malam dan yang semisalnya."
Nikah Mut'ah : bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi. . . terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan.
Hukum Nikah Mut'ah
Pada awal Islam, nikah mut’ah dihalalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berdasarkan beberapa sabdanya, lalu hukum ini dihapus dengan beberapa
hadits yang melarangnya dan mengharamkannya hingga hari kiamat.
Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya nikah mut'ah di awal Islam adalah:
Pertama, Hadis Abdullah Bin Mas'ud radliyallah 'anhu, berkata: ''Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sedangkan kami tidak membawa serta istri–istri kami. Lalu kami berkata; ''bolehkah kami berkebiri?" Namun Rasululullah shallallahu 'alaihi wasallam
melarangnya, tapi kemudian beliau memberikan keringanan untuk menikahi
wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu" (HR. Ahmad)
Kedua, Hadis Jabir dan Salamah bin al Akwa' radliyallah 'anhuma, berkata, "pernah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menemui kami dalam sebuah peperangan, lalu bersabda,
إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُوا
''Telah di izinkan bagi kalian untuk menikah mut'ah maka sekarang mut'alah." (HR.Bukhori no. 5117)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullah
berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada
awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah
tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan
keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya
An-Nawawi)
Ketiga, sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk
melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘Azza wa Jalla telah
mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma,
maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang
diharamkannya nikah mut’ah untuk selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim
hadits no. 1405 karya An-Nawawi)
Sedangkan gambaran nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dapat dirinci sebagai berikut:
1.
Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti
perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim
hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4.
Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut
sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging
babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
“Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Adapun dalil-dalil yang mengharamkan nikah mut'ah ini adalah sebagai berikut:
Pertama, Hadis Ali bin Abi Thalib radliyallah 'anhu, yang berkata kepada Ibnu 'Abbas, "sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang nikah mut'ah dan memakan daging khimar jinak pada waktu perang khaibar. (HR.Bukhari no. 5115,Muslim no. 1407)
Kedua, Hadis Sabrah bin Ma'bad Al-Juhaini radliyallah 'anhu, dari ayahnya dari kakeknya, berkata,
أَمَرَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُتْعَةِ عَامَ
الْفَتْحِ حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى
نَهَانَا عَنْهَا
'Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami untuk nikah mut'ah pada
Fathu Mekah saat kami masuk mekah. Dan tidaklah kami keluar darinya
sehingga melarang kami darinya."
Dalam Riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, ''Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya dahulu telah
mengizinkan kalian mut'ah dengan wanita. Sekarang Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat ,maka barang siapa yang memiliki
istri dari mut'ah maka hendaklah dia ceraikan.'' (HR.Muslim no. 1406,
Ahmad 3/404, Thabrani dalam al-Kabir no. 6536, al-Baihaqi 7/202, dan
al-Darimi 2/140)
Ketiga, hadis Salamah bin Akwa radliyallah 'anhu berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan keringanan untuk mut'ah selama tiga hari pada perang Authos kemudian beliau melarangnya." (HR.Muslim no. 1023)
Keempat,
seluruh umat Islam telah sampai pada posisi ijma' tentang
pengharamannya. Semua sepakat menyatakan bahwa dalil yang pernah
menghalalkan nikah mut'ah itu telah dimansukhkan sendiri oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Tidak ada satu pun kalangan ulama Ahli Sunnah yang menghalalkannya kecuali oleh ulama syi'ah sendiri.
Kelima, Ibnu Umar telah berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memberi izin untuk nikah mut'ah selama tiga hari lalu beliau
mengharamkannya. Lebih lanjut tentang pelaku nikah mut'ah ini, fuqaha
dari kalangan shahabat Umar radliyallah 'anhu yang agung itu berkata, "Demi Allah, takkan kutemui seorang pun yang menikah mut'ah padahal dia muhshan kecuali aku merajamnya."
Imam
Al-Baihaqi menukil dari Ja'far bin Muhammad bahwa beliau ditanya tentang
nikah mut'ah dan jawabannya adalah bahwa nikah mut'ah itu adalah zina
itu sendiri.
. . . bahwa nikah mut'ah itu adalah zina itu sendiri."Demi Allah, takkan kutemui seorang pun yang menikah mut'ah padahal dia muhshan kecuali aku merajamnya." Ibnu Umar
Keenam,
bertentangan dengan fitrah manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan
enggannya seorang ayah menikahkan anak wanitanya secara mut'ah.
Seandainya orang-orang yang menghalalkan nikah mut'ah itu punya anak
wanita yang disayanginya, dipelihara dengan kasih sayang, dibesarkan dan
diberikan pendidikan serta rizki yang cukup, lalu setelah besar hanya
dijadikan piala bergilir oleh laki-laki manapun yang mau membayarnya
dengan beberapa uang receh, tentu saja hatinya menjerit untuk menolak
nikah mut'ah.
Sungguh
aneh melihat ada orang tua yang rela anak perempuannya disetubuhi hanya
berdasarkan kesepakatan kontrak dan menerima bayaran dari jasa
kenikmatan. Sungguh nikah mut'ah tidak ada bedanya dengan pelacuran yang
dilegalkan.
Sungguh nikah mut'ah tidak ada bedanya dengan pelacuran yang dilegalkan.
Fatwa Para Ulama Madzhab tentang Nikah Mut'ah
A. Ulama Madzhab Hanafi :
- Imam Al-Sarakhsi berkata : ''Nikah mut'ah ini batil menurut madzhab kami." (al Mabshut 5/152)
- Imam Al-Kasani berkata: ''Tidak boleh nikah yang bersifat sementara yaitu nikah mut'ah." (Bada'i al Shana'I 2/272)
- Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi berkata; ''Sesungguhnya semua hadis yang membolehkan nikah mut'ah telah di mansukh ( di hapus)." (Ma'ani Atsar 3/26)
- Beliau juga berkata pada hal 27, "lihatlah umar beliau melarang nikah mut'ah di hadapan semua sahabat tanpa ada yang mengingkari. Ini adalah dalil bahwasanya mereka mengikuti larangan Umar, dan kesepakatan mereka untuk melarang hal tersebut adalah hujjah atas di hapusnya kebolehan mut'ah."
B. Ulama Madzhab Maliki:
- Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu maka nikahnya batil. (Al-Mudhawannah Al-kubra 2/130)
- Imam Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, "Hadis–hadis yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat yang mutawatir." (Bidayatul Mujtahid 4/325)
- Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, ''Adapun semua shahabat, Tabi'in dan orang-orang yag setelah mereka mengharamkan nikah mut'ah, di antara mereka adalah Imam Malik dari Madinah, Abu Hanifah dan Abu Tsur dari Kufah, Al-Auza'i dari Syam, Laits bin Sa'ad dari Mesir serta seluruh ulama hadits." (Al-Tamhid 10/121)
C. Ulama Madzhab Syafi'i:
- Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata, "Nikah mut'ah yang di larang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu baik pendek maupun panjang." (Al-Umm 5/85)
- Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Nikah mut'ah tidak di perbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya suatu akad yang bersifat mutlak. Maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu." (Al-Majmu, 17/356)
- Imam Al-Khathabi rahimahullah berkata,"keharaman nikah mut'ah semacam kesepakatan antara kaum muslimin, memang nikah ini dihalalkan di awal masa Islam, Akan tetapi diharamkan pada sa'at haji wada dan demikian itu terjadi di akhir–akhir masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan sekarang tidak ada perbeda'an antar para ulama mengenai keharaman masalah ini kecuali sedikit dari kalangan orang–orang Syiah Rafidhah." (Ma'alimus Sunan, 2/558)
D. Ulama Madzhab Hanbali
- Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan bahwa nikah mut'ah ini batil sebagaimana di tegaskan oleh Imam Ahmad, beliau berkata, "nikah mut'ah haram." (Al-Mughni, 6/644)
- Bahkan sebagian ulama menukil ijma tentang keharaman nikah mut'ah seperti Imam Al-Baghawi sebagaimana di nukil Syaikh Shidiq hasan Khan (Raudhah Nadiyah, 2/165. Ma'at Ta'liqat), Imam Al-Qurthubi dan Ibnul Al-Arabi (dalam Bidayatul Mujtahid, 2/48) dan Sayyid Sabiq (Fiqhus Sunnah 2/130).
Bezanya Mut'ah yang Dihalalkan pada Awal Islam dengan Mut'ah Ala Syi'ah
Nikah
mut'ah yang di halalkan di awal Islam bukan seperti mut'ah ala Syiah
yang sudah banyak meracuni dan merusak kaum muslimin. Karena mut'ah yang
pernah di halalkan namun kemudian diharamkan itu memiliki
kriteria-kriteria sebagai berikut:
Pertama,
tidak sedang berada di tempat tinggalnya, baik ketika safar maupun pada
sa'at jihad yang mana dia tidak bisa membawa istrinya. Jadi
dihalalkannya nikah mut'ah di awal Islam adalah saat terpaksa, bukan
dalam keadaan lapang. Hal ini ditunjukan oleh hadits Ibnu Mas'ud, Jabir
bin Abdillah, dan hadits Salamah bin Akwa di atas. Dan ini diperkuat
oleh Riwayat Imam Bukhari no.5116 dari Abi Jamrah berkata: "Saya
mendengar Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma ditanya tentang nikah
mut'ah lalu beliau membolehkannya, Maka ada bekas budak beliau yang
berkata, "Itu hanya dalam keadaan yang terpaksa dan saat wanita
sedikit." Maka Ibnu Abbas menjawab, "benar."
Berkata
Al-Qadhi Iyadh, "Semua hadis di atas tidak ada yang menunjukan bahwa
mut'ah dilakukan saat berada di tempat tinggalnya. Namun dilakukan saat
dalam perjalanan perang atau saat terpaksa dan tidak ada istri yang
bersamanya." (Syarh Shahih Muslim, 9/1179)
Kedua,
harus memenuhi syarat akad nikah yang sah, yaitu izin wali wanita,
adanya dua orang saksi dan adanya mahar serta apabila telah selesai masa
mut'ah si wanita wajib melakukan 'iddah sehingga jelas apakah dia hamil
ataukah tidak? karena kalau hamil maka anak itu dinasabkan kepada
bapaknya. (Al-Mufashal fie Ahkamil Mar-ah, Syaikh Abdul Karim Zaidan,
6/174)
Berkata
Imam Ibu Athiyah, "Nikah mut'ah yang pernah dibolehkan adalah apabila
seorang laki-laki menikahi wanita dengan dua orang saksi dan izin wali
sampai batas waktu tertentu, hanya saja tanpa hak saling mewarisi antar
keduanya namun tetap harus dengan mahar atas kesepakatan keduanya. Dan
apabila telah selesai masanya, Maka dia tidak lagi mempunyai hak atas
istrinya dan harus istibra rahimnya (mengkosongkan rahim dari janin dan
itu bisa diketahui dengan datangnya haid atau melahirkan), karena anak
yang lahir akan dinasabkan kepada ayah tapi apabila tidak hamil maka dia
boleh menikah dengan yang lainnya."
Imam Al
Qurthubi berkata, "Apabila nikah mut'ah tanpa saksi dan Wali: hal itu
adalah perzinaan sama sekali tidak diperbolehkan dalam Islam." (Tafsir
Qurthubi, 5/132)
Hal ini
sangat jauh berbeda dengan amalan mut'ah yang dilakukan sebagian orang
sekarang ini karena mereka memang mereka mengadopsi dari mut'ah Syiah
yang mana tidak disyaratkan adanya wali dan saksi. (Al Mufashal,
6/175-177. Dan kitab mereka An-Nihayah oleh ath -Thusi hal. 489)
Berkata
Syaikh Abdul Karim Zaidan, "Setelah memaparkan model nikah Mut'ah Syiah
Ja'fariyah yang kita ambil dari kitab-kitab monumental mereka, maka
sangat jelas dan gamblang akan kebatilan nikah ini dan ini bukan mut'ah
yang pernah dihalalkan di awal masa islam. (Al Mufashal, 6/175-177)
Adapun
hikmah atau rahasia dibolehkannya kawin mut'ah waktu itu, ialah karena
masyarakat Islam waktu itu masih dalam suatu perjalanan yang kita
istilahkan dengan masa transisi, masa peralihan dari jahiliah kepada
Islam. Sedang perzinaan di masa jahiliah merupakan satu hal yang biasa
dan tersebar di mana-mana. Maka setelah Islam datang dan menyerukan
kepada pengikutnya untuk pergi berperang, dan jauhnya mereka dari isteri
merupakan suatu penderitaan yang cukup berat. Sebagian mereka ada yang
imannya kuat dan ada pula yang lemah. Yang imannya lemah, akan mudah
untuk berbuat zina sebagai suatu perbuatan yang keji dan cara yang tidak
baik.
Nikah Mut'ah yang dibolehkan diawal Islam jauh berbeda dengan nikah Mut'ah menurut Syi'ah.
Nikah Mut'ah Dalam Ajaran Syi'ah dan kesan Negatifnya
Sedangkan
nikah mut'ah dalam ajaran Syiah adalah kawin yang di lakukan
berdasarkan mahar tertentu. Masa berlakunya bisa setengah jam, bisa satu
jam, satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya, sesuai dengan
akad perjanjian di kedua belah pihak tergantung kesanggupan membayarnya.
Nikah Mut'ah dalam sekte syi'ah memiliki lima syarat, yaitu:
- Calon Istri
- Calon Suami
- Mahar
- Batas Waktu
- Ijab Kabul.
Kawin
mut'ah ini tidak perlu wali dan tidak perlu saksi dan tidak ada hak
waris-mewarisi. Kalau ada anak yang lahir akibat mut'ah ini adalah
menjadi tanggung jawab ibunya, karena faraj ibunya waktu melakukan kawin
mut'ah tadinya sudah di bayar.
Di dalam
Al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja’far
Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: "Apa yang aku katakan kepada dia
(wanita yang akan dinikahi, pen) bila aku telah berduaan dengannya?"
Maka beliau menjawab: "Engkau katakan: Aku menikahimu secara mut’ah
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak
mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun
kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian
dan demikian." Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik
sedikit maupun banyak.” Apabila wanita tersebut mengatakan: “Ya” berarti
dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk menggaulinya. (Al-Mut’ah
Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima’i hal. 28-29 dan 31)
Ja’far
Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang masih
perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin kedua orang tuanya.”
(Tahdzibul Ahkam 7/254).
Mahar Nikah Mut'ah
At-Thusi
mencuplik dalam tahdzib : "Adapun mahar mut'ah adalah suatu perkara
yang mereka saling ridho sedikit atau banyak. Aku berkata kepada Abi
Abdillah, Apa mahar kawin mut'ah yang paling rendah. beliau berkata ;
"Segenggam gandum."
Akibat Buruk Nikah Mut'ah Ala Syi'ah
Pertama,
Banyak didapati kasusnya adalah beredarnya penyakit kelamin semacam
spilis, raja singa dan sejenisnya di kalangan mereka yang
menghalalkannya. Karena pada hakikatnya nikah mu'tah itu memang zina.
Kedua,
"Merusak garis nasib manusia. Dalam nikah mut’ah, suami tidak bisa
menceraikan istri sebelum masa kontrak selesai, namun ia (laki-laki)
bisa menghadiahkan waktu mut’ahnya kepada laki-laki lain tanpa
persetujuan istri.
Ketiga, Berpeluang disalahgunakan dan hanya sebagai pelampiasan hawa nafsu seksual belaka.
Keempat, Merendahkan harkat perempuan karena perempuan dipandang sebagai obyek seksual kaum pria belaka.
Di antara kelompok Syiah yang menghalalkan nikah model ini adalah Syiah Imamiyah atau Ja'fariyah.
Oleh: Badrul Tamam
(PurWD/voa-islam.com)
nice share gan, mantap penjelasan artikelnya
ReplyDeleteSouvenir Pernikahan Murah Kediri