Hukum Bekerja di Bank (Syariah)
Fatwa
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah: “…
Tidak diperbolehkan bekerja di bank seperti itu (yang melakukan
transaksi riba, pen.). Sebab bekerja di sana termasuk ta’awun
(tolong-menolong) di atas dosa dan permusuhan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
(Al-Ma’idah: 2)
Disebutkan dalam Ash-Shahih dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaknat pemakan
riba, orang yang memberi makan orang lain dengan harta riba, penulis,
dan kedua saksinya. Beliau menyatakan:
“(Dosa) mereka sama.”
Adapun gaji yang telah anda terima, maka halal bagi anda bila
sebelumnya anda jahil (tidak tahu) tentang hukum syar’inya, dengan dasar
firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
(Al-Baqarah: 275-276)
Sementara bila anda tahu bahwa pekerjaan tersebut
tidak
diperbolehkan, maka seyogianya gaji yang anda terima disalurkan kepada
proyek-proyek kebajikan dan menyantuni para fuqara disertai dengan
taubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Barangsiapa bertaubat kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan taubat nashuha, maka Allah Subhanahu Wa
Ta’ala akan menerima taubatnya dan mengampuni kesalahannya. Sebagaimana
firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:
“Dan bertaubatlah kalian semua wahai kaum mukminin, agar kalian
beruntung.” (An-Nur: 31) [Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Kitab Ad-Da’wah,
2/195-196, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ hal. 128-130]
Fatwa serupa juga disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah sebagaimana dalam Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih
Al-‘Utsaimin (2/703). Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 128).
Juga Al-Lajnah Ad-Da’imah (13/344-345) yang diketuai oleh Asy-Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi,
anggota: Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan dan Asy-Syaikh Abdullah bin
Mani’.
Juga penjelasan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah dalam kitabnya Qam’ul Mu’anid (2/278).
Fatwa mereka berlaku umum bagi siapa saja yang bekerja di bank-bank
ribawi, walaupun hanya sebagai sopir atau sekuriti (petugas keamanan).
Juga berlaku pada semua lembaga ribawi selain bank. Ini adalah fatwa
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal.
133).
Bahkan hukumnya pun berlaku bagi pihak yang tidak punya pilihan
pekerjaan kecuali di bank ribawi, atau pihak yang kondisi ekonominya
pailit dan hanya ada lowongan pekerjaan di bank ribawi, sebagaimana
fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah. Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal.
132-133).
Ancaman keras bagi pihak yang terlibat praktik riba
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba.” (Al-Baqarah: 275)
2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menegaskan:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)
3. Pihak yang terlibat dalam praktik ribawi didoakan laknat oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits Jabir
Radhiallahu ‘anhu yang lalu.
4. Memakan harta riba termasuk dosa yang menghancurkan pelakunya, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu :
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الَمُوبِقَاتِ -فَذَكَرَ مِنْهَا:- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh dosa yang menghancurkan… (beliau menyebutkan di antaranya): memakan harta riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
Masih banyak lagi dalil tentang keharaman dan ancaman terhadap muamalah riba.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Tidak ada
dalam Kitabullah sebuah ancaman atas tindakan dosa selain syirik yang
lebih keras daripada ancaman terhadap riba.” (Syarah Buyu’ hal.125)
Harta riba tidak barakah dan berujung pada kehancuran
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan dalam firman-Nya:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah: 276)
Pemusnahan harta riba itu meliputi dua hal:
q Pemusnahan di dunia secara hakiki dengan kehancuran harta tersebut
atau diambil barakahnya. Hal ini sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud
Radhiallahu ‘anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
“Tidaklah ada seseorang yang memperbanyak riba melainkan akibat akhir
urusannya adalah kekurangan.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/16)
q Pemusnahan di akhirat nanti secara maknawi. Dia akan berjumpa
dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam keadaan sebagai orang muflis
(bangkrut). (Syarah Buyu’ hal. 126)
Takwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tawakkal kepada-Nya adalah kunci datangnya rezeki yang halal
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Lafadz ﮟ dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk nakirah (umum) dalam
konteks persyaratan. Secara kaidah ushul fiqih mengandung arti umum,
sehingga mencakup jalan keluar dari semua kasus dan problem. Ini juga
memberi isyarat makna akan adanya jalan keluar terbaik dalam waktu
cepat.
Bila Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang Maha Kuasa lagi Maha Kaya, yang
memberi
jalan keluar sekaligus menjamin kebutuhan hamba yang takwa dan
bertawakkal, lalu apa yang dikhawatirkan? Apa yang dia risaukan?
Ketenangan dan ketentraman hatilah yang semestinya dirasakan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ
لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ
بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya,
niscaya Allah akan anugerahkan rezeki kepada kalian sebagaimana
melimpahkan rezeki kepada burung, di pagi hari dalam keadaan lapar,
(pulang) sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad dari ‘Umar bin
Al-Khaththab Radhiallahu ‘anhu , dan dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam
Ash-Shahihul Musnad 2/110-111)
Anjuran mencari usaha yang halal dan keutamaan qana’ah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka apabila shalat itu telah usai, maka menyebarlah kalian di atas
muka bumi dan carilah keutamaan dari Allah.” (Al-Jumu’ah: 10)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ
عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ
“Tidaklah ada seorang pun yang memakan suatu makanan yang lebih baik
daripada apa yang dia makan dari hasil usahanya sendiri. Dan sungguh
Nabiyullah Dawud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Al-Bukhari
dari Miqdam bin Ma’dikarib Radhiallahu ‘anhu )
Sungguh benar. Berusaha mencari rezeki yang halal dari hasil usaha
sendiri, bukan dengan cara mengemis, diiringi dengan ketakwaan dan
tawakkal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, setelah itu banyak bersyukur
dan qana’ah (merasa cukup) atas anugerah rezeki dari Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Alangkah tentramnya hati seorang hamba yang memiliki sifat
qana’ah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرِةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya materi (dunia). Namun
kekayaan yang hakiki adalah kekayaan (yang ada) dalam hati.” (Muttafaqun
‘alaih dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu )
Dari
Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَكَانَ رِزْقُهُ كِفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا أَتَاهُ
“Sungguh bahagia seseorang yang masuk Islam, rezekinya cukup dan
Allah jadikan dia merasa qana’ah dengan apa yang Allah anugerahkan
kepadanya.” (HR. Muslim)
Seorang hamba yang diberi anugerah sifat qana’ah adalah orang yang
merasa paling kaya di dunia. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فـِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ،
عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حُيِّزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
بِحَذَافِيرِهَا
“Siapa saja di antara kalian yang berpagi hari dalam keadaan aman
(tentram) jiwanya, diberi kesehatan pada jasadnya, memiliki makanan pada
hari itu, maka seolah telah dianugerahkan untuknya dunia seisinya.”
(HR. At-Tirmidzi dan beliau hasankan dari shahabat Abdullah bin Mihshan
Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu )
Akhirul kalam, mari kita renungkan bersama
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ
وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا
إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ
لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا
وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“
Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-cita/harapannya, maka
Allah akan cerai-beraikan urusannya, Allah jadikan kefaqiran selalu di
pelupuk kedua matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa
yang telah ditetapkan untuknya. Dan barangsiapa akhirat sebagai
niatnya, maka Allah akan kumpulkan urusannya, Allah jadikan kekayaan
dalam hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan dunia itu
tidak suka.” (HR. Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit Radhiallahu ‘anhu dan
dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 1/263)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber:
http://asysyariah.com