Tanya Jawab: Ketika Seorang Akhwat Lebih Memilih Dipoligami
Assalamu’alaikum,Ustadz, ada yang ingin saya tanyakan. Ada seorang teman (wanita) yang masih lajang dan dikarunia Allah memiliki semangat beragama yang kuat (rajin menghadiri majelis taklim dan sejenisnya). Namun, dalam masalah jodoh, menurut saya dia punya prinsip yang sedikit unik. Tiap kali ditawari untuk taaruf (melakukan perkenalan sesuai syariat) dengan pria, dia selalu menjawab, daripada menikah dengan pria muslim biasa-biasa saja saya lebih suka dipoligami seorang ustadz. Maksuddit pria muslim biasa di sini, jika pria tersebut tidak punya kemampuan ilmu agama lebih (hafalan Al-Quran dan Al-Has, kemampuan bahasa Arab, dan sejenisnya), atau masih di bawah kemampuan dirinya. Menurut ustadz, apakah prinsip semacam itu sudah tepat? Apakah poligami membuat pelakunya (dalam hal ini wanita yang dipoligami) punya keutamaan dan pahala melebihi pernikahan biasa? Syukran atas penjelasannya.
Wassalamu’alaikum
AD di bumi Allah
Jawaban:
Wa’alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh
Alhamdulillah, ini pertanyaan yang bagus dan menarik. Jawaban dari pertanyaan ini, insya Allah bisa memberi manfaat banyak orang, karena tak sedikit orang yang mengalami hal serupa, dengan hal yang ditanyakan dalam soal ini.
Pertama, perlu saya tegaskan bahwa sangatlah berbeda antara apa yang disebut PRINSIP dengan IDEALISME.
Prinsip dibangun dari hal-hal yang mendasar secara ideologis, keyakinan dan bangunan persepsi secara utuh, kemudian tercipta menjadi hal prinsipil yang bila dilanggar berarti diyakini meruntuhkan idelogi, keyakinan, dan persepsi tersebut.
Intinya, prinsip itu bermodal keyakinan, dan diyakini bila dilanggar keyakinan akan rusak.
Sementara idealisme lebih bersifat obsesi, berpangkal dari cabang-cabang keyakinan yang dipercaya bisa membantu menguatkan dasar-dasar keyakinan dan ideologisnya bagi dirinya sendiri. Karena akar katanya “ideal”, maka idealisme bisa jadi diyakini bagi diri sendiri, tapi belum tentu bagi orang lain yang sama keyakinannya.
Apa yang dinyatakan gadis muslimah tersebut adalah Idealisme, bukan prinsip.
Itu bisa dibuktikan dengan beberapa hal, di antaranya ungkapan: lebih baik begini, daripada begitu.. Prinsip tidak bisa disandingkan dengan kata lebih baik dan daripada Prinsip harus bersifat mutlak, bukan hanya dianggap lebih baik.
Kedua, itu tak terkait dengan sah atau tidak sahnya menikah, dengan halal atau haram. Artinya, baginya menikah dengan pria muslim biasa bukanlah hal yang haram, apalagi sampai dianggap membatalkan pernikahan. Ia hanya meyakini itu lebih baik bagi dirinya. Ia siap menanggung susahnya dipoligami, demi mendapatkan kelebihan pada agama seseorang. Itu idealisme, di luar apakah itu layak atau tidak layak, benar atau tidak benar, tapi itu bukan prinsip, sehingga dalam batas-batas tertentu, sah-sah saja seorang wanita muslimah beridealisme demikian.
Nah, yang ingin kita bicarakan di sini, sudah tepatkah itu dijadikan sebagai idealisme? Jawabannya selain sangat relatif, juga bersifat sangat subjektif.
Hal pertama yang perlu dicermati di sini adalah kalimat pria muslim biasa. Ini kalimat yang sangat rancu. Akan lebih baik digunakan istilah, muslim awam, penuntut ilmu, atau ulama. Yakni mengacu pada kapasitas ilmiah. Misalnya, seseorang beridealisme hanya ingin dinikahi oleh muslim yang levelnya ilmiahnya minimal penuntut ilmu senior atau ulama. Bukan dengan pria muslim awam. Bila demikian yang dimaksud, boleh-boleh saja, dan pantas-pantas saja. Tapi semua berpulang pada kapasitas diri sendiri dan realitas yang ada. Obsesi boleh membumbung ke langit, tapi kaki tetap harus menjejak bumi. Itu saja.
Kenapa saya sebut rancu? Kata biasa itu terlalu melecehkan. Ada muslim awam tapi ia luar biasa. Ilmunya tak seberapa, tapi ibadah dan semangat Islamnya tak tanggung-tanggung. Kebetulan latar belakang pendidikan Islamnya kurang, tapi semangat belajarnya melebihi penuntut ilmu. Ia muslim yang luar biasa, bukan pria muslim biasa.
Ada yang ilmunya sedikit, dan amalannya juga tak banyak, tapi keikhlasan hatinya luar biasa. Seperti pemuda ahli surga di zaman Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam, yang masuk surga karena kelebihan hatinya yang bersih, tak pernah berburuk sangka atau mendengki sesama muslim.
Sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam,
“Ketakwaan itu letaknya di sini, ketakwaan itu letaknya di sini (yakni di dalam dada).” [1]
Di sini, kita bukan mengabaikan pentingnya ilmu. Untuk bertakwa, orang harus berilmu. Tapi berilmu, belum tentu bertakwa. Banyak orang berilmu, tapi justru dengan ilmunya ia semakin jelek di sisi Allah. Orang itu serupa Yahudi yang punya ilmu tapi tak mau mengamalkan ilmunya. Ada juga orang yang kurang berilmu tapi utama, karena dengan sedikit ilmu yang ia punya, ia bisa memaksimalkan potensi diri untuk senantiasa bertakwa kepada Allah.
Intinya, anggapan soal “muslim biasa”, terlalu rancu. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan. Tak baik menganggap rendah orang lain, hanya karena dianggap ilmunya tak seberapa.
Apakah menikahi dengan dipoligami (istri kedua/ketiga) punya keutamaan tersendiri? Baik pria yang berpoligami, maupun istri yang dipoligami, sama sekali tak memiliki keutamaan apa-apa dibandingkan muslim atau muslimah lain, bila hanya dilihat dari soal poligaminya. Tapi bisa beroleh keutamaan, pada sisi-sisi yang terkait dengan poligami itu sendiri.
Maksudnya begini. Orang yang berpoligami tak lantas lebih baik, begitu juga wanita yang dipoligami.
Karena poligami sendiri hukumnya beragam, tergantung kondisi pelakunya.
Bagi seorang muslim, poligami asalnya boleh dengan syarat mampu berlaku adil. Sekadar orang melakukan perbuatan mubah yang hanya mubah bila dipenuhi syaratnya, tentu tak bisa seseorang dipandang lebih istimewa dari yang lain. Tapi poligami bisa saja dianjurkan atau bahkan diwajibkan bagi seorang muslim, bila tingkat kebutuhannya mengindikasikan demikian, sementara situasi dan kondisi sangat mendukung. Bila demikian, baginya saat berpoligami tentu lebih baik ketimbang tidak.
Di sisi lain, bagaimana seseorang memberlakukan poligami itu sendiri juga sangat menentukan baik tidak kualitas dirinya. Orang yang berpoligami secara baik, berlaku adil, dan dapat memimpin rumah tangga dengan dua dapur atau lebih secara baik, tentu lebih baik dari orang yang bisa melakukan hal serupa dengan satu dapur. Ia beroleh tambahan pahala, karena makin banyak rakyat yang dia asuh, diasih dan asah menjadi manusia-manusia bertakwa.
Tapi kalau ia tak berlaku adil, cenderung culas, gagal menjalankan kewajiban sebagai pemimpin, maka dengan berpoligami ia justru menjadi lebih buruk daripada tidak. Karena, makin banyak pula rakyat yang dizhalimi, terlantar, atau terdidik menjadi orang-orang yang fasik.
Nah, wanita yang dipoligami juga demikian. Semakin tinggi hukum poligami bagi suaminya, semakin ia beroleh kebaikan, karena membantu suaminya untuk taat kepada Allah. Bila poligami bagi suaminya hanya mubah saja, maka pahala yang ia peroleh juga lebih sedikit. Ia tetap beroleh pahala dengan bersikap sabar, tetap menjadi istri yang taat, meski suaminya beristri lebih dari satu. Pahalanya bertambah, kalau ia justru membantu suami, memberi nasihat, agar suaminya menjalankan kewajiban sebagai suami yang baik dan taat kepada Allah.
Jadi, baik atau tidaknya wanita yang dipoligami, tergantung apa dan bagaimana ia bersikap. Bila dengan dipoligami ia semakin bermaksiat kepada Allah, malah membantu suami berlaku lalai, atau merusak hubungan rumah tangga suami dengan istri lain, maka ia semakin buruk di hadapan Allah. Itulah yang saya maksud sangat relatif dan subjektif.
Maka, kalau seorang muslimah yakin dengan dipoligami ia bisa memberi lebih bagi keislaman dirinya, bagi kebaikan dirinya dan suaminya, juga istri suami yang lain, maka sah-sah saja. Itu niat baik yang perlu diberi dukungan. Tapi berhitunglah secara sehat, jangan melandaskan hal itu hanya karena faktor emosional belaka. Poligami bukan segala-galanya dalam berkeluarga. Tanpa dipola secara sehat, poligami justru bisa memberi tambahan musibah dalam kehidupan. Sebaliknya, bila dilakukan sesuai syariat, ia adalah anugerah tak terhingga.
Nah, soal obsesi untuk dinikahi oleh orang berilmu, yang memiliki hafalan, ilmu Islam dan segalanya lebih dari diri sendiri, tak jadi soal. Itu niat yang sangat bagus. Berdoalah kepada Allah agar niat itu terkabul, dan bantu orang lain yang memiliki niat seperti itu.
Namun, seperti sudah saya tegaskan sebelumnya, marilah menjejak bumi. Pandanglah realitas dengan lapang dada. Berharap boleh, bahkan sangatlah dianjurkan. Tapi catatlah, menikah itu tuntutan. Jangan sampai akhirnya seseorang terhalangi menikah hingga usia lanjut, hanya karena mencari jodoh yang sepadan sesuai dengan keinginan. Jangan sampai terlambat menikah sehingga seseorang –wal ‘iyaadzu billah– menyentuh hal-hal yang haram, hanya karena tak kunjung dapat jodoh yang betul-betul memuaskan selera.
Ingat, memperoleh istri shalihah atau suami shalih, tak bisa tercipta tiba-tiba.
Bila seseorang menikah wanita muslimah biasa, lalu ia mendidiknya hingga menjadi wanita shalihah, itu juga kelebihan tersendiri.
Bila seorang muslimah menikahi pria muslim yang shalih, baik dan bersemangat Islam kuat namun miskin ilmu, lalu setelah menikah si suami semakin rajin belajar dan akhirnya menjadi ulama, sungguh itu jauh lebih hebat daripada menikahi suami berilmu dan setelah menikah malah si ulama itu berubah wujud menjadi pria bodoh sebodoh-bodohnya.
Bila kita baik, Allah akan menyandingkan kita dengan yang baik, asalkan kita banyak berdoa kepada-Nya.
“Roh-roh itu bagaikan tentara-tentara yang berbaris. Siapa saja di antara mereka yang saling mengenal, akan saling mengakrabi. Dan siapa saja di antara mereka yang tidak saling mengenal, akan saling menjauhi.” [2]
Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 14 : 69, oleh Al-Haitsami dalam Mazma’uz Zawaa-id X : 262.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Anbiyaa bab: Roh-roh yang berbaris, hadits No. 2638.
Disalin dari majalahsakinah.com dan dipublikasikan oleh www.salafiyunpad.wordpress.com
No comments:
Post a Comment