Hafiz Ibn Hajar lahir dalam keadaan yatim pada tahun 733 hijriyah di Mesir. Di usia 9 tahun sudah mampu menghafal al-Qur’an, hafal al-’Umdah (kumpulan Hadits-Hadits hukum), Alfiyah Hadits Iraqi (ilmu Hadits).
Imam
Syaukani menyebutkan bahwa guru-guru Ibnu Hajar adalah para pakar di
bidang masing-masing, antara lain: Hafidz al-Iraqi (ahli Hadits), Ibnu
Mulaqqin (ulama terbanyak berkarya), dan Al Bulqini (ahli fikih).
Ia pun
telah melakukan perjalanan ke Hijaz, Yaman, Syam, dan Makkah untuk
mecari ilmu.
Guru dari Imam Sakhawi dan Imam Suyuthi ini menghasilkan karya fenomenal Fathu al-Bari,
dalam waktu 25 tahun, yang dijuluki olah para ulama sebagai Qomus As
Sunnah (Kamus Sunnah). Juga beberapa buku yang berhubungan dengan
kedudukan periwayat Hadits, seperti Lisan al-Mizan dan Tahdzib at- Tahdzib.
Kepakaran
beliau dalam berbagai disiplin ilmu cukup diakui, hingga beberapa ulama
seperti Imam As Suyuthi dan As Sakhawi menggelarinya dengan sebutan
Syaikh al-Islam, hingga As Sakhawi menulis buku khusus tentang Ibnu
Hajar yang berjudul Jawahir ad Dhurar fi Tarjamah Syaikh al Islam Ibnu Hajar. Beliau wafat tahun 852 H di Mesir.
Kisah antara Ibnu Hajar dan Karibnya, Badruddin Al 'Aini
Mereka
berdua adalah sahabat dekat. Badrududdin Al ‘Aini pernah mengundang
Ibnu Hajar agar berkunjung ke ‘Ainatab, dan Ibnu Hajar membacakan
untuknya tiga hadits, satu dari Musnad Ahmad dan yang lain dari Sahih
Muslim. Begitu pula ‘Aini, ia datang ke majelis imla’ Ibnu Hajar di
Halab.
Sedangkan
Badrud Din Al ‘Aini lahir di ‘Ainatab, meninggal di Mesir pada tahun
855 H, muhadits, muarikh bermadzhab Hanafi, penulis ‘Umdatul Qari (syarh Sahih Bukhari).
Walau
mereka sahabat dekat, akan tetapi satu sama lain tetap saling
mengkritisi. Ibnu Hajar sendiri telah memeriksa beberapa karya ‘Aini,
salah satunya adalah Al Mu’ayid Syaikhul Mahmudi. Ibnu Hajar menemukan kurang lebih 400 bait yang tidak beraturan
Sebagaimana juga Ibnu Hajar mengkritik tarikh kabir ‘Aini, Aqdul Juman Fi Tarikh Ahluz Zaman. Berkata Ibnu Hajar dalam muqadimah Imba’ul Ghumar:
“Aku telah memeriksa tarikh (sejarah) milik Qodhi Badruddin Al ‘Aini,
ia menyebutkan bahwa rujukan dalam penulisan tarikhnya adalah Ibnu
Katsir, akan tetapi setelah Ibnu
Katsir berhenti menulis tarikh dikarenakan wafat, maka rujukannya
berganti ke Tarikh Ibnu Duqmaq.
Hingga ‘Aini menukil satu lembar penuh
secara berurutan, malah kemungkinan ia bertaklid terhadap kesalahan yang
ada di dalamanya. Dan aku pun terheran-heran, bahwa Ibnu Duqmaq
menyebutkan beberapa peristiwa yang ia saksikan, akan tetapi ‘Aini
menulisnya apa adanya, padahal peritiwa itu terjadi di Mesir dan dia
jauh di ‘Ainatab. Akan tetapi aku tidak menyibukkan diri untuk memeriksa
seluruh kesalahannya. Malah aku mengutip darinya apa yang tidak aku
dapati, yaitu kejadian-kejadian yang kukira ‘Aini menyaksikan sedangkan
aku tidak mengetahuinya.” (Imba’ul Ghumar hal.4-5, vol.1)
Lihat,
Ibnu Hajar tidak menyibukkan diri untuk memeriksa seluruh
kekliruan-kekliruan orang yang telah mengkritiknya, ia juga tetap bisa
berbuat obyektif, yaitu tetap merujuk karya ‘Aini tentang hal yang ia
tidak mengetahuinya.
Al ‘Aini dalam Umdatul Qari
juga mengoreksi karya Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, menukil dari buku
itu satu-dua lembar, lalu menghitung kesalahan-kesalahannya. Lalu Ibnu
Hajar menjawab secara inshaf dengan dua buku, yang berjudul Al Istinshaf ‘Ala ‘Atha’in Al ‘Aini, dalam buku tersebut disebutkan bahwa ‘Aini mengritik khutbah Ibnu Hajar atas Fathul Bari dan ‘Aini mengutamakan Umdatul Qari atas syarh Sahih Bukhari sebelumnya, yaitu Fathul Bari.
Maka Ibnu Hajar menjawab kritikan tersebut dan para ulama’ yang hidup
di masanya pun membenarkan Ibnu Hajar. Buku ke dua Ibnu Hajar yang
menjawab kritikan ‘Aini adalah Intiqadhul I’tiradh, yang berisi
sanggahan terhadap kritikan ‘Aini terhadap Fathul Bari, akan tetapi
Allah memanggilnya sebelum ia menyempurnakan bukunya tersebut (lihat
juga Al Jawahir Wad Dhurar, hal. 224-226).
Walaupun demikian Ibnu Hajar tetap mencantumkan nama Al ‘Aini dalam Mu’jam Shuyukh-nya, Al Majma’ Al Mu’asis Lil Mu’jamil Fahras. Begitu pula ia menulis riwayat ‘Aini di Rafi’il ‘Ishri ‘An Qudhati Mishri-nya,
secara ringkas. Dari sini bisa terlihat jelas, walau ada perselisihan
antara keduanya, Ibnu Hajar tetap mengakui bahwa Al Aini adalah gurunya
Sebagaimana ‘Aini juga mengambil faidah dari Ibnu Hajar, khususnya ketika ia menulis Rijal At Thohawi. Dinukil dari Hafidz As Sakhawi: “…dan aku menyaksikanya (Al ‘Aini) bertanya kepada syaikh kami ketika belau hendak meninggal tentang masmu’at (pelajaran yang disimak) dari Al Iraqi,
lalu Ibnu Hajar menjawab: “Hal itu tidak berada dalam buku, akan tetapi
aku menulisnya menyertai riwayat hidupnya (Al Iraqi) dalam mu’jamku
yang telah aku nukil dari beliau, dan hal itu tidak sedikit, periksalah,
jika engkau telah menemukan, kita bisa coba mencari sisanya (Badruddin Al ‘Aini li Ma’tuq, hal. 169-170).
Ibnu Hajar juga menulis sebuah risalah yang bernama Al Ajwibah Al Ainiyah ‘Alal As’ilah Al ‘Ainiyah,
yang berisi jawaban Ibnu Hajar atas pertanyaan-pertanyaan ‘Aini Ini
menunjukkan kemulyaan akhlak kedua imam besar tersebut, walau saling
mengkritik akan tetapi keduanya masih saling menerima ilmu satu sama
lain. Dan perbedaan yang ada di kalangan keduanya tidak menghalangi Ibnu
Hajar untuk tetap membantu Al ‘Aini dalam masalah keilmuan. Bagitu juga
Al ‘Aini, ia tidak gengsi untuk bertanya kepada Ibnu Hajar tentang
persoalan yang berhubungan dengan ilmu.
Dan
sikap kedua tokoh umat ini banyak berbeda jika dibandingkan dengan
sebagian penuntut ilmu saat ini yang keilmuannya amat jauh di bawah
kedua . Di saat terjadi khilaf di antara mereka, anatar keduanya enggan
bertegur sapa, atau bahkan saling kecam satu-sama lain, padahal mereka
masih berada dalam khilaf yang masih ditoleransi dalam Islam.
Oleh Thariq
24 Agustus 2009
Sumber:Inpasonline
No comments:
Post a Comment