Tuesday, November 6, 2012

berkaitan "Sayyidina"...


Bacalah baik-baik, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan hidayah kepada kita semua.
Ada seorang teman yang "belum mengenal al-haq" berhujjah dengan fi'il (perbuatan) Imam Nawawi rahimahullaahu ta'ala akan bolehnya menggunakan ungkapan "Sayyidina" untuk disematkan pada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dimana, beliau dalam salah satu kitab karyanya menyebut nama Nabi dengan menggunakan (lafazh) Sayyidina. Lucunya, lantas dia (si teman) mengatakan, kalau ucapan Sayyidina itu bid'ah, sedangkan bid'ah itu di Neraka, kasihan sekali Imam Nawawi rahimahullaahu ta'ala dikatakan masuk Neraka.

Maka, inilah jawaban atas pernyataan di atas :

1. Memang kebiasaan orang awam, yang belum berpegang dengan al-haq, adalah berhujjah dengan person, sosok, figur, individu tertentu yang tidak ma'shum. Di sisi lain, mereka meninggalkan dalil Kitabullah dan Sunnah Nabi 'alaihi shallaatu wa sallam yang memerintah atau melarang suatu perkara.

Dalam perkara ini, mereka meninggalkan nash (dalil) yang banyak tentang larangan ghuluw (ekstrim/berlebihan) dalam menyanjung Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sementara, Sayyidina itu bisa mengarah pada sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Mereka meninggalkan Qoolallah wa Qoolarrasul, dan lebih memilih ucapan buat perbuatan Imam Nawawi rahimahullaahu ta'ala.

2. Para Shahabat ridwaanullahi 'alaihim jami'an adalah kaum yang paling kuat cinta dan ta'zhimnya terhadap Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Namun toh mereka tidak pernah memakai kata atau lafazh Sayyidina. Tidak pula ini dilakukan oleh Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in. Padahal mereka adalah 3 generasi terbaik umat Islam.

Dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya (tabi'in), kemudian yang sesudahnya."
(HR. Al-Bukhari, no. 2652, 3651, 6429, 6658, Muslim, no. 2533 [212], Ahmad, I/378, 417, 434, 438, 442, an-Nasaa-i, no. 5988, at-Tirmidzi, no. 3859, Ibnu Majah, no. 2362, dan Ibnu Hibbaan, no. 7178, 7183, 7184)

Dalam riwayat lain dari jalan Shahabat, Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu disebutkan,
"Sebaik-baik ummatku adalah generasi yang aku diutus kepada mereka (para Shahabat radhiyallaahu 'anhum)."
(HR. Muslim, no. 2534 [213])

Dari 'Imran bin Hushain radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Sebaik-baik ummat ini adalah generasi yang aku diutus di tengah-tengah mereka (para Shahabat), kemudian yang setelahnya."
(HR. Muslim, no. 2535 [215])

Diriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anha, ia berkata,
"Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Ia berkata,
'Siapakah manusia yang paling baik?'
Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab,
'Generasi yang aku berada di tengah-tengahnya (para Shahabat), kemudian generasi yang kedua, kemudian generasi yang ketiga.'"

(HR. Muslim, no. 2536)

3. Imam Malik rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Setiap orang bisa diambil dan dibuang (ditolak) perkataannya, kecuali Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam."

Maka, Imam Nawawi rahimahullaahu ta'ala juga harus difilter ucapan dan perbuatannya. Bila beliau tersalah, maka ditinggalkan pendapatnya beliau tanpa mengurangi rasa hormat pada beliau.

4. Kita tidak perlu mengasihani Imam Nawawi rahimahullaahu ta'ala akan masuk api Neraka. Tapi diri kitalah yang patut dikasihani. Imam Nawawi rahimahullaahu ta'ala adalah seorang mujtahid besar. Bila benar dengan ijtihadnya dapat 2 (dua) pahala; bila salah dapat 1 (satu) pahala.

Dari 'Amr bin al-'Ash radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Jika seorang hakim ingin memutuskan suatu hukum lalu ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika ia ingin memutuskan suatu hukum lalu ia berijtihad dan ijtihadnya salah, maka baginya satu pahala."
(HR. Al-Bukhari, no. 7352, Muslim, no. 1716, Abu Dawud, no. 3574, Ibnu Majah, no. 2314, al-Baihaqi, X/118 - 119, dan Ahmad, IV/198, 204)

Sedangkan kita?
Bila taklid kepada Imam Nawawi tanpa berusaha maksimal mencari kebenaran, kita berdosa dan diancam Neraka. Adapun Imam Nawawi, karena beliau mujtahid, Insya Allah beliau tidak akan disiksa hanya karena pendapat beliau tentang penyematan Sayyidina.

5. Orang-orang awam yang belum mengenal al-haq, dalam hal Sayyidina ini memakai perkataan dan perbuatan Imam Nawawi sebagai tameng. Di sisi lain, mereka menutup mata terhadap berbagai pendapat beliau yang mencerminkan aplikasi syariat, semacam: cadar bagi wanita, larangan isbal bagi lelaki, larangan berbagai amalan bid'ah, larangan musik, larangan jabat tangan lelaki wanita non-mahram, larangan Maulid Nabi, larangan Tahlilan Yasinan, dll. Kaum awam menggembor-gemborkan masalah Sayyidina, tapi membuang jauh-jauh pendapat Imam Nawawi yang mencocoki syariat namun berseberangan dengan amal kebiasaan mereka yang banyak menyimpang dari ajaran Islam. Belum lagi persoalan aqidah dan tauhid. Bagai langit dan bumi. Imam Nawawi aqidahnya Ahlus Sunnah, sedangkan kaum awam tersebut aqidahnya Shufiyyah Asy'ariyyah.

6. Tanda cinta dan ta'zhim kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah ittiba'us sunnah (mengikuti sunnah) Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekedar slogan plus embel-embel "Sayyidina", tapi secara pengamalan syariat malah begitu lancang menginjak-injak ajaran Nabi. Celana isbal. Jenggot habis. Sholat jama'ah males. Wanita pamer aurat. Musik tiap hari. Bid'ah jadi budaya. Syirik sudah biasa. Maksiat jangan ditanya. Inikah yang disebut cinta dan ta'zhim kepada Nabi??

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Katakanlah : 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."
(QS. Ali 'Imran [3] : 31)

Imam Ibnu Katsir rahimahullaahu ta'ala berkata ketika menafsirkan ayat diatas,
"Ayat yang mulia ini merupakan hakim atau pemutus bagi orang-orang yang mengaku cinta Allah dan rasul-Nya tetapi dia tidak mengikuti jalan yang ditempuh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, dia dusta dalam pengakuannya sehingga dia mengikuti syari'at (ajaran) dan agama Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam setiap ucapan, perbuatan dan keadaannya."
(Tafsir Ibnu Katsir, I/477)

7. Sesungguhnya yang dilarang itu adalah penyematan "Sayyidina" pada nama Nabi Muhammad yang dipakai sebagai ibadah. Seperti pada sholawat, shalat, do'a adzan, dll. Adapun penyematan Sayyidina pada nama Nabi sebagai ikhbar (kalimat berita) maka sebagian Ulama membolehkan. 
Seperti kalimat berita :
"Sayyidina Muhammad adalah Nabi yang terakhir."

Maka yang seperti ini masih ada toleransi. Adapun penyematan Sayyidina pada lafazh-lafazh ibadah maka inilah yang dilarang. Karena disamping mengarah pada pengkultusan Nabi, juga ibadah itu perkara tauqifiyyah (pakem syara'), tak perlu dikurangi atau ditambah lagi. 
Sementara, lafazh sholawat yang diajarkan oleh Nabi tidak mengandung penyematan Sayyidina. Lantas, pantaskah kita lancang menyematkannya sendiri?? Bisa jadi, yang dilakukan Imam Nawawi dalam kitabnya adalah kalimat berita, bukan lafazh ibadah.

Demikian. Semoga jawaban yang sederhana ini cukup mewakili. Semoga saudara-saudara kita yang masih terkurung dalam kegelapan jahalah segera dikaruniai hidayah oleh Allah 'Azza wa Jalla, agar bisa segera mengecap manisnya Sunnah Nabi yang sebenarnya, di atas pondasi iman serta aqidah dan tauhid yang lurus.

Belajarlah agama, wahai saudaraku..... Dengan pemahaman yang benar, yakni pemahaman As-Salafush Shalih, yang telah ditazkiyyah oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai generasi terbaik sepanjang sejarah Islam.
Mari berbenah ya akhi... Sampai kapan engkau akan terus seperti ini?? Ilmu ada di depan mata. Pelajarilah ilmu. Amalkanlah ilmu. Itulah sarana yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan hidup dunia akhirat, Insya Allahu Ta'ala.

Barakallahu fiikum...
-------------------------------------------------------------

No comments:

Post a Comment