Sunday, July 22, 2012

Syubhat Pelaku Bida'ah Hasanah


 


Para pengusung bid'ah hasanah tidaklah mempunyai dalil yang shahiih dan sharih akan perbuatan bid'ahnya itu, mereka hanya menggunakan dalih dalam beragumentasi untuk membela perbuatannya itu. Dan di antara sekian banyak dalih mereka saya akan membawakan beberapa contoh saja diantaranya :

* Misalnya dalam acara perayaan maulid atau tahlilan mereka beragumentasi dengan istihsan (atau menganggap baik suatu perbuatan tanpa dalil yang jelas dan tegas), mereka mengatakan,
"Mengapa ini kan baik, mengapa membaca al-Qur'an, dan bershalawat koq dilarang?"

Saudaraku yang saya cintai dan yang saya muliakan semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati serta membimbing kita semua kepada al-haq.
Disini saya akan menjawab syubhat di atas dengan dalil aqli (akal) wa naql (wahyu).

Pertama, harus kita ketahui bahwasanya hukum asal di dalam ibadah adalah terlarang (haram) sebelum datang nash (dalil) yang memalingkannya menjadi boleh (dianjurkan).

Kedua, tidaklah peribadatan ditujukan kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui risalah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Ketiga, perbuatan amal ibadah yang menyelisihi atau bertentangan dengan syari'at maka perbuatan tersebut akan tertolak, sebab para ulama menyebutkan bahwa syarat diterimanya amal ibadah ialah karena ikhlas dan mutaba'ah (mencontoh serta meneladani beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam).

Para Salafush Shalih dahulu tidaklah mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali setelah datangnya nash (dalil) yang bersifat qoth'i dari al-Qur'an dan As-Sunnah, sebab mereka mengetahui bahwa apabila suatu amalan yang apabila dilakukan tanpa ada dasar contoh dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam maka amalan tersebut akan tertolak.

Dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anha, bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa melakukan suatu amalan, yang tidak ada contoh sebelumnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak."
(HR. Muslim, no. 1718 [17, 18])

Imam an-Nawawi rahimahullaahu ta'ala berkata,
"Hadits ini perlu dihafal dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemungkaran (bid'ah di dalam agama).
Hadits ini merupakan salah satu pedoman penting dalam agama Islam yang merupakan kalimat pendek yang penuh arti yang dikaruniakan kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid'ah dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang diada-adakan (direkayasa). Sebagaimana ahli ushul fiqh menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah bahwa setiap yang terkarang dinyatakan sebagai hal yang merusak."
(Syarah Shahiih Muslim, XII/160)

Dari sini dapat kita ketahui bahwasanya ibadah bersifat tauqif (menunggu dalil), bukan beribadah dahulu baru mencari dalil itu namanya mengada-ada di dalam syari'at.

Beristihsan atau berprasangka baik dalam beribadah kepada Allah Jalla Jalaaluh tanpa dasar dalil adalah sebuah kekeliruan yang amat besar di dalam Islam sebab dengan adanya ini seakan-akan ajaran Islam belum sempurna sehingga boleh baginya untuk ditambah-tambahi oleh manusia, padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu."
(QS. Al-Ma'idaah [5] : 3)

Oleh karena itulah Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala pernah berkata,
"Barangsiapa yang beristihsan (menganggap baik suatu perbuatan tanpa dalil yang sharih lagi shahih) maka ia telah membuat syari'at (agama) baru."
(al-Mankhul, hal. 374)

Sebab apa?

Al-Jawab :
Sebab apabila seseorang menganggap baik suatu perbuatan di dalam beragama tanpa dasar syari'at seakan-akan ia mengingkari ayat yang mulia ini akan kesempurnaan Islam, dan seakan-akan ia menuduh Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah.

Berkata Imam Malik bin Anas rahimahullaahu ta'ala,
"Barangsiapa yang melakukan suatu bid'ah dalam Islam yang dia menganggap baik bid'ah tersebut, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allah ta'ala berfirman :
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i Islam sebagai agamamu."
(QS. Al-Ma'idaah [5] : 3)

"Oleh sebab itu apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu (yaitu pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya), maka ia bukan termasuk agama pula pada hari ini."
(Al-I'tisham, I/64)

Karena itu tegaslah bahwasanya syari'at memandang buruk setiap kebid'ahan di dalam agama dan tidak salah jika Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam katakan bahwa setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Dari Jabir bin 'Abdillah radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
'Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka."
(HR. An-Nasaa-i, III/188 - 189, dan al-Baihaqi dalam al-Asma' was Shifat, I/310)

Kemudian tentang syubhat di atas sebenarnya syari'at tidak mempermasalahkan membaca al-Qur'annya, dzikirnya, shalawatnya itu sah-sah saja namun yang salah keliru ialah mengkait-kaitkan dengan keyakinan yang tertentu misalnya ia maulid, tahlilan, yasinan dst...
Itulah yang tidak pernah dilakukan dan dicontohkan oleh para Salafush Shalih dari generasi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, para Shahabatnya dst.

Seperti saya akan memberikan contoh disini :

Apakah mungkin seseorang akan di adzab Allah Subhanahu wa Ta'ala karena ia melakukan shalat?

Al-Jawab :
Tidak, justru sebaliknya shalat adalah amalan yang paling utama, namun apabila dilakukan tidak sesuai dengan sunnah (tuntunan) syari'at maka itulah yang keliru, seseorang tidak akan di adzab karena shalat, namun ia akan di adzab karena menyelisihi sunnah.

Dari Sa'id bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua raka'at, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya Sa'id bin Musayyib pun melarangnya.
Orang itu berkata,
"Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku dengan sebab shalat?"
Beliau menjawab,
"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah."
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, II/466)

Kemudian atsar dari Shahabat yang mulia Ibnu 'Umar radhiyallaahu 'anhuma, menceritakan,
"Bahwasannya ada seorang laki-laki yang bersin kemudian dia berkata,
"Alhamdulillah was-salaamu 'alaa Rasuulillaah (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasulullah)."
Maka Ibnu 'Umar radhiyallaahu 'anhuma berkata,
"Aku juga mengatakan alhamdulillah was-salaamu 'alaa Rasuulillah (maksudnya juga bershalawat). Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengajari kami.
Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam mengajari kami untuk mengucapkan (ketika bersin) :
"Alhamdulillah 'alaa kulli haal."
(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, no. 2738)

Lihat baik-baik atsar di atas apakah itu berarti Shahabat yang mulia 'Abdullah bin 'Umar radhiyallaahu 'anhuma melarang orang bershalawat kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam hanya karena ia bersin kemudian orang itu mengucapkan tambahan lafazh shalawat?

Tentu tidak, shalawat sangat dianjurkan namun ia tetap mengingkarinya karena menyalahi Sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sebab beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya yakni hanya mengucapkan :
"Alhamdulillah."

Kemudian contoh yang selanjutnya ialah, kita telah ketahui bersama bahwasanya keutamaan shalat berjama'ah sangatlah besar sekali demikian juga apabila mendapati takbiratul ihram bersama imam namun hal yang dipandang baik menurut kita belum tentu baik menurut syari'at.

Berlari, karena mengejar takbiratul ihram bersama imam itukan baik disebabkan keutamaan yang besar namun ternyata kebaikan itu di ingkari oleh Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam karena menyalahi syari'at.

Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Jika shalat telah diiqamati, maka JANGANLAH MENDATANGINYA DENGAN BERLARI, datangilah dengan berjalan. Tenanglah, apa yang kamu peroleh lakukanlah dan apa yang terlewatkan sempurnakanlah."
(HR. Al-Bukhari, no. 635, 908, dan Muslim, no. 603)

Apakah orang yang beragumentasi seperti yang dilakukan oleh para pengusung bid'ah hasanah berani mengatakan Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam melarang berlari karena mendapatkan keutamaan mendapatkan takbiratul ihram bersama imam?!?

Itulah penjelasan ringkas saya tentang syubhat yang dilontarkan oleh para pelaku bid'ah hasanah.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala teguhkan kita di dalam Islam dan As-Sunnah.
Hidup dan wafat di atasnya, karena hidup dan wafat di atas keduanya merupakan kemuliaan bagi seorang mukmin.
Wallaahul Muwaffiq



1 comment:

  1. Alhamdulillah,,,blog yang penuh dengan pengajaran sebenar

    ReplyDelete